Mohon tunggu...
Selo Lamatapo
Selo Lamatapo Mohon Tunggu... Jurnalis -

Jurnalis pada surat kabar Flores Pos

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ayah, Aku Ingin Sekolah

28 November 2018   11:34 Diperbarui: 28 November 2018   11:38 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tiada yang lebih kejam dari penderitaan. Dibunuhnya satu impian dan cita-cita manusia hingga ke akar-akar. Dihempaskannya harapan manusia-manusia yang tak punya apa-apa. 

Demikian pengalaman Natalia Olga Tapa, (11),  siswi kelas V SDK Detuwulu, Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende, Flores, NTT, bersama dua adiknya, Matias Reyhard Resa, (5), dan Maria Navya Candratika, (3). Mereka terpaksa mengubur segala impian dan kerinduan untuk mengenyam dunia pendidikan setelah menyaksikan ayah mereka, Firmus Du, (35), terbaring lumpuh di tempat tidur.

Hari itu, 17 Januari 2015. Firmus Du, pengiris dan penjual moke serta tukang sensor, tidak pernah menyangka bahwa hari itu adalah permulaan penderitaan hidup keluarganya. Ia menjalankan salah satu aktivitas hariannya sebagai tukang sensor kayu. Sayangnya, kesialan selalu datang tanpa kompromi. Ia ditindih pohon kelapa, ketika sedang menjalankan pekerjaan hariannya itu di desa Maurole, Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende, Flores.   

"Saya sedang memotong batang kelapa yang ada di tanah, ketika orang-orang berteriak menyuruh saya menghindar. Pohon kelapa yang tidak saya sensor tiba-tiba tumbang menindih tubuh saya. Saya tidak sempat menghindar, karena saya tidak mendengar teriakan warga. Sejak saat itu, saya tidak bisa berjalan sama sekali. Selangkah pun tidak," tutur Firmus bernada tidak percaya akan perstiwa silam itu.

Kesusahan bermula sejak peristiwa malang itu. Firmus tidak dilarikan ke rumah sakit, karena ketiadaan biaya pengobatan. Alhasil, Firmus hanya terbaring di tempat tidur. Status kepala rumah tangga beralih kepada istrinya, Bernadeta Riti. 

Kini, Bernadeta harus mengumpulkan segala ketabahan dan siap berjuang menghidupi keluarga kecilnya. Demikian juga ketiga anaknya yang masih belia. Mereka terpaksa menanggung segala penderitaan ini.

Si sulung, Natalia Olga Tapa, harus tinggal bersama nenek dan kakeknya, keluarga dari ayahnya. Sementara, bungsu, Maria Navya Candratika, juga harus tinggal bersama opa dan omanya, keluarga dari ibunya, lantaran pendapatan biaya eknomi hidup kian mengering.

Bermodalkan sedikit uang tabungan penghasilan dari penjualan moke, mereka menyewa sebuah kos sederhana di desa Maurole. Kos itu terletak di pinggir pantai dengan tarif 100 ribu per bulan. Ukurannya tidak terlalu luas. 

Di sana hanya ada satu ruangan dan terdapat satu tempat tidur untuk tiga orang, Firmus, Bernadeta, dan Matias Reyhard Resa, anak kedua. Di sudutnya, ada sebuah meja meletakan kompor dan peralatan masak serta beberapa peralatan makan. Selebihnya, beberapa potongan pakaian dengan sebuah kelambu usang pengusir nyamuk.

Titi batu

Satu-satunya cara bertahan hidup adalah bekerja. Bernadeta bersama anaknya, Jojon, demikian Matias Reyhard Resa disapa, mulai mengumpulkan uang dengan cara titi batu. 

Batu-batu dipungut dari tepi pantai lalu dititi dengan sebuah pemukul kecil. Hasilnya ditawarkan kepada kenalan dengan harga satu karung semen bekas sebesar 10.000 rupiah.

Mulanya, pekerjaan ini mendatangkan keuntungan yang mampu menghidupi keluarga kecil itu. Namun, hari demi hari, para penduduk sekitar itu pun melakukan pekerjaan yang sama. Alhasil, Bernadeta dan keluarganya tidak lagi menuai penghasilan. Sementara kehidupan terus berlangsung dengan segala tetek bengek kebutuhannya.

Betapa susahnya mengalami hidup yang demikian rumpil rumit. Jojon, si kecil itu, harus menemui masa kecilnya dengan bekerja. Sementara teman-temannya begitu bahagia menikmati kehidupan dengan segala kelebihan. Hari-harinya adalah membantu ibunya mengumpulkan batu-batu dan menyaksikan ibunya memecahkan batu untuk dijual. Pernahkah ia memahami hidup yang demikian rumit?

"Kami menyekolahkannya di TK Salib Suci Maurole, karena kami tidak tega melihat ia menyaksikan teman-temannya bermain begitu riang. Sementara ia terpaksa membantu kami. Meskipun biaya sekolahnya mahal, tetapi kami berjuang untuk menyekolahkannya biar ia mengalami kebahagian sebagaimana yang dialami teman-temannya. Ia tidak tahu penderitaan ini begini susah," kata Bernadeta yang tak lagi membendung air matanya seraya memeluk Jojon.

Penjualan batu tidak lagi berjalan seperti sebelumnya. Warga di sekitar pantai itu melakukan pekerjaan yang sama. Mereka memiliki kenalan yang lebih banyak ketimbang keluarga Bernadeta. 

Batu yang sudah dititi dibiarkan saja dikarung. Apabila ada pesanan, Bernadeta siap melayani dengan sepenuh hati.

Jual sapu lidi dan jahit sepatu

Firmus Du tidak tega melihat istri dan anaknya berjuang sendirian menghidupi rumah tangga ini. Dalam kondisi yang demikian, ia mengumpulkan tenaganya untuk membantu walaupun hanya di tempat tidur.

Momen kekurangan ini menjadi momen mewujudkan kemampuan diri yang terbatas. Ia bersama istrinya bersepekat untuk membuat sapu lidi dari daun kelapa dengan pegangan dari batang-batang kayu. Sekiranya pekerjaan ini dapat membantu kehidupan rumah tangga mereka.

Bernadeta dan Jojon yang belia mengharapkan belas kasihan dari warga setempat untuk memberikan daun-daun kelapa. Jojon yang polos setia menemani ibunya mendapatkan daun-daun dan batang-batang kayu untuk dijadikan sebagai sapu lidi. 

Belas kasih warga setempat adalah rahmat sukacita bagi keluarga Bernadeta untuk hidup sehari.

Keluarga kecil itu bergotong royong membuat sapu lidi dan selanjutnya dijual oleh Bernadeta ke kios-kios dengan harga per sapu lidi 7.000 rupiah. Harga ini membuat keluarga kecil Bernadeta bertahan hidup sehari dan memenuhi keinginan-keinginan dadakan Jojon yang berusia belia.

Selain itu, Firmus juga mengisi kekosongan hariannya dengan menjahit sepatu dan sendal para warga yang mempercayakan jasanya. Firmus yang tabah tidak pernah meminta imbalan. Ia hanya mengharapkan belas kasih warga.  

Jojon dan Olga yang tabah

Dalam kesusahan yang demikian rumit, Olga, si sulung, dan Jojon pernah mengutarakan kerinduan untuk mengenyam pendidikan ke jenjang lebih tinggi. 

Saat itu, usai penerimaan rapor sekolah, Olga mengutarakan niatnya ke tingkat SMP kepada ibu dan ayahnya di kos. Olga yang selalu meraih juara 1 tiap semester bertekad melanjutkan pendidikannya ke SMP.

"Ayah, bisakah saya melanjutkan pendidikan hanya sampai ke tingkat SMP? Biayanya nanti saya cari sendiri. Saya akan pilih dan jual kemiri untuk biaya sekolah saya." Olga bertanya seakan membujuk dan meyakinkan orang tuanya.

Firmus, sang ayah tunduk tak mampu menahan air mata. Sementara Bernadeta tak bisa menyembunyikan air matanya. Ia memeluk Olga, anaknya, dengan pelukan yang paling hangat untuk mengatakan bahwa pelukan itulah yang menjaga Olga hingga selamanya.

"Kalau keadaan ayah seperti dulu, Nak, ayah tidak akan pernah membiarkan kamu menderita seperti ini. Kamu boleh sekolah sampai tingkat mana pun, ayah akan biayai. Tapi, sekarang ayah tidak bisa berbuat apa-apa. Ayah juga tidak tega lihat ibumu kerja banting tulang untuk biaya pendidikan yang kian mahal," tutur Firmus seraya menangis setelah mengutarakan semua ini.

Olga turut menangis. Air matanya menghapus niatnya untuk berhenti meminta hal serupa lagi. Ia hanya bekerja dan berjuang menggunakan waktu tersisa di jenjang pendidikan sekolah dasar. Ilmu bisa saja datang dari luar bangku pendidikan. 

Jojon yang kecil tidak tahu apa-apa akan semua ini. Ia menyaksikan semua itu dalam hening. Pernah ia mengutarakan hal yang sama kepada ayah dan ibunya.

"Ayah, saya mau jadi polisi. Tapi kalau ayah tidak ada uang, nanti saya jadi konjak (kondektur) mobil supaya saya tabung uang untuk sekolah saya," ujar Bernadeta mengulangi kalimat anaknya, Jojon, saat itu.

Demikian hidup. Ia membuatmu memikirkan banyak hal dan berbuat banyak hal untuk bertahan. Jojon yang belia dan Olga, kakaknya, tegar menantang kejamnya penderitaan di depan mata mereka. Mereka belum menyerah dan tidak akan kalah.

Sementara di kota-kota, kita menyaksikan beribu-ribu anak dan orang muda serta kaum terpelajar sibuk memikirkan lipstik yang mahal, baju yang bermerek, handphone yang gaul, dan segala hal yang tidak mengenal kurang. 

Di media sosial, kita menjumpai beribu-ribu orang galau, karena putus cinta, galau karena merasa tidak diperhatikan kekasih, dan segala tetek bengek murahan lainnya.

Di kantor-kantor, orang duduk bermalas-malasan. Sementara media sibuk memberitakan aneka korupsi dari liang RT sampai tingkat nasional. 

Di pelosok Maurole sana, sebuah desa yang ditempuh melalui jalanan yang tidak diperhatikan pemerintah, ada sebuah keluarga kecil yang tidak pernah berhenti memikirkan hidup. Ada tiga orang anak kecil yang bermimpi meraih cita-cita, tetapi dihalangi kondisi dan kemiskinan yang kejam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun