Dari situ saya sampai kepada satu kesimpulan:
AI itu bukan cheat code, tapi partner belajar.
Saya tidak meminta AI untuk "mengerjakan tugas saya", tapi saya minta AI untuk meluruskan logika saya. Ketika misalnya saya menghadapi error, saya minta AI untuk dijelaskan kenapa itu bisa terjadi. Waktu bingung tentang konsep async/await atau useEffect yang ngeyel dan tak kunjung jalan, saya tidak hanya minta solusi --- tapi juga minta penjelasan.
Masalahnya Bukan di AI. Tapi Cara Menggunakannya.
Ibarat pelajaran Matematika, AI itu kalkulator kita.
Kalau hanya dipakai untuk menyalin jawaban, ya kamu nggak akan mengerti dengan prosesnya. Tapi kalau kamu sudah mengerti rumus dan konsep dasarnya, kalkulator bisa membantu mengecek jawaban --- dan itu baru efektif.
Sayangnya, masih banyak yang pakai AI untuk mencari kunci jawaban.
Dan jujur saya juga pernah ada di fase itu.
Saya pernah minta solusi ke AI, dan langsung copas ke code editor saya tanpa basa-basi. Pas dijalanin? Berhasil dong, seneng banget. Tapi giliran error muncul di bagian lain, auto paniklah. Karena saya tidak mengerti sama sekali bagaimana kode itu berjalan. Singkatnya yang saya lakukan hanya menyalin, tapi nggak nalarin.
Dari situ saya jadi belajar:
Ternyata yang utama itu bukan jawabannya, tapi paham kenapa jawabannya bisa seperti itu.
AI = Dosen Pengganti | AI = Teman Diskusi
Saya pribadi melihat AI bukan sebagai guru, tapi lebih ke teman diskusi yang sabarnya kebangetan. Bahkan kalau saya bilang:
"Tolong jelaskan pake analogi dong,"
atau
"Jelaskan ke saya seperti kamu menjelaskannya ke anak umur 5 tahun."