Polarisasi dua kubu pendukung Calon Presiden ternyata tidak selesai dengan tuntasnya pemungutan suara Pemilu 2019, berlanjut hingga hari ini, Â dan mungkin saja sampai tahun 2024. Tidak ada masalah dengan hal itu semua, itu adalah esensi dari dinamika demokrasi. Berlaga di Mahkamah Konstitusi adalah baik, bertarung di jalan-jalan juga tak masalah asal jangan mengganggu kepentingan umum. Saling caci-maki, ujar-ujaran kebencian, Â sumpah serapah, Â atau duel adu tinju sekalipun, Â tidak perlu dipersoalkan.
Kedamaian dan kesejukan hanya dapat digapai  bila  benci telah dilampiaskan,  dan dendam dituntaskan  tunai. Usaha harus habis, daya jangan tersisa. Semua itu adalah esensi berdemokrasi dan hak azasi, berdemokrasi tidak berhenti di kotak suara.  Kata-kata atas nama  rekonsiliasi,  perdamaian,  saling menghargai-menghormati, ucapan-ucapan menyejukkan,  dan lain sebaginya, hanyalah pencitraan belaka tanpa makna, itu sebaiknya dihindari tapi tetap diperbolehkan. Â
Filsuf Nietzsche mengagas, bahwa kehendak untuk berkuasa (Will to Power) adalah hakekat dari segala-galanya: dunia, hidup, dan ada (being). Semua makhluk hidup, semua benda, alam semesta, atau apa saja yang ada, memiliki hakekat  kehendak untuk berkuasa. Hakekat tersebutlah yang membuat peradaban manusia seperti apa-adanya dahulu, apa-adanya detik ini,  hingga apa-adanya diakhir peradaban. Kehendak untuk berkuasa hakekat diri individu manusia, kelompok, golongan, ras, suku, agama/keyakinan dan bangsa/negara.Â
Meskipun demikian, ada batas-batas yang tidak boleh dilampaui, hukum telah mengatur segala-galanya. Setiap pelanggar batas, berhadapan dengan hukum. Yang  meng-atas namakan  hukum untuk melumpuhkan esensi demokrasi juga harus berhadapan dengan hukum.
Kenyataan hari ini adalah, sebagian besar dari 269 rakyat terperangkap belenggu kemiskinan dan elit pemimpin tersandera kekuasaan dan kepentingan. Kita seluruhnya terperangkap jeratan  "lingkaran setan" kehendak untuk berkuasa.  Ketika pemimpin-pemimpin tidak mampu lagi melepaskan kita dari jeratan jeratan "lingkaran setan" kehendak untuk berkuasa, maka kita satu-persatu berusaha sendiri melepaskan diri, hingga pada akhirnya secara keseluruhan kita berdaya membantu pemimpin-pemimpin kita lepas dari jeratan kehendak untuk berkuasa.
Seyogiyanya satu-persatu rakyat Indonesia memiliki kesadaran dan tekad memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mewujudkan  cita-cita luhur kita  berbangsa dan negara.
Indonesia 269 juta, bukan hanya Jokowi dan Prabowo!