RAMADHAN 2011 aku rasakan sangat istimewa. Bisa berkumpul dengan sahabat lama. Bertemu teman baru. Meskipun jauh dari kampong halaman, namun sahabat dan teman, telah menjadi keluarga besarku.
Puasa tahun ini, aku memiliki visi yaitu membuat perisai yang kokoh dan kuat dalam beragama. Ini tentu tidak mudah. Namun, misi ini sudah ditahbiskan jauh sebelum ramadhan dimulai. Aku yakin dengan keberkatan puasa. Ada banyak nilai yang harus digali. Ada banyak norma mulia dan agung, dibalik haus dan dahaga. Ada banyak jalan, yang bisa digagas saat perut lapar. Ada banyak temuan baru yang bisa kutulis, saat perut berdendang saling tending, berkecamuknya cacing dalam perut yang kelaparan.
Aku menetapkan visi itu melalui tiga misi sederhana. Pertama, PEACE. Kedamaian sangat aku butuhkan, terutama kedamaian hati. Hanya hati yang damai, tenang dan tentram bisa menganalisis secara jernih berbagai persoalan hidup. Cukup dengan hati yang bersih bisa menyapu berbagai kotoran batin yang hinggap tanpa diundang. Kedamaian hati, dalam hidup menjadi penting dari segalanya. Tak perlu terapi liburan atau tamasya ke sebuah daerah yang menawarkan pesona indah dan menawan. Terkadang, liburan raga tidak bersamaan dan senyawa dengan liburan jiwa. Buktinya, banyak orang liburan, justru pikiran dan hatinya semakin terenggut dengan kegelisahan yang tak kunjung punah.
Banyak manusia mencari kedamaian secara instant. Misalkan hadir dalam sebuah pertemuan, dan secara instant dididik untuk bisa meneteskan air mata dan dipaksa untuk mengakui segala dosa. Setelah sekian lama, akhirnya dosa itu dilakukan kembali. Nah, aku yakin bulan puasa adalah terapi paling istimewa dari Tuhan yang bisa aku jadikan ramadhanku lebih bermakna. Sebuah terapi gratis asalkan mau menjalankannya. Sudah jelas Tuhan memberikan sebuah pahala yang besar, dan memberikan ampunan atas segala dosa, asalkan puasa dilaksanakan secara ikhlas dan berilmu. Jadi untuk apa mencari kedamaian instant, sementara bulan puasa sendiri tidak digunakan untuk itu.
Kedua, LOVE. Makna cinta dan mencintai adalah sistem yang teralur rapih dalam pikiran. Mencintai sebuah benda, mencintai sebuah profesi, mencintai untuk seorang manusia yang bernyawa. Rasa cinta dan mencintai, harus aku pupuk kembali dengan hamparan keberkatan dan keagungan puasa. Tanpa cinta, apapun yang dimiliki hanya menjadi bencana. Tanpa kesadaran terdalam dan keikhlasan yang terbungkus dalam cinta, sehebat apapun, warna hidup hanya sebuah tamparan yang menyakitkan dan memilukan berbagai sisi kehidupan.
Cinta bukan barang murahan. Ia harus diuji dalam sebuah proses ruhani yang memadai. Sehingga cinta yang ditimbulkan, bukan cinta imitasi dengan harga murah. Namun, cinta asli yang lahir dari sebuah saringan puasa yang tiap hari berkutat dengan menahan diri atas segala dosa dan nista.
Ketiga, RESPECT. Rasa hormat dan menghormati antarsesama harus menjadi bagian penting yang ingin aku jadikan prioritas lebih mempribadi dan membumi. Apalagi, kini, rasa itu sudah terenggut zaman modern. Anak dan orang tuanya, sudah tergilas hormatnya karena harta, murid terhadap gurunya sudah tertindas rasa hormatnya dengan nilai dan pemberian material. Seorang rakyat kepada pemimpinnya, sudah tertintas rasa hormatnya hanya karena tidak mengayomi dan memberikan bimbingan.
Dari ketiga misi itu, sebenarnya apa yang kita ucapkan saat lebaran Minal 'Aidin wal-Faizin, yang maknanya bila direnungi secara mendalam memiliki arti"Semoga kita semua tergolong mereka yang kembali (ke fitrah) dan berhasil (dalam latihan menahan diri)" Semoga Tuhan memberikan kemudahan. Amin Ya Robbal A’lamin. Wallahua'lam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI