Mohon tunggu...
Sebas
Sebas Mohon Tunggu... Lainnya - D

I,m humble person

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tidak Ada Jakarta Hari Ini

21 Agustus 2016   10:38 Diperbarui: 21 Agustus 2016   11:00 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku melangkah di pinggir jalan dibarengi dengan hujan rintik-rintik yang datang membumi. Sudah sekian lama aku tidak berkunjung ke kota ini. Apa kabar kamu Jakarta? Apakah masih sama seperti yang dulu? Semenarikkah kamu seperti waktu itu?. Aku menatap langit yang mendung menghitam. Rintik rintik hujan selalu membawa kenangan kembali ke memori waktu itu. Waktu itu Jakarta sungguh menarik. Entah mengapa Jakarta adalah kota yang pertama kali mengajarkan aku makna untuk berjuang. Aku berkenalan dengan banyak orang di kota ini. Mereka sungguh luar biasa makanya kita selalu diajarkan untuk terus membumi, bersikap rendah hati tanpa perlu menunjukkan kesombongan yang tak ada arti.

Tidak ada Jakarta hari ini. Sahabat-sahabatku sudah banyak yang meninggalkan kota ini. Entah ke luar negeri atau ke luar pulau. Bagiku Jakarta terasa hampa. Meskipun dulu hanya tidur di ruangan dengan ukuran 2x2 meter namun lebih terasa kenikmatannya dibandingkan sekarang tidur di hotel mewah. Tiga hari di Jakarta pun terasa sangat hampa. Tidak ada tujuan lagi di kota ini. Mungkin hanya senja sore hari di kota ini yang selalu penuh arti.

Gedung gedung pencakar langit yang menutupi kota ini menjadikan senja tidak terlihat di beberapa tempat. Kadang orang bekerja dari pagi pagi buta hingga malam larut. Mereka tidak bisa menikmati keindahan senja. Bagiku senja terindah di kota ini ada di tugu monas. Matahari yang berada di samping tugu monas disertai dengan warna merah keemasannya nampak indah apalagi ditambah pantulan dari air sehingga sunset tampak terlihat dua.

Tidak ada Jakarta hari ini. Senyum tawa kesederhaan itu nampak penuh arti meski hanya makan di sebuah warung pecel lele di pinggir jalan. Entah mengapa rasa pecel lele dengan sambal terasi ditambah nasi uduk itu sungguh enak dibandingkan makan di hotel mewah ini. Sama-sama ayam goreng saja mungkin harganya bisa sepuluh kali lipat. Dan rasanya pun tidak senikmat warung pecel lele pinggir jalan itu. Entah mengapa bisa begitu. Mungkin para penjaja masakan pinggir jalan memang hanya jualan rasa tanpa embel-embel estetika atau keromantisan tempat. Tapi bukankah harusnya yang namanya jual makanan adalah jual rasa?

Sama seperti kopi yang dihidangkan di outlet besar itu. Rasanya sama-sama pahit namun harganya sungguh sangat berbeda. Bandingkan dengan rasa kopi di pinggiran jalan. Apakah bedanya? Bukankah sama sama pahit? mungkin karena aku bukan penikmat kopi yang handal. Tapi apakah wajar kopi bermerk harganya bisa puluh ribuan sedangkan kopi pinggir jalan harganya mungkin cuma lima ribu rupiah. Ataukah kita yang sudah dimakan gengsi? kalau tidak bermerk tidak enak? Mungkin memang sekarang sudah masuk jaman kekinian jika tanpa merk tidak enak.

Tidak ada Jakarta hari ini. Aku hanya sebentar di kota ini. Aku juga sudah mengikuti jejak rekan-rekanku untuk merantau. Kota ini sudah penuh sesak dan biarkan orang orang baru mengenal rasanya berjuang. Bagaimana rasanya berimpitan di busway dan krl. Bagaimana mahalnya biaya sewa tempat tinggal. Sekarang aku akan melangkah pulang. Bagiku Jakarta memang telah menjadi kota yang pernuh perjuangan namun ternyata tempatku bukan di sini. Kereta Argo Lawu akan menemaniku malam ini. Kini saatnya aku untuk pulang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun