Sebastianus Naga
Saya terlalu tersentuh ketika melihat tayangan video di media sosial yang menayangkan tangisan yang pecah di pinggir pantai Oebubun seraya memanggil nama Boy, dalam kekecilan tak berdayanya, ia sangat dirindukan oleh ibunya. Tapi Saya akui, Doa seorang Ibu memang mampu memecah ombak, ibarat tongkat Musa membela derasnya arus lautan.
___________________
Di tepi pantai Oebubun, di antara deburan ombak yang seolah tak mengenal lelah, terpatri kisah pilu penuh air mata. Kesedihan yang menukik, menggali dan menumpahkan air mata tak terhingga. Cinta yang kuat, membuat sosok ibu yang kehilangan untuk selamanya itu, sembab mata menatap laut luas yang telah merenggut dua jiwa yang dicintainya: suaminya dan putranya.
Tiga hari berlalu sejak mereka pergi mencari nafkah pada lautan yang dipercayai sebagai ladang kehidupan justru menjadi gerbang menuju keabadian. Mereka bukan tak mampu membeli ikan dari saku yang sederhana. Mereka adalah pesona penampak cahaya bagi kerinduan nafkah keluarga. Namun, kerinduan itu berubah menjadi tangisan. Rindu itu berubah sekejap menjadi petaka yang memilukan.
Tangisan yang pecah, membuat Sang Kekasih barhati Maria itu jatuh bersimpuh. Jemarinya gemetar mengukir nama suami dan anaknya di atas pasir yang basah. Ia melingkarinya dengan bentuk hati; mengabadikan kasih yang tak lekang oleh waktu. Air matanya jatuh membasahi tulisan itu, seolah berusaha membangunkan mereka dari keheningan yang kini memisahkan mereka.
Sejak malam pertama kehilangan, doa-doa tak pernah absen dari bibirnya. Setiap hela napasnya adalah seruan kepada Tuhan. Setiap tetes air matanya adalah harapan agar tangan Ilahi menjangkau mereka yang telah tenggelam. "Ya Tuhan, jika mereka harus kembali kepada-Mu, izinkan aku melihat mereka untuk terakhir kalinya,"
Ia berdiri di sana setiap pagi dan malam, membiarkan angin laut membelai wajahnya yang penuh duka. Ibarat Sang Bunda yang meratap di kaki salib, sang ibu menyerahkan segala luka kepada kehendak Sang Khalik.
Perahu-perahu kecil terus berlayar, menyisir setiap sudut lautan yang menyimpan tubuh mereka. Ombak seolah merahasiakan keberadaan Mus dan Boy, menolak menyerahkan mereka kembali kepada dunia yang masih merindukan kehadiran mereka. Namun nelayan-nelayan yang berhati rindu itu, mereka luar biasa. Antara rangkulan dan derasnya ombak, aksinya bergantian.