Mohon tunggu...
Sayyidati Hajar
Sayyidati Hajar Mohon Tunggu... Penulis - Perempuan Timor

Perempuan Timor | Traveller Kampung | Teater | Short Story | Short Movie | Suka Budaya NTT | pos-el: sayyidati.hajar@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mengenang Hujan

5 Desember 2018   15:34 Diperbarui: 5 Desember 2018   15:45 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku lahir kembali setiap hujan datang.  Saat  aroma tanah basah (kembali) mengikat jejak. Hujan seperti ibu yang melahirkan ketegaran-ketegaran lapang.  Aku menyukai hujan seperti menyukai ibu.  Menunggu hujan seperti menunggu ibu.  Hujan dan ibu adalah sepasang sayap kupu-kupu berwarna bening nan anggun.  Demikian aku menganggap hujan adalah ibu.

Aku pernah menghabiskan hujan di jalan-jalan sepi,  di terminal bus, di kamar-kamar kos,  di stasiun kereta api,  di teras rumah-rumah tumpangan,  juga di pesawat yang membawaku terbang ke kota kita.  Aku pernah memandang hujan turun di kota Batavia,  di kota malang,  di kota Yogyakarta, di kota Kediri, di Surabaya, juga Wonokromo, kota kecil yang sering diceritakan Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya. Dan sudah tentu, aku pernah menghabiskan banyak waktu menjelajah hujan bersamamu di kota kita,  Soe.  Tapi. Ya. Di mana kau?  Ijazah yang kau inginkan sudah kubayar sesuai  jumlah yang diminta dan yang kuminta padamu.  Rasanya aku sudah tak ingin apapun.  Aku ingin bertemu denganmu.
***
Aku sudah menepi di rumah yang dulu kita tinggali. Menghabiskan waktu dengan   berkebun, beternak, menunggumu, juga menunggu ibu. Di musim tanam,  ibu menjenguk lebih sering dari biasanya.  Meski kau tahu,  cuaca kota kita selalu memberi ruang pada ibu untuk menjengukku,  meski kemarau sekalipun.

Ibu selalu datang dengan cerita, ada kalanya ia mengingatkanku tentang pertengkaran-pertengkaran kita yang dulu.  Pertengkaran sepele di awal musim tanam,  di akhir bulan Desember, juga  saat mata-mata air  sekarat di penghujung kemarau. Ibu adalah kaset tua tempat segala kenangan lampau tersimpan. Ada kala aku bahkan tak benar yakin apa yang ibu tuturkan (kembali) benar. Tapi rasanya ibu memang tak mungkin pula berbohong ketika aku demikian berharap segala cerita hidup kembali.
Setelah kemarau datang beberapa kali dan anak sapi yang kuberi padamu kini beranak dan beranak lagi tanpa  sekalipun  kau  tahu adanya.  Aku bahkan  harus  menjual beberapa diantaranya agar tak ikut menua  seperti  aku.  Lebih tepatnya  rinduku.  Rindu  yang cukup  tua untuk  dipanen musim ini. Kau tahu cara memanen rindu  yang merah ranum ini?
***
Seperti tujuh warna  pelangi yang tak  pernah kutafsir mengapa dan bagaimana adanya.  Aku tak pernah bertanya mengapa dan bagaimana jahitan seperti jalan raksasa pekat  yang sepi dan misterius itu pindah ke dadamu.
Kurasa semua cukup jelas. Setelah malam-malam panjang kuhabiskan dengan  gamang dan sekarat. Aku telah merumuskan sebuah jawaban yang mantap kuberikan kepada siapa saja untuk menjawab pertanyaan apa saja.
"Tidak ada keterangan."
Aku akan menutup  semua  cerita  yang  datang  dari orang-orang yang membawamu pulang. Ada ibu yang menyambutmu ketika kotak  kayu  terbenam dalam timbunan tanah basah. Aku akan merindumu.  Setiap kali hujan datang.  Saat aroma tanah basah (kembali) mengikat  jejak. Kini hujan tetap ibu yang melahirkan ketegaran-ketegaran lapang. Aku mengenang hujan untukmu berdua.

Kupang,
05 Desember 2018
Salam,
Sayyidati Hajar

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun