Mohon tunggu...
Samsul Bahri Sembiring
Samsul Bahri Sembiring Mohon Tunggu... apa adanya

Dari Perbulan-Karo, besar di Medan, tinggal di Pekanbaru. Ayah dua putri| IPB | twitter @SBSembiring | WA 081361585019 | sbkembaren@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Salah Memilih Kuda Tunggangan

14 Juli 2019   13:32 Diperbarui: 14 Juli 2019   13:39 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: sindonews.com

Ucapan Prabowo sebagaiamana dilansir dari (Kompas.com/2019/07/13): "Jadi Saudara-saudara, saya sangat setuju. Sudahlah, tidak ada cebong-cebong, tidak ada kampret-kampret, semuanya Merah Putih," Setelah Prabowo berpelukan dengan Jokowi, selanjutnya menyebut   "Jadi kalau ucapan selamat maunya langsung tatap muka. Jadi saya ucapkan selamat, Pak (sambil menjabat tangan Jokowi)," di Stasiun MRT Jakarta pada Sabtu pagi (13/7/2019).

Ucapan pada Sabtu cerah  tersebut terdengar seperti petir di siang bolong bagi para pendukungnya, sebagian lagi seperti mendengar suara dalam mimpi, antara sadar dan tak percaya.  Kata-kata itu akan lama membekas, dan takkan dapat dipulihkan dengan sejuta kata-kata pembelaan di kemudian hari.  Pengkhianatan, demikan narasi singkat oleh pendukungnya secara masiv di media sosial, kata itu adalah pilihan paling tepat melukiskan makna luka hati  pendukungnya. Luka diatas luka, luka kalah pada Pilpres disayat lagi dengan luka pengkhianatan. Sempurnalah rasa sakit itu.

Pendukung Prabowo yang dimaksud adalah golongan idealis Islam garis keras yang sebagian kecil ada dalam rumahnya partai Gerindra, tapi kebanyakan dari PKS dan simpatisan luar partai seperti FPI dan PA 212, dan garis keras lainnya. Golongan pendukung tersebut menuntut mempertahankan Prabowo tetap pada garis keras idealisme Islam. Hal ini strategis dalam menjaga momentum perjuangan hingga peristiwa politik tahun 2024.  Golongan ini diperkirakan akan semakin kuat, dan dapat menentukan konstelasi politik tahun 2024 bila dapat mempertahankan Prabowo sebagai simbol "tunggangan" hingga tahun 2024.  

Sesungguhnya Prabowo sejatinya tidak sepemahaman dengan idealisme  Islam garis keras, dari segala sisi. Sepanjang karir politiknya, Prabowo tidak pernah menunjukan ideologi sepemahaman  dengan Islam garis keras. Memang sejak Pilpres 2014, Prabowo dengan partainya Gerindra  berafiliasi dengan PKS dan partai Islam lainnya, tetapi itu semata-mata berdasarkan perhitungan politik pragmatis.  Dari sisi latar belakang kehidupan pribadi dan keluarga besarnya, juga tidak ada alasan untuk  menilai beliau sejiwa Islam garis keras.

Dalam terminologi politik, kesadaran dan pemikiran Prabowo dan Gerindra lebih pada politik oportunis atau setidak-tidaknya politik pragmatis, sama dengan kebanyakan partai-partai politik di Indonesia, kecuali mungkin PKS dan PDIP. Paham pragmatis dan oportunis tidak menganut pada suatu ideologi garis partai yang tegas, setiap saat  disesuaikan dengan situasi dan kepentingan, sebaliknya politik garis keras tidak membolehkan melenceng dari garis keyakinan.

Pengamat politik yang cerdas,  sudah sejak awal menduga arah yang dituju Prabowo, yang ditunggu adalah  momen kapan dia memutuskan, dan bagaimana caranya melepaskan diri dari Islam garis keras. Para politisi  dan tokoh Islam garis keras garis yang sudah lihai dan berpengalaman, sesungguhnya juga sudah memahami kemana arah Prabowa dan bagaimana ujungnya. Pendukung akar rumputlah yang menggantungkan harapan terlampau tinggi berpegangan  pada Prabowo, dan kemudian ternyata  pegangan itu patah, seluruh yang bergantungan jatuh pada jurung sakit hati.

Para politisi  dan tokoh-tokoh Islam garis keras sesungguhnya  sejak semula sudah memahami  karakter sosok Prabowo,  namun salah perhitungan menentukan berapa lama dapat mempertahankan Prabowo, tidak sesingkat ini.  Hakekat kesetiaan jiwa korsa idealisme garis keras, sekali masuk kedalam tetap di dalam, tidak berlaku pada Prabowo.  Politisi  dan tokoh-tokoh Islam garis keras salah memilih Prabowo sebagai "kuda tunggangan". Meskipun bukan kuda liar, tetapi bukan kuda pacu biasa yang dapat dikendalikan jokinya, kuda itu punya kehendak sendiri sejak awal.  Jangan pernah meremehkan kemampuan Prabowo memahami filosofi berkuda!

Meskipun banyak politisi menarasikan  memaknai peristiwa ini sebagai kebaikan menuju Indonesia yang teduh dan damai. Tapi makna sesungguhnya yang dapat dipetik adalah; tanpa disadari dan mungkin dengan tidak sengaja,  dengan cara tersendiri Prabowo  telah memberi pemahaman pendewasaan berdemokrasi di Indonesia. Rasa sakit yang sempurna akibat luka di atas luka, adalah pembelajaran politik yang sempurna.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun