Mohon tunggu...
Selamet
Selamet Mohon Tunggu... Indonesia

Manusia yang ingin SELALU menulis segala sesuatu yang BERMANFAAT.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

MK Putuskan Capres Tak Wajib Sarjana

29 September 2025   21:41 Diperbarui: 29 September 2025   21:41 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bayangkan sebuah debat, apakah gelar sarjana harus jadi syarat mutlak untuk memimpin negeri? Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja menutup pintu itu lagi. Dalam putusan terakhir, MK menolak permohonan yang meminta syarat pendidikan calon presiden dan wakil presiden diubah dari minimal tamat SMA menjadi minimal S1. Putusan ini dibacakan dalam Sidang Pengucapan Putusan Nomor 154/PUU-XXIII/2025 pada 29 September 2025.

Mengapa MK menolak?

MK menegaskan bahwa penetapan syarat pendidikan termasuk ke ranah kebijakan hukum terbuka yang menjadi wewenang pembentuk undang-undang (DPR dan pemerintah). MK berpendirian bahwa menaikkan ambang pendidikan menjadi S1 berpotensi mempersempit hak politik warga negara dan tidak ada pelanggaran konstitusi yang cukup kuat untuk membatalkan ketentuan saat ini. Pernyataan putusan "Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya" secara resmi menutup upaya uji materi ini.

Sebenarnya ini bukan pertama kali. Pada putusan sebelumnya MK juga menolak gagasan yang sama (Putusan Nomor 87/PUU-XXIII/2025 pada Juli 2025), sehingga putusan kini menguatkan lini argumentasi pengadilan tentang relevansi dan dampak sosial-konstitusional dari perubahan syarat pendidikan.

Intisari putusan:

  • MK menolak seluruh permohonan uji materi terkait syarat pendidikan capres/cawapres.

  • Alasan utama menaikkan syarat pendidikan bisa membatasi hak politik warga.

  • Syarat minimal tetap tamat SMA atau sederajat sesuai UU Pemilu.

Validasi tetap Diperlukan!

Keputusan MK ini punya beberapa implikasi nyata yang perlu dicermati:

  • Akses politik tetap lebih luas. Warga tanpa gelar sarjana tetap berpeluang ikut kontestasi politik sebuah sinyal bahwa pengalaman, rekam jejak, dan dukungan konstituen masih dinilai penting.

  • Isu kualitas kepemimpinan tidak selesai oleh aturan formal. Banyak pihak berpendapat kualitas pemimpin ditentukan oleh kompetensi, integritas, dan dukungan publik bukan semata ijazah.

  • Ijazah tetap harus tervalidasi. Meski syarat pendidikan minimal hanya SMA, dokumen ijazah wajib sah, valid, dan dapat diverifikasi. Lebih jauh, publik berhak melihat transparansi itu sebagai bagian dari keterbukaan informasi seorang pemimpin. Validasi ini bukan sekadar administratif, tetapi menyangkut kepercayaan rakyat pada kredibilitas kandidat.

  • Peran pembentuk undang-undang tetap krusial. Jika ada konsensus politik untuk mengubah syarat, jalurnya harus lewat DPR dan pemerintah, dengan debat publik yang matang.

Keputusan MK menegaskan prinsip inklusivitas politik bahwa syarat administratif tidak boleh menjadi saringan mutlak yang menutup peluang warga untuk berkontribusi. Namun, transparansi soal ijazah menjadi harga mati: publik berhak tahu, dan pemimpin wajib menunjukkan keterbukaan. Diskusi soal kualitas pemimpin tetap penting, tapi jawabannya lebih kompleks daripada sekadar menaikkan kualifikasi ijazah. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun