Wilayah Barat mencakup tanah persekutuhan Ndona
persekutuhan Lika Mboko Telu di Wilayah Utara Lio yang meliputi Numba, Tendaleo, Ratewati, Anaranda dan Paupanda. Mosalaki Riabewanya yakni Simon Seko (hingga 2003) Tanah Persekutuhan Unggu di wilayah Utara Lio yang mencakup Nida, Watunggere, Kanganara, Detukeli, Pisa, Tana Au, Lasugolo, Aedari dan Fungapanda Tanah Persekutuhan Nuangenda di wilayah Utara Lio mencakup Welamosa, Nuangenda ke arah perbatasan dengan Unggu Tanah Persekutuhan Daumboi di wilayah Utara Lio mencakup daerah Ranakolo Tanah Persekutuhan Keliwumbu Tanah persekutuhan Ndondo Naka Taka
PROFIL NAMA LIO
Kata LIO dimunculkan ketika wilayah tanah kunu lima dan Ndona disatukan menjadi satu kerajaan oleh Pius Rasi Wangge pada 1924. Untuk menyebut dua kerajaan yang disatukan itu Raja Pius Rasi Wangge menamainya LIO. Bagi Pius Rasi Wangge LIO diartikan sebagai Lise Ila Obo atau Lise adalah lampu obor. Secara bebas diartikan bahwa orang Lise adalah penerang, pemimpin dan perkasa. Pengertian ini diasumsikan oleh Simon Seko, Ria Bewa tanah Lika Mboko Telu Mautenda sebagai politik kekuasaan orang Lise. (Sumber : P. Sareng Orinbao, Tata Berladang Tradisional dan Pertanian Rasional Suku Bangsa Lio, Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero Nita Flores, 1992)
Arti yang digandrungkan oleh Raja Pius Rasi Wangge tampaknya berbeda dengan pemahaman orang Hindia Belanda yang kala itu berkuasa. Penguasa Hindia Belanda memahami kata LIO secara akronim dengan Bahasa Belanda “Land in Orloog” atau daerah konflik. Maksudnya suku bangsa yang mendiami daerah-daerah di kawasan LIO selalu bertikai satu sama lain. Kecenderungan suka berkonflik terlihat dari pemukiman suku bangsa tersebut yang terletak di atas bukit yang tinggi serta di tebing jurang yang dalam. Pilihan bermukim di kawasan tersebut guna mengetahui secara cepat kedatangan musuh sekaligus memberikan perlawanan secara tepat terhadap pihak musuh yang datang. Land in Oorlog juga disinkronkan dengan keyakinan primordial yang menunjukkan figur Woda dan Wangge, dua tokoh Lise yang suka merampas dan merampok. Kepada keduanya dijuluki “Gudu Woda Budu, Biga Wangge Rago” berarti Woda menggemparkan dan Wangge menggegerkan. Keduanya dipandang memperluas wilayah Lise dengan cara menimbulkan kepanikan. (Sumber : P. Sareng Orinbao, Tata Berladang Tradisional dan Pertanian Rasional Suku Bangsa Lio, Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero Nita Flores, 1992). Pada era tahun 1980-an di Ende muncul Bapak Petrus yang menjelaskan arti kata LIO secara lebih akomodatif. Bapa Petrus mengartikan kata LIO sebagai “ Li - Ine – One atau Sa Li, Sa Ine, Sa One”.
Sa Li adalah sebaya, seusia atau seumur.