Mohon tunggu...
Satya Anggara
Satya Anggara Mohon Tunggu... Lainnya - Academic Researcher and Investor

Menyajikan tulisan seputar dunia investasi, bisnis, sosial, politik, humaniora, dan filsafat. Untuk korespondensi lebih lanjut, silahkan hubungi melalui kontak yang tertera di sini.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mundur Selangkah, Maju Dua Langkah: Mengapa Upah Minimum Perlu Dihapus

30 Desember 2020   09:00 Diperbarui: 30 Desember 2020   09:03 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demonstrasi Menuntut Kenaikan UMK | Sumber Gambar: https://katadata.co.id/

Para pembaca mungkin bertanya sampai di sini, “Lalu apa? Semua ini merupakan pengetahuan biasa yang sudah sama-sama kita ketahui.”

Ada beberapa konsekuensi yang dapat ditarik dari rangkaian pernyataan di atas. Pertama, di dalam situasi yang minim intervensi (ingat, uraian di atas hanya mencantumkan pemilik usaha dan tenaga kerja, tanpa ada pemerintah di sana), mekanisme pasar secara otomatis dan efisien sebetulnya dapat mengatur besaran upah yang dapat diberikan kepada setiap pekerja. Besaran ini bergantung pada tenaga kerja seperti apa yang dibutuhkan oleh pemilik usaha dan seberapa tenaga kerja dapat memenuhi kebutuhan tersebut.

Kondisi ini mirip seperti kegiatan dagang di pasar tradisional di mana penjual dan pembeli dapat saling bernegosiasi. Kedua belah pihak tidak perlu dipaksa untuk sepakat dengan penawaran atau permintaan yang disodorkan pihak lain.

Sementara pemilik usaha dapat menolak memberi kerja kepada calon pekerja yang meminta upah terlalu tinggi, calon pekerja juga dapat menolak tawaran kerja dan upah yang disodorkan pemilik usaha apabila dirasa tidak sesuai. Ini karena di dalam sistem masih terdapat pekerja atau pemilik usaha lain yang kemungkinan dapat memberikan penawaran atau permintaan yang lebih baik.

Apakah akan terjadi kesemena-menaan dari pemilik usaha seperti yang digembar-gemborkan selama ini? Tentu saja tidak. Ini karena, dan ini adalah poin kedua yang hendak penulis tekankan, kedua belah pihak saling membutuhkan satu sama lain untuk dapat hidup makmur di dalam sistem kapitalistik yang murni semacam ini.

Seperti yang telah ditegaskan di awal, pun salah satu atau bahkan kedua pihak ini hanya didorong oleh keserakahan untuk mengakumulasi sebanyak mungkin kekayaan, syarat mutlak yang harus dipenuhi terlebih dahulu mewajibkan mereka untuk membantu kesatuan masyarakat agar dapat hidup lebih sejahtera.

Tanpa pekerja yang sejahtera, apapun produk yang dihasilkan pemilik usaha tidak akan terserap secara memadai oleh pasar yang populasinya lebih banyak diisi oleh para pekerja. Sementara itu, tanpa pemilik usaha yang sejahtera pula, produk dan inovasi yang biasanya datang dari proyek-proyek kewirausahaan tidak akan tersedia dengan harga yang terjangkau karena tidak ada yang mau mengambil risiko untuk berinvestasi pada bidang tersebut.

Namun bagaimana dengan persoalan mengenai upah layak? Apabila upah tidak memiliki batas bawah, bukankah pekerja rentan dibayar murah? Untuk sanggahan ini, pun pada akhirnya upah secara nominal mengalami penurunan, hal ini tentunya akan diikuti oleh menurunnya daya beli. Apa yang terjadi kemudian?

Pemilik usaha selaku produsen mau tidak mau harus ikut menurunkan harganya agar produknya dapat tetap terserap. Di sinilah letak kecanggihan mekanisme pasar ketika dibiarkan bekerja tanpa banyak campur tangan regulator. Tanpa kita sadari, campur tangan semacam ini, baik dalam bentuk penentuan upah minimum maupun subsidi silang, turut berkontribusi dalam mendorong laju inflasi.

Dengan adanya upah minimum dan subsidi, pemerintah hanya meningkatkan jumlah uang yang beredar. Dan, di mana terdapat banyak uang yang beredar, maka di situlah inflasi mulai terjadi.

Hal ini hanya menjadi lingkaran setan. Setelah upah minimum atau subsidi naik, harga naik sejalan dengan inflasi. Untuk menanganinya, pemerintah mengerek kembali besaran upah minimum dan subsidi. Sejalan dengan itu, harga semakin naik akibat inflasi semakin naik pula. Dan seterusnya…

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun