Mohon tunggu...
Satya Anggara
Satya Anggara Mohon Tunggu... Lainnya - Academic Researcher and Investor

Menyajikan tulisan seputar dunia investasi, bisnis, sosial, politik, humaniora, dan filsafat. Untuk korespondensi lebih lanjut, silahkan hubungi melalui kontak yang tertera di sini.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilkada 2020 di Tengah Digitalisasi yang Terakselerasi Pandemi

28 Juli 2020   03:34 Diperbarui: 28 Juli 2020   03:32 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: medium.com/@jakefuentes

Pilkada 2020 sudah di depan mata. Antara dilaksanakan di bulan Desember 2020 atau Maret 2021 seperti yang sedang dipertimbangkan oleh pemerintah pusat, hal itu hanya soal kesepakatan yang sifatnya teknis.

Demikian pula dengan siapa figur yang akan maju di daerah masing-masing sebagai calon kepala daerah, hal tersebut hanya masalah kalkulasi politik para elit. 

Sebanyak mungkin masyarakat diharapkan berpartisipasi untuk memilih di hari H pencoblosan, kendati tidak memilih siapapun juga sebetulnya merupakan sebuah bentuk pilihan. Tapi penulis tidak akan masuk ke sana kali ini.

Pilkada di tengah pandemi boleh jadi merupakan yang pertama di Indonesia. Dengan masih ganasnya penularan virus Covid-19, semua pemangku kepentingan mulai dari pemerintah hingga masyarakat sipil dibuat kebingungan. Bagaimana kita dapat tetap menyelenggarakan "pesta demokrasi" di tengah kekhawatiran penyebaran virus saat berkerumun di TPS, sedangkan lazimnya hajatan kecil sekalipun terpaksa diurungkan dewasa ini?

Mungkinkah dilakukan pemungutan suara secara daring dari rumah masing-masing? Ah, rasa-rasanya solusi ini sulit terwujud dalam waktu dekat.

Di samping infrastruktur penunjang belum memadai, kita masih memiliki kebiasaan untuk gampang curiga terhadap akuntabilitas sistem elektronik yang dijustifikasi oleh pengalaman traumatis selama ini seperti misalnya kisah pencurian data pribadi atau manipulasi akun oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk tujuan lain.

Ketimbang berbicara mengenai teknikalitas Pemilu, mari berbicara mengenai aspek yang lebih mendasar, yakni dinamika dunia politik berikut relasi yang terjalin di dalamnya serta bagaimana kita dapat memanfaatkan situasi saat ini untuk mengubah cara pandang kita terkait proses demokrasi yang terjadi di dalam kontestasi Pemilu 2020.

Terlihat terlalu besar dan rumit? Mari kita kupas dulu sampai habis sebelum mengambil kesimpulan terlalu dini.

Pertama, kita mulai dengan demokrasi. Jika kita menelaah demokrasi pada tataran teoretis, ia lahir sebagai konsekuensi dari kenyataan bahwa manusia senantiasa ingin hidup dengan sesamanya dalam hubungan timbal-balik yang bersifat sukarela dan bebas melalui kegiatan berserikat, berkumpul, dan berpolitik dalam rangka mencapai tujuan masing-masing (Baechler, 2001).

Dengan bentuk masyarakat yang demokratis pula, kita dapat menyalurkan perasaan terkait keadilan serta kehidupan yang berkesadaran penuh pada level individu. Ini berbeda, misalnya, dengan model otoritarianisme yang mengedepankan penyeragaman bahkan hingga sampai tataran pikiran tidak sadar tiap orang.

Sepanjang sejarah, kita telah melihat bagaimana proses demokrasi memainkan peranan penting dalam mengubah kondisi hidup suatu komunitas, entah itu kota, provinsi, maupun negara. Seperti pedang bermata dua, proses demokrasi dapat melahirkan pemimpin yang kompeten dan beradab, atau justru melahirkan pemimpin yang dungu lagi biadab.

Dewasa ini, pesta demokrasi tidak lengkap rasanya jika tidak dibarengi dengan kicauan dan arus informasi yang mengalir deras di media massa dan elektronik baik sebelum, selama, maupun sesudah pesta tersebut.

Kita tidak asing lagi dengan istilah-istilah seperti "black campaign", "hoax", dan "buzzer" yang penggunaannya terkait erat dengan dunia perpolitikan. Dunia dalam internet adalah sebuah ruang besar yang terus dibanjiri informasi (entah benar atau salah kontennya) yang sifatnya nyaris real-time (Castells, 2010 [1996]). 

Kita sering tenggelam dan terisolir di dalamnya berkat hasil kerja manipulatif dari informasi yang tidak mampu kita pilah dan interpretasikan dengan cukup bijak.

Bayangkan saja, misalnya, untuk pertama kalinya Anda mampu menyebarluaskan informasi mengenai perceraian pasangan artis tanah air seolah itu adalah berita penting bagi masyarakat dari Sabang sampai Merauke, menyebabkan kegaduhan di antara kedua keluarga mereka, namun masih tetap dapat menghasilkan uang dari monetasi konten sembari menjadikan orang lain sebagai "kambing hitam" ketika muncul tuntutan hukum. Oh betapa indahnya dunia dalam internet.

Daya ungkit potensial dari internet telah lama diketahui di dalam dunia politik. Tengok misalnya bagaimana fenomena "Teman Ahok" yang diprakarsai oleh lima orang anak muda mampu memanfaatkan kejengahan masyarakat terhadap situasi politik yang penuh Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) untuk mendulang dukungan sejumlah satu juta KTP guna mencalonkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta dari jalur independen (kendati pada akhirnya Ahok diusung Parpol juga). 

Dengan memanfaatkan peran media sosial, gerakan ini dipandang sebagai salah satu indikasi bahwa demokrasi di Indonesia telah memasuki babak baru di mana gerakan massa di luar Parpol kini mampu mengusung calon pejabatnya sendiri (Ritaudin, 2016).

Parpol pun turut mengadopsi media elektronik dalam rangka mendekatkan diri dengan konstituen dan bertahan hidup. Di sini terdapat kesadaran mengenai pentingnya opini publik dalam menentukan masa depan karir politik seorang figur atau Parpol. Potongan informasi diseleksi dan disirkulasikan dalam jejaring internet dalam rangka membentuk opini tertentu di tengah masyarakat. 

Partisipasi masyarakat merupakan faktor penting yang tidak perlu diperdebatkan lagi dalam konteks kehidupan demokrasi. Akan tetapi kita juga harus menyadari bahwa melalui peran partisipasi ini pula, situasi politik mungkin dapat menjadi keruh, misalnya saja melalui penguatan politik identitas. Terbukti, kenyataan ini pula yang sedikit-banyak menjadi alasan di balik kekalahan Ahok di Pilgub DKI 2017, kendati ia merupakan incumbent. 

Alih-alih menguatkan meritokrasi dalam proses pengusungan figur politik, daya ungkit internet dan media elektronik lebih banyak memperkuat primordialisme dalam panggung politik. Narasi "Saya merupakan warga keturunan suku X dengan agama A" seolah lebih kuat dibanding narasi "Saya berpengalaman di bidang H, I, J, K, dan seterusnya" ketika dijadikan faktor penentu elektabilitas.

Yang kemudian semakin menarik ketika penulis mendalami fenomena ini, penulis menemukan adanya semacam krisis eksistensial yang menjangkit mereka yang memimpin dan dipimpin.

Yang memimpin (pejabat) merasa langkah politiknya didikte oleh yang dipimpin (konstituen) karena transparansi yang harus selalu dijunjung dalam rangka menjaga elektabilitas tetap tinggi, sementara yang dipimpin merasa seperti yang memimpin karena mereka secara kolektif mampu mendepak figur tertentu yang dinilai tidak lagi populer, setidaknya jika dinilai dari pemberitaan di media. Sayangnya, kenyataan tidak sama seperti ilusi semacam ini.

Kendati potensi dari media elektronik tetap ada dan nyata dampaknya dalam perpolitikan, elit sudah semakin pandai dalam memanfaatkannya untuk memapankan kekuasaan. Konstituen di sisi lain terus-menerus terjebak dalam euforia dan mimpi di siang bolongnya sehingga optimisme akan munculnya figur kompeten nan beradab setiap kali musim Pemilu dari akar rumput selalu terjaga kendati sudah berulang kali konstituen dikecewakan elit politik dan yang terpilih selalu figur dungu nan biadab.

Alih-alih memiliki identitas politik yang jelas dengan visi serta misi yang mungkin untuk dicapai dalam berpolitik, kita seringkali berada dalam kehampaan yang dilandasi oleh sikap "asal bukan si itu" saat menyalurkan hak politik.

Konstituen mencoblos A dilandasi kebencian terhadap B yang dipicu pemberitaan dan isu negatif yang mentah-mentah ditelan. Elit ramai-ramai berkoalisi didasari rasa iri dengki terhadap kelompok elit lainnya yang sudah sangat lama duduk nyaman di kursi kekuasaan.

Sisi positif dari kondisi perpolitikan kita saat ini, kita sudah cukup cerdas untuk mengetahui dampak negatif bagi kepentingan masing-masing jika sampai ada konflik berkepanjangan. Sayangnya, kesadaran semacam ini diiringi oleh pembiasan identitas politik di tubuh Parpol.

Parpol menjelma menjadi perkumpulan yang kelewat pragmatis namun kurang representatif. Teman hari ini adalah musuh esok hari, demikian juga sebaliknya. Pragmatisme semacam ini berangkat dari pengutamaan populisme yang ironisnya merupakan salah satu semangat yang diusung di dalam proses demokrasi. 

Namun demikian, tentu keliru apabila kita lantas meninggalkan demokrasi yang "gagal" ini. Adanya demokrasi yang didukung oleh Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) memