Akses politik tetap lebih luas. Warga tanpa gelar sarjana tetap berpeluang ikut kontestasi politik sebuah sinyal bahwa pengalaman, rekam jejak, dan dukungan konstituen masih dinilai penting.
Isu kualitas kepemimpinan tidak selesai oleh aturan formal. Banyak pihak berpendapat kualitas pemimpin ditentukan oleh kompetensi, integritas, dan dukungan publik bukan semata ijazah.
Ijazah tetap harus tervalidasi. Meski syarat pendidikan minimal hanya SMA, dokumen ijazah wajib sah, valid, dan dapat diverifikasi. Lebih jauh, publik berhak melihat transparansi itu sebagai bagian dari keterbukaan informasi seorang pemimpin. Validasi ini bukan sekadar administratif, tetapi menyangkut kepercayaan rakyat pada kredibilitas kandidat.
Peran pembentuk undang-undang tetap krusial. Jika ada konsensus politik untuk mengubah syarat, jalurnya harus lewat DPR dan pemerintah, dengan debat publik yang matang.
Keputusan MK menegaskan prinsip inklusivitas politik bahwa syarat administratif tidak boleh menjadi saringan mutlak yang menutup peluang warga untuk berkontribusi. Namun, transparansi soal ijazah menjadi harga mati: publik berhak tahu, dan pemimpin wajib menunjukkan keterbukaan. Diskusi soal kualitas pemimpin tetap penting, tapi jawabannya lebih kompleks daripada sekadar menaikkan kualifikasi ijazah.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI