Mohon tunggu...
Seni Asiati
Seni Asiati Mohon Tunggu... Guru - Untuk direnungkan

Berawal dari sebuah hobi, akhirnya menjadi kegiatan yang menghasilkan. Hasil yang paling utama adalah terus berliterasi menuangkan ide dan gagasan dalam sebuah tulisan. Selain itu dengan menulis rekam sejarah pun dimulai, ada warisan yang dapat kita banggakan pada anak cucu kita nantinya. Ayo, terus torehkan tinta untuk dikenang dan beroleh nilai ibadah yang tak putus.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tetangga Bisa Gitu Sih

1 Agustus 2021   20:45 Diperbarui: 1 Agustus 2021   21:07 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tetangga Bisa Gitu

Sebenarnya tak ada yang salah dengan acara resepsi pernikahan atau khitanan. Pesta yang biasa diadakah sah-sah saja dilakukan dimana saja oleh si empunya hajat. Katanya tergantung budged empunya hajat. Namun, bila resepsi harus diadakan di rumah dengan lingkungan yang sempit rasanya memang perlu dipikir ulang deh.

"Maaf, Bu Haji Nuri saya mau ngobrol." Sore itu Bu Haji Wati yang tinggal di depan rumah Haji Nuri tiba-tiba menyambangi Nuri yang baru pulang kantor. Wajah lelah dan benar-benar butuh istirahat terlihat jelas,tapi Nuri tetap mempersilakan Bu Haji Wati masuk ke dalam rumahnya.

"Ada apa yah Bu Haji?" Wati memulai percakapan. Haji Wati duduk di kursi ruang tamu rumahnya. Hari itu hampir magrib, terlihat wajah ceria Haji Wati yang membuat Nuri semakin bertanya-tanya.

"Gini loh Bu Haji, sebulan lagi saya mau ada hajatan." Suaranya terdengar jelas diiringi senyum bahagia.

"Oh,begitu ada hajatan apa?"tanya Nuri sambil memandang bu Haji Wati dengan saksama mencari jawaban kecerian Haji Wati.

"Anak saya si Marni akan nikah."

"Alhamdulillah, cepat yah jodohnya.

"Yah,mau bagaimana lagi, setiap hari calonnya itu main terus ke rumah, yah saya isin toh Bu Haji, malu sama tetangga." Haji Wati menjelaskan ikhwal pernikahan yang harus dilaksanakan. "Rencananya hari Minggu, 8 Januari Bu Haji, mudah-mudahan sehat dan bu Haji ndak ada acara yah,karena saya mau pinjam teras rumahnya."

"Ohh,acara resepsinya di rumah?" tanya Nuri bingung. Lingkungan rumah yang ditempati Nuri memang rasanya tidak kondusif kalau melaksanakan resepsi di rumah. Nuri lihat rumah bu Haji Wati juga pas sekali mepet ke jalan nyaris tak ada halaman. Hanya ada lorong kecil di depan pintu itupun hanya cukup menaruh pot bunga saja.

Sekilas memang jalan depan rumah yang merupakan kavling perumahan hanya muat satu mobil. Beberapa penghuni memiliki mobil tapi hanya tiga penghuni dari 5 penghuni pemilik mobil yang memiliki garasi. Dua penghuni lain, mobilnya terparkir di jalan dan itu saja membuat sempit jalan. Cerita mengalir dari bibir bu Haji yang sudah umroh 3 kali ini. Katanya meja prasmanan diletakkkan di sepanjang jalan, dan teras rumahku tempat hidangan gubuk. Gubuk itu nantinya akan terhidang bakso, somay, dan es buah.

"Pokoknya Bu Haji, nanti tembok teras ditutupi dengan gorden deh, ndak kalah sama gedung, megah deh pokoke." Haji Wati bercerita dengan semangatnya. Aku tak membayangkan bagaimana rupa teras rumahku ini ditutupi kain panjang dengan warna-warni. 

Aku memang tipe orang yang tak mau repot apalagi sampai merepotkan tetangga yang sudah tentu banyak kesibukannya. Aku hanya tersenyum mengangguk saja. Turut senang dengan hajat yang akan digelar tetanggaku ini.

Hari menjelang hajatan yang kata suami Haji Wati terbesar diantara hajatan yang pernah dilangsungkan di kompleks kavling kami ini, sudah bergaung sibuknya. Pak Haji Ihsan suami Haji Wati kulihat sibuk mengecat rumahnya dengan warna terang benderang. Semua warna berganti. Rumahku yang persis di depan Haji Wati jadi kelihatan dekil. 

