Oleh: Muhammad Zikri, Mahasiswa Universitas Khairun
Pulau Halmahera, Maluku Utara, adalah tanah yang kaya sumber daya alam. Hutan, laut, hingga perut buminya menyimpan potensi luar biasa, salah satunya melalui sektor pertambangan nikel dan emas. Namun, kekayaan ini justru berubah menjadi ancaman ketika prinsip Good Mining Practice (GMP) tidak dijalankan secara optimal.
Hari ini, kita menyaksikan sungai yang keruh, sawah yang tertutup lumpur, hingga laut yang kehilangan ikan. Bagi masyarakat adat, nelayan, dan petani, semua ini bukan sekadar statistik, melainkan realitas pahit yang mereka hadapi setiap hari.
GMP: Bukan Sekadar Jargon
Good Mining Practice sering kali terdengar di seminar atau dokumen perusahaan tambang. Namun, pertanyaannya: apakah benar-benar dijalankan di lapangan? GMP seharusnya tidak berhenti pada laporan formal, melainkan diwujudkan dalam tata kelola yang menjamin keberlanjutan lingkungan, keselamatan masyarakat, dan transparansi pengelolaan.
Jika prinsip ini diabaikan, maka pertambangan hanya meninggalkan lubang besar, kerusakan ekologi, dan generasi muda yang kehilangan masa depan.
Peran Pemerintah dan Perusahaan
Kelemahan terbesar ada pada aspek pengawasan. Pemerintah sering kali terlihat lebih dekat dengan kepentingan investasi dibanding kepentingan masyarakat. Padahal, negara seharusnya hadir untuk melindungi rakyatnya. Perusahaan pun wajib memahami bahwa mereka tidak hanya berbisnis di atas tanah, tetapi juga di atas kehidupan masyarakat Halmahera.
Tanggung Jawab Generasi
Sebagai mahasiswa, saya percaya bahwa suara kritis adalah bagian dari tanggung jawab moral. Kami tidak menolak tambang, tetapi kami menolak ketidakadilan ekologis. Tambang boleh ada, tetapi harus dikelola dengan benar. Halmahera harus tetap menjadi ruang hidup yang aman bagi generasi mendatang.