Sampai di Lasem sudah menjelang senja, sekitar jam 5 sore.
Badan lelah dan berdebu setelah perjalanan lumayan jauh dari Jepara ke Lasem yang di tempuh kurang lebih 4 jam.
Memasuki Lasem, kota tua setelah Rembang, aku seperti memasuki lorong waktu yang tidak bergerak.
Bangunan-bangunan kuno berada di tepi jalan. Diantara ruko-ruko lawas ada rumah-rumah berusia ratusan tahun. Â Ada yang dialihfungsikan sebagai toko atau resto. Â Ada yg dibiarkan seperti dahulu kala apa adanya.
Lasem sedang melakukan revitalisasi kotanya. Jalan-jalan dibongkar dan diatur ulang. Kota yang puanas semakin gerah karena kepulan debu mengambang diatas kota.
Mobilku berbelok kanan memasuki jalan Karang Turi tempat dimana penginapanku berada. Â Aku menginap di rumah Merah. Â Bangunan Rumah tua berwarna merah bergaya Cina klasik yang disulap menjadi hotel dan resto.
Setelah check-in dan beberes bawaan, kami mulai lapar karena waktu sudah jam 6 sore lebih karena resto penginapan tutup, aku mulai membrowsing via google resto yang ada di kota Lasem.
Setelah melihat-lihat, kami tertarik dengan sebuah resto yang menurut google tidak jauh dari penginapan.
Kami sepakat utk makan malam disitu. Â Sempat salah jalan karena mengandalkan google map dan kita salah membacanya, akhirnya ditemukanlah resto itu setelah masuk di lorong jalan dengan pagar benteng kota lama. Â Jalanan sepi, berlampu redup. Â Pintu gerbangnya berpintu kuno dan ada tulisan sederhana didepannya. Restaurant Hokky.
Saat melangkah masuk, aku terpesona melihat kekunoan rumah ini (aku bukan penggemar barang lawasan tapi aku selalu mengagumi bangunan kuno). Â Bangunan rumahnya kokoh, kayu-kayunya yang terbuat dari kayu jati memantulkan sinar sehingga terlihat klimis dengan plitur sempurna, meja, bangku, lemari dll semuanya peninggalan jaman dulu dan masih apik terawat. Â Barang-barang yang sungguh luar biasa nilainya.
Kami memilih untuk duduk di meja tengah  berbentuk bundar dari kayu jati tua dengan tempat duduknya yang berat membuatnya susah digeser.
Kemudian datang pelayannya memberikan buku menu dan mencatatkan pesanan kami.
Saat itu tamunya hanya kami bertiga saja. Suasana sepi begitu terasa. Â
Tv diruang keluarga menyala mengumandangkan lagu-lagu era tahun 70an. Â Seorang perempuan di usia akhir 40an duduk tenang menonton sambil tersenyum pada kami.
Setelah memesan, perempuan yang duduk diruang tengah pergi ke belakang utk memasak. Tak dinyana ternyata ia adalah pemilik restoran ini. Â Oh ya menu di resto kecil ini sangat banyak loh. Masakan Cina halal. Ada menu yang sudah jarang ada di menu resto cina modern. Kami memesan sup, bihun, capcay dan puyunghai.
Tidak lama kemudian masakan kami mulai berdatangan. Makanannya enak semua  dan yang menjadi favoritku adalah puyunghai. Dari semua resto yang pernah kudatangi menurutku inilah puyunghai terenak yang pernah kumakan (tidak sempat difoto karena langsung di makan dengan cepat).
Sambil makan malam, kami berbincang dengan sang pemilik sekaligus chef dari resto ini, ia adalah perempuan di depan televisi tadi. Â Setelah selesai memasak, ia kembali duduk di ruang tengah. Sambil duduk santai di ruang TV dan ia sangat ramah sehingga membuat kami juga merasa relaks. Â Ia mulai bercerita tentang rumah warisan keluarga yang sudah ditempati oleh 5 generasi sebelumnya.Â
Aku jadi membayangkan suasana 5 generasi sebelumnya, pasti mengasyikkan ketika belum banyak orang dan jalanan juga sepi. Juga dengan cara hidup dan berpakain di era tersebut. Â Kami berbincang akrab seperti sudah kenal lama bahkan sampai bercerita tentang anak-anak.
Ia juga menceritakan apa yang dialami ketika pandemi berlangsung.  Sebelum pandemi, ia memiliki 10 orang pegawai karena setiap hari banyak bis  membawa para wisatawan untuk makan di restonya.  Selama pandemi, karena Lasem adalah kota pariwisata, tidak ada satupun turis yang datang sehingga ia harus merumahkan kesepuluh pegawainya itu. Â
Sampai sekarangpun ibu ini hanya dibantu 1 orang ART nya dan dia bagian memasak. Â Sehari paling banyak hanya 5 sampai dengan 10 orang datang untuk makan.
Aku sempat ngobrol menanyakan tentang logistik untuk membuat makanan dari saftar  menunya yang banyak macamnya, resto juga musti siap dengan berbagai bahannya.  Di iyakan oleh ibu itu. Luarbiasa ya.
Keakraban bersahaja di kota kecil membuat selalu merindukannya. Â Dimana saja selalu menemukan kenyamanan dengan penerimaan yang hangat.
Semoga pariwisara bangkit lagi di Kota Lasem dan revitalisasi kota berjalan sesuai jadwal sehingga kotanya kembali rapih tidak berdebu.
Note :
Di Lasem udaranya cukup panas karena dekat pantai jadi jgn lupa pake sunblock dan membawa payung atau topi.
Kalau berkunjung ke rumah-rumah tua sebaiknya membawa lotion anti nyamuk.
Semua foto adalah hasil jepretan penulis.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI