Kau tahu? Kakek tua dihadapanku berkata,
Bahwa setiap jiwa punya kotak ruangnya.
Bisik hati dan lidah biasanya berbeda.
Ah. Aku ingin rangkai bunga mimpinya.
Pena bulu terlihat menggoda.
Larik-larik puisi bermain dengan pesona.
Jemariku menari lincah bak ballerina.
Kalimatnya ditata, harmonisasi bersabda.
Anehnya, saat senja mereka bertanya.
Seringai senyum dan kilat mata penuh makna.
"Hei! Sajak-sajak itu kisahmu ya?"
Kelopak mataku berkedip heran. Lantas tertawa.
Tuan dan Nona.
Sulaman kisah oleh sajak tak selalu nyata.
Aku hanya membaca ruang semesta.
Kutandai halamannya. Berpikir. Mengolah fakta.
Lantasku bersandiwara.
Tuan dan Nona.
Romantisme sajak bukanlah tentang hasrat saja.
Pujangga itu suka mengira-ngira.
Akal dan hati bergerilya, bagai membuka kotak pandora.
Lantasku bersandiwara.
Asa dituang dalam limpahan rasa.
Alam dituai, penambah gula garamnya.
Tuhan berperan layaknya sutradara.
Sedang hamba hanyalah penulis naskah saja.
Habis manis di sini tidaklah sepah dibuang.
Waktu mungkin berlalu namun jiwanya tak lekang.
Bagai sihir, khatam cerita pun didaur ulang.
Naik surut alurnya persis seperti laut pasang.
Oleh akal, kita hanya kait mengait kata.
Oleh hati, lajurnya dimantrai bumbu rasa.
Di atas panggung, semua jiwa bersandiwara.
Elok atau tidak, pujangga hanya akan tertawa.
Itu saja.
[Saning bakar, Solok, 13 Juni 2021]