Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kalau Aturan Tak Mau Lagi Dipahami

27 Januari 2018   20:43 Diperbarui: 27 Januari 2018   21:19 684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasanya terlalu jauh, lantaran dampak dari perbuatan yang dilarang itu pun mungkin tidak kita pikirkan. Tak usahlah bicara soal dampaknya secara sosial, karena secara personal saja kita pun tak bisa mengabaikan konsekuensi dan tanggungjawabnya.

Dari satu orang, tentu bisa merusak rangkaian sistem dalam masyarakat bahkan nasional secara struktural. Tak usah pusing-pusing, kita ini kan punya kebiasaan mencontoh dan mempengaruhi, dimana kalau kita melihat satu orang saja melakukan penyimpangan, akibat dan potensinya bisa saja bukan hanya satu orang saja yang mengikuti, bahkan dua, tiga, empat orang dan seterusnya.

Maka dunia tanpa pertimbangan nilai konsekuensi dan tanggungjawab mungkin bisa dikatakan sebagai sebagai dunia yang kosong. Buat apa diciptakan norma kalau hanya untuk dilanggar? 

Dan apa perlu kita buat hukum yang lebih kejam untuk dapat membuat jera pelanggarnya? Bukannya pelanggaran itu juga sudah merupakan penyimpangan perilaku? 

Dan bukannya kita menciptakan suatu aturan agar penyimpangan tidak terjadi lagi atau setidaknya dapat diminimalisir secara gradual? Kalau norma hanya sekedar norma tapi nyatanya pelanggarnya tak pernah berhenti melanggar aturan, bukannya norma tadi tidak efektif?

Akhirnya ketika suatu aturan dan hukum diperketat, mungkin kita pun akan mengatakan bahwa hal itu membatasi kebebasan manusia. Lalu, ketika nyatanya suatu aturan dibuat sebagai parameter terhadap penyimpangan perilaku, pun kita tidak mau mengerti akan hal itu. 


Kita abaikan konsekuensi dan tanggungjawab, tapi kita ingin bebas dan selalu bicara soal kebebasan. Kebebasan ini pun nyatanya salah dipahami.

Kebebasan Tanpa Batas?

Mana bisa kita bicara soal kebebasan tanpa mengikutsertakan unsur-unsur primordial yang inheren dengan kebebasan itu? Maka kebebasan pun ada batasnya karena manusia adalah makhluk yang menyadari segala perbuatannya. 

Kalau masalah etika baik-buruk ini pun sudah diabaikan demi (lagi-lagi) sebuah kebebasan, makin lengkap sajalah kerancuan di dunia ini. Yang baik dan yang buruk diputarbalikkan demi suatu tujuan pribadi dan golongan. Katanya sih demi kebaikan. 

Masalahnya, mana ada yang dikatakan baik kalau jalan atau caranya tidak baik? Ibarat seorang koruptor yang nyolong uang orang kemudian membagi-bagikan uang korupsinya ke anak yatim dan orang miskin. Apa itu baik? Ah, tapi mana ada koruptor yang peduli dengan orang bawah. Korupsi ya korupsi. Hasilnya ya buat keperluan nafsu pribadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun