Akhir-akhir ini, mereka suka bertanya.
"Puisi-puisi itu buat apa?
Sajak-sajaknya susah dicerna.
Kenapa tidak kau karang yang lebih berguna?"
Dahiku berkerut oleh tanya.
Jelas puisi itu hiburan sastra.
Layaknya pantun, tari, dan drama.
Pelepas dahaga dari carut marut dunia.
Luntang lantung akal mengolah kata.
Gelisah hati siasati emosi kalimatnya.
Susunannya hendaklah menggugah jiwa.
Andai hati terbawa arusnya, akal akan mengikutinya.
Karena manusia, kadang lebih dengar hati daripada akalnya.
Sebab runyam hidup hanya bisa dilapangkan dada.Â
Itulah alasannya, pujangga ada sejak zaman purba.
Syair-syair ditulis di pelepah, pusaka tak terhingga.
Jadi mantra tuk dukun penabuh asa tuk pemuka.
Raja-raja pun suka cari pujangga tuk berpesta.
Ibarat berlayar dalam sukma hikayat lama.
Semakin dalam emosinya, makin tinggi luhurnya.
Penyair pun layaknya penyihir kata-kata.
Sebab tak masuk akal bait-bait menggiurkan nurani manusia.
Jadi, jangan kau bicara puisi tak berguna.
Macam kau bilang pujangga bodoh saja.
Seni ombang-ambing larik itu tak semua orang bisa.
Kalau tak paham, ya baca dan hargai saja.
Ah. Mereka macam minta digepuk kepalanya saja.
Ngajak berantem soalnya.
[Saning bakar, Solok, 22 Juni 2021]