Biarlah toh yang dilihat rumah keluarha Haji Wati bukan rumahku.

Hari pernikahan tiba, pesta dilaksanakan dengan meriah teras rumahku di sulap jadi ruang makan. Sebuah meja makan panjang terbentang di sana. Makanan yang dimasak oleh ibu-ibu kavling sudah terhidang. Semua dinding teras rumahku bahkan pintu untuk masuk sudah tertutup gordeng. Rasanya malu kalau tidak membantu. Pulang kantor dengan badan yang masih lelah aku bantu tetanggaku ini sebisanya.

"Bu Haji Nuri pinjam kursi tamunya ya, hehehehe maaf kursi dari pelaminan ternyata ga bisa dipakai terlalu kecil. Sofa rumahku memang terbuat dari kayu jati yang diukir di kanan kiri dan warnanya juga putih layaknya kursi kebesaran para raja. Sebagai tetangga yang baik aku keluarkan sofa kesayanganku. Aku berharap tak usah diberitahu sudah mengerti kalau sofa itu harus dijaga.

Sofa-sofa putih dengan ukiran jepara di kanan kirinya memeprcantik pelaminan. Mulanya bu Haji Wati hanya meminjam dua untuk kedua orang tua. Katanya kalau empat pasti bagus, jadilah aku keluarkan lagi.

"Biar cantik Bu haji, kan nanti Bu haji bangga sofanya bisa dilihat tamu." Walahhhh siapa yang bangga sofa tamuku dilihat orang. Yang ada malah aku takut sofa kesayanganku rusak, lecet, dan kotor.

Akad nikah dilakukan dengan sempurna dan berjalan lancar. Semakin siang semakin banyak tamu undangan. Pengantin sudah dua kali ganti baju. Aku pandangi sofaku yang tidak di duduki penganti. 

Bergantian para tamu yang tertarik dengan pelaminan dan juga sofa putihku berfoto. Ada yang selfi ada yang sengaja duduk manis di sofa. 

Satu dua tiga tak terhitung banyak juga yang duduk. Aku bukannya senang malah khawatir karenan tempat meletakkan sofa itu di panggung yang terbuat dari papan dan ditutupi karpet. Beberapa kali kaki sofa nyangkut di karpet dan tamu yang akan berfoto sempat terjerembab.

"Bu haji, ayo makan tuh ikan sama sop nya enak buangettt dah." Bu Eti tetangga sebelah kiri rumah mengajakku yang lebih banyak duduk.

'Iya, Bu nanti saja masih eknyang tadi makan bakso dan somay." Tolakku halus.

Sepanjang pesta aku emmang gelisah dan takut panggung roboh. Senja semakin beranjak dan waktu pesta akan berakhir setengah jam lagi atau tiga puluh menit dari waktu yang tertera di undangan. 

Kulihat wajah pengantn sudah letih dan sedikit tersenyum. Sofaku masih bertengger dengan nyamannya. Akhirnya usai juga para tamu yang duduk dengan beringasnya di sofa putihku.

Semakin malam alunan musik lenyap berganti dengan satu persatu tetangga pulang ke rumah. Aku yang juga lelah lahir batin pulang ke rumah. Kusibakkan gorden yang menutupi pintu rumah. 

Letih terasa kulepas baju kebaya among tamu yang membelengguku dari pagi. Kubaringkan mataku dan berucap syukur sampai tak teringat nasib sofa putihku. Aku yakin panitia sudah mengamankan.

"Bapakkkkkkkk......" subuh itu aku terbangun bukan karena alarm atau suara azan tetapi teriakan bu haji Wati.

"Duh, pagi-pagi udah teriak aja ga bisa siangan." Anakku menggerutu. Sehabis salat subuh kami akan berbaring lagi ketika pintu rumah diketuk.

"Bu haji Nuri udah bangun belum?" teriakan suara yang aku kenal. Dengan enggan ankku membukakan pintu. Langkah kaki haji Wati sampai di hadapanku sambil bersimbah air mata.

"Bu haji Nuri, jangan marah yah, tadi malam sofa lupa dimasukkan rumah, sekarang sofanya ga ada di panggung." Aku melongo " Yang sabar ya bu haji Nuri mungkin ini cobaan bu haji Nuri." 

Suara bu haji wati yang berseliweren di telingaku mampu membuatku tak sadarkan diri. Masih kudengar suaranya yang meminta anakku membawaku ke kamar dan memberi mintak wangi.

"Tetangga bisa gitu sihhh....!!". teriak anakku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun