"Menulis dengan hati atau menulis dengan emosi? Padahal, emosi bukan mainan hati. Ia hanya luapan pikiran seputar kepala yang sering dimasukan ke dalam hati." Begitu pikir saya malam itu, ditemani kopi hitam dari gelas hadiah pembelian diterjen.
Sambil mengupas daki hitam ditangan karena belum mandi, saya menatap rerumputan didepan teras rumah sembari menikmati alunan bunyi katak yang tidak karuan. Suasana itu malah lebih bikin otak perputar tentang buah pikir yang beberapa menit telah menghilang.
Akhirnya saya minyimpan buah pikir itu disini dalam tulisan ini. Agar kelak, pekerjaan pikiranku dapat dibaca kebanyakan orang, meski tak lebih dari 13 pembaca. Hanya seputar perihal menulis, antara diksi pikiran yang tertuang dalam tulisan nyata. Rupanya, pembaca kadang menafsirkan salah perihal tulisan sang penulis. Seperti pelukis yang melukis imajinasinya. Hingga saya menyalip pikiran itu dengan rasa seumpama indra ke 6. Hahahah..! Saya menolak yang datang dalam pikiran barusan, karena tak paham soal ayat Al-Qur'an dan tentang cerita ulama khasaf.
Terus jauh saya menelaah semua bisikan pikiran yang silih berganti. Semacam tabir penghalang itu datang dari keterbatasan waktu dan isi perut yang menjadi dalih kenapa banyak orang menulis air matanya di beranda Facebook. Seperti memberi tahu banyak masalah menimpanya. Apa kalian bisa menyangkal itu?Â
