Mohon tunggu...
Selly Mauren
Selly Mauren Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

Writing is my daily journal. Welcome to my little blog. Hope the articles will inspire all the readers.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Terserah Apa Kata Mereka ...

6 April 2024   11:28 Diperbarui: 6 April 2024   11:32 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
canva.com/Juliana Silva 

"Setiap hari adalah kesempatan baru untuk mencoba lagi. Jika kemarin gagal, bisa saja hari ini berhasil."

Begitu kata-kata pamungkas yang katanya akan membentuk mindset positif. Nyatanya, membangun pola pikir tidak semudah mempertahankan fungsinya dalam segala kondisi. Kecenderungan manusia adalah selalu mengalami perubahan dan itu adalah hal yang wajar. Bukankah itu siklus hidup yang harus dijalani? 

Hari ini aku terbangun tengah malam. Beberapa hari terakhir memang tidak menyenangkan. Aku sering mimpi buruk yang tidak dipahami apa maksudnya. Setelah itu, aku sulit untuk kembali tidur. Alhasil, kantong mata panda kembali menghiasi wajah. 

"Rutinitas yang bikin jenuh. Andai saja bisa, ingin sekali ga kerja tapi duit terus ngalir", gerutu batin. 

Langkah kaki terasa berat keluar rumah. Apalagi awal bulan. Masih ada 29 hari lagi hingga gajian. 


Duit menipis karena kemarin belanja kebutuhan bulanan dan skincare jenis baru. Sebelumnya pakai skincare mahal, tapi hasilnya ga maksimal. Gini amat jadi perempuan. 

Sesampainya di kantor ketemu lagi dengan rekan julid. Si ratu centil yang paling tidak bisa diam mengomentari orang lain. 

"Din, tumben baju dan tasmu ga match warnanya hari ini", 

"Make-up dong biar ga pucet kayak orang sakit",

"Diem diem bae biar keliatan kerja sama bos. Wess...", 

dan berbagai komentar lainnya yang sudah dianggap jadi hal biasa oleh anak anak seruangan. Kebiasaan menghadapi tipe orang demikian setiap hari, secara tidak langsung membentuk sikap bomat atau bodo amat. 

 "Telelet ... telelet", dering telepon di meja kerjaku. 

"Halo, selamat pagi"

"Segera ke ruangan saya. Ada yang perlu saya bicarakan sebelum rapat besar nanti siang"

"Baik Pak", aku pun meletakkan gagang telepon dan bergegas menuju ruangan manajer divisi. 

Kurang lebih 10 menit kami berdiskusi. Beliau memintaku menyiapkan semua dokumen yang diperlukan untuk presentasi proyek nanti. Pak manajer baru bekerja beberapa minggu, sehingga dia masih belajar tentang budaya kantor. Ia sering bertanya banyak hal padaku. Aku pun tak sungkan untuk menjelaskan hal yang penting sampai tidak penting. 

Usianya jauh lebih dewasa. Mungkin itulah penyebab terkadang ia merasa lebih tahu karena posisi jabatannya yang lebih tinggi. Beberapa kali saat rapat, aku merasa kesal karena ia sering memerintahku untuk menjelaskan progress proyek. Padahal, itu adalah tugasnya. Parahnya lagi hasil kerjaku beberapa kali mengalami diskredit atas namanya. 

Di tempat nongkrong setelah pulang kerja... 

"Ada breaking news apa lagi hari ini di kantor lo Din?", tanya temanku mengawali diskusi kualitatif hehe....

Dina menarik napas panjang sebelum bercerita, "Huuh ... pengen resign tapi gajinya lumayan tinggi lagi disini. Cuman bisa ngucapin mantra Allizwell allizwell hampir setiap hari haha", celoteh Dina mengikuti jargon film bollywood favoritnya.

Dina sadar bahwa ada banyak hal yang sudah dipelajari di kantornya sekarang. Bahkan mengerjakan tugas yang bukan tanggungjawabnya sekalipun sudah menjadi kebiasaan.  Makin banyak pengalaman mengurus ini itu, makin pula terlatih cekatan menyikapi situasi genting. 

"Sebanding ga sama jobdesc lo?", tanya teman yang lain.  

"Hmmm ... mengerjakan sesuatu yang menjadi tanggungjawab orang lain memang menyebalkan. Apalagi ketika gue dihadapkan dalam situasi yang ga bisa nolak. Ya, bukan tentang gue ga sanggup berkata "tidak". Tapi, nasib gue jadi bawahan yang terikat komitmen dan konsekuensi yang memberatkan." 

"Hidup sudah berat ga usah nambah masalah", begitu pikir Dina. 

Untungnya ada teman dan keluarga yang bisa dijadikan tempat nyambat melepaskan emosi kesal sesaat. Toh, besok juga masih akan ketemu dengan orang yang sama. 

Yup, bersikap profesional adalah kunci. 

"Emang lo ga capek dalam lingkungan seperti itu?", pertanyaan yang paling sering diberikan oleh mereka saat aku curhat. 

"Capek? Pastinya dong. Namanya juga hidup. Selama masih bisa gue toleransi, ya anggap aja kayak angin lewat", balasku santai. 

"Kalo gue sih, ga akan betah kerja lama-lama disana", aku hanya tertawa kecil mendengarnya. 

Setiap orang punya cara berbeda dalam merespon situasi yang sama. Pilihannya ada dua, fight or flight. Tentunya masing-masing pribadi menetapkan persyaratan khusus sejauh mana mereka akan bertahan dan akhirnya memilih pergi. 

Kalau prinsip perempuan ini, "selama apa yang dia lakukan adalah menurutnya baik dan tepat, maka dia tidak akan mundur. Dia tidak perlu merasa kecewa, tersinggung, ataupun bersalah terhadap dirinya sendiri. Apalagi kepada orang lain".

"Gini ya, hal baik yang kita lakukan saja masih tetap ada yang mengomentari jelek. Apalagi kalau melakukan hal yang buruk. Intinya, omongan jelek orang lain ga perlu ditanggapi serius. Karena hanya kita yang paling kenal dengan diri kita sendiri", kataku mendadak bijak." 

"Sok bijak lu kayak emak gue aja", balas temanku disambut tawa bersama. 

Kalau dalam bahasa Jawa dibilang, "Sakarep dewe. Jenenge urip mesti akeh cobaan, yen akeh saweran kui jenengan dangdutan"

"Apaan tuh artinya?", tanya seorang teman.

"Googling lah", balasku mengejek. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun