Â
Daun jendela tua
Â
      Setelah purnama menyaksikan putriku dibawa Lakman pergi, nada-nada gembira tersusun rapi dalam tetesan air mata yang keluar tiada henti. Aku tahu kebahagiaanku pergi mengalir dan habis bersama air mataku malam ini. Esok, tak akan lagi ada bahagia meski air mata datang kembali, tak akan. Dengan segera aku mengambil parang dan memotong dedaunan hijau dan kuletakkan di depan pagar rumahku. Namun belum sampai beberapa menit dedaunan itu sudah lenyap dibuang suamiku. Aku hanya menangis menatap dedaunan hijau itu dibuang dengan kasar, padahal seandainya dedaunan itu diletakkan di depan pagar rumah kami. Itu berarti kami sedang mencari anak gadis yang dibawa lari oleh laki-laki, dan jika laki-laki itu melihat tanda itu, ia akan kembali bersama anak kami. Dedaunan hijau itu juga sekaligus menandakan bahwa jika mereka kembali, semua akan diselesaikan dengan baik dan mereka akan menikah.
Â
Hari demi hari aku terus merayu suamiku untuk meletakan daun, namun amarahnya telah membatu, gumpalannya telah menggunung dalam dasar hatinya.
Â
" En, jangan pernah ingat kalau kita punya anak, Lina bukan anak kita", ujar suamiku suatu hari ketika aku masih duduk dan menagis.
Â
" Ama, jangan bicara seperti itu, dia anak kita...", ujarku.
Â