Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pilkada DKI, Bukan Masalah Siapa Menang tetapi Bagaimana Wajah DKI di Masa Depan

11 April 2017   18:24 Diperbarui: 12 April 2017   03:00 1011
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tampak suasana Diskusi Refleksi Kebangsaan yang diselenggarakan Muslimat NU di Crowne Plaza Hotel, Jakarta dengan tema Pancasila, Agama dan Negara. (DUTA.CO/HUDASABILI)

Lain dari itu, keterkaitan Prabowo dengan Orba menyebabkan sejumlah kalangan menganggapnya sebagai pro status quo.  “Membelotnya” Titiek Soeharto dari dukungan resmi Golkar di kubu Badja ke AniSa memperkuat anggapan kolaborasi status quo di kubu AniSa.  Disini dukungan Tommy Soeharto ikut memberi penegasan akomodasi kepentingan status quo oleh paslon AniSa.

Dalam politik tentu dukungan menjadi penting. Bahkan merupakan modal utama. Terdapat dua persoalan yang bisa dipertimbangkan yakni cara mendapatkan dukungan itu, dan siapa-siapa (ideologi, karakter personal, dsb) yang menjadi pendukung. 

Mendapatkan pendukung dengan cara menjebak, jual janji, kontrak politik, memojokkan lawan (kampanye hitam) menggambarkan karakter seorang ‘pemburu kuasa tulen.” Karakter ini tidak akan bekerja membangun masyarakat, melainkan sekadar merebut kursi empuk kekuasaan. Lain halnya, merebut hati pendukung dengan menunjukkan bukti hasil kerja, program berkualitas yang telah teruji memberi manfaat, transparansi, integritas, sikap tegas, dan loyalitas pada negara (ideologi dan konstitusi), menunjukkan karakter pekerja yang janji-janjinya bisa dipegang untuk membangun bangsa dan masyarakat Indonesia.

Pendukung problematis berpotensi menutup pintu bagi pemilih-pemilih rasional. FPI dan Rizieq, Fahri Hamzah dan PKS, Habieb Novel,  sejauh ini dianggap memproduksi isu-isu yang menyerempet SARA. Mereka bekerja dalam fatsun ideologi partikuler, dengan klaim ontologis sebagai ‘pemegang kebenaran,” lalu dipaksakan ke publik. Hampir sulit melepaskan label ‘garis keras’ pada figur-figur ini.

Demikian pula Tommy Soeharto. Selain pernah dipenjara, ia juga tidak punya prestasi menonjol yang bisa menarik perhatian publik. Mungkin saja ingatan publik akan kepemimpinan otoritarian ayahnya, Presiden Soeharto sudah mulai samar. Terutama oleh generasi 90-an yang tidak mengalami langsung. Namun, ketidaan prestasi, rekam jejak yang kurang terandal, dan citra korupsi Orba yang masih melekat pada diri Tommy, yang mau tak mau dilihat sebagai ahli waris ayahnya Soeharto, tidak akan memberi kontribusi besar bagi keterpilihan (elektabilitas) Paslon AniSa. Sekali lagi, terutama di kalangan pemilih rasional.

Ormas maupun tokoh sejenis lainnya sebagai pendukung AniSa juga banyak. Antara lain FBR (Forum Betawi Rempug), FUI (Forum Umat Islam), HTI, GPF-MUI, Ormas Muballighin (awalnya berafiliasi dengan parpol PPP tetapi kemudian ke Anas Ubraningrum),. dan lainnya. Ini makin menegaskan ‘warna’ kepemimpinan AniSa di masa depan. Apalagi dengan visi ‘membuat semua warga Jakarta bahagia’ AniSa diduga akan cenderung mengakomodir kepentingan kelompok garis keras. Selain sebagai balas jasa, juga takut diganggu (lewat strategi tekanan massa yang sudah menjadi semacam jurus andalan). 


Kita masih lihat tokoh-tokoh antagonis lainnya di ‘lingkaran inti’ tim AniSa. Tokoh-tokoh tersebut merupakan kombinasi pejabat negara dan preman. Sebut saja misalnya Fadli Zon, Muhammad Taufik, Haji Lulung, Hercules, Daeng Azis, dan lainnya. Apa yang terbayang bila menyebut nama-nama di atas?  Itu pula yang  kemungkinan bisa dibayangkan pada kepemimpinan Anies-Sandi!

Tampak suasana Diskusi Refleksi Kebangsaan yang diselenggarakan Muslimat NU di Crowne Plaza Hotel, Jakarta dengan tema Pancasila, Agama dan Negara. (DUTA.CO/HUDASABILI)
Tampak suasana Diskusi Refleksi Kebangsaan yang diselenggarakan Muslimat NU di Crowne Plaza Hotel, Jakarta dengan tema Pancasila, Agama dan Negara. (DUTA.CO/HUDASABILI)
Dominasi Islam Politik (baca: garis keras) di kubu Anis-Sandi terekam kuat mewarnai kampanye paslon ini, mengalahkan ‘warna kubu nasionalis Prabowo.’ Pertama; lagu kampanye paslon ini merupakan gubahan dari lagu kampanye PKS, ‘Kobarkan Semangat Indonesia.”  Lagu yang sempat diisukan jiplakan dari lagu religius Yahudi itu menjadi spirit pemacu semangat juang paslon AniSa. Kedua; visi men-syariahkan DKI. Berbagai spanduk yang sempat menyebar di beberapa titik di ibukota menegaskan upaya realisasi visi yang menjadi impian besar Islam politik. Meski spanduk-spanduk itu akhirnya diturunkan karena diyakini mengandung unsur provokasi bernuansa SARA, juga disangkal oleh kubu AniSa, dukungan eksplesit spanduk-spanduk tersebut kepada paslon nomor urut 3 ini menegaskan, setidaknya potensi determinasi Islam garis keras. Apakah itu hanya berakhir di masa kampanye? Kata pepatah, there is no free lunch!Ketiga; tekanan kuat lewat masjid yang ‘mengkampanyekan’ larangan mensolatkan jenazah pendukung Ahok. Kampanye terbuka itu akhirnya bisa dihentikan KPUD dengan menurunkan ‘spanduk-spanduk nakal’ tersebut. Kita tidak bisa pastikan apakah penurunan spanduk sertamerta menghentikan kampanye intensif lewat ceramah-ceramah masjid. Tetapi telah memberi gambaran adanya pola, dimana permainan kekuasaan akan kerap memanfaatkan institusi agama. Lewat video yang sempat viral, dimana konsultan Tim Pemenangan paslon AniSa, Eep Syaifollah Fatah menginspirasi tim memanfaatkan Masjid untuk ‘kampanye politik’  sebagaimana pernah dilakukan oleh partai FIS (Front Islamique du Salut) yang akhirnya memenangkan Pemilu Aljazair 1990. Meski akhirnya FIS dibubarkan militer tahun 1992 karena dianggap radikal dan hendak mendirikan sistem Khilafah, lalu dinyatakan sebagai partai terlarang. Akankah hal yang sama terjadi di Indonesia? Keempat; demonstrasi berseri sejak Oktober 2016 yang menekan pemerintah memenjarakan Ahok, dengan melibatkan massa puluhan hingga ratusan ribu, jelas menunjukkan ‘gaya politik’ Islam politik yang suka memaksakan kehendak. Mobilisasi massa berbalut kegiatan keagamaan dijadikan alat penekan untuk mendesakkan kepentingan politik dan kebenaran partikular mereka.

Sumber: https://arrahmahnews.com/2016/01/25/ketua-pwnu-jabar-ormas-islam-anti-pancasila-dan-pendukung-khilafah-wajib-dibubarkan/
Sumber: https://arrahmahnews.com/2016/01/25/ketua-pwnu-jabar-ormas-islam-anti-pancasila-dan-pendukung-khilafah-wajib-dibubarkan/
Dengan konfigurasi macam di atas, kita kini bisa memiliki gambaran bagaimana wajah ibukota DKI dibawah kepemimpinan Basuki-Djarot (Badja) atau Anies-Sandi. Sebagai petahana mudah membayangkan kepemimpinan Badja, yaitu penuntasan yang sedang berjalan dan pengembangan dari yang kini sudah berjalan.

Bagaiman bila Anies-Sandi memenangkan konstetasi pilkada DKI? Sejauh ini belum ada ‘bukti kinerja’ dan rekam jejak positif yang diangkat, baik oleh Anies maupun Sandi dalam debat Pilkada sebagai modal personal. Kecuali mengklaim diri sebagai figur santun dan anti penggusuran.  Kita bisa saja berpikir positif mempercayai Anies-Sandi sebagai individu pekerja keras dan telah terbukti sukses di bidang masing-masing. Tetapi dapatkah kita mengatasi kekhawatiran memercayai mereka dalam kesatuan “Tim Kerja”  melalui sistem saling dukung di Pilkada ini? Bukankah kita memiliki rekam jejak dan mengenal sepak terjang Habieb Riziek CS, Tommy Soeharto, Fadli Zon, Fahri Hamzah, Haji Lulung, Moh.Taufik, Al-Khaththath, dsb? Sebuah “tim kerja sempurna’ dengan pembagian tugas dan penguasaan lini masing-masing yang terlatih, juga agresifitas terasah. Sayangnya, lebih menonjol membela kepentingan ideologi kelompok ketimbang negara!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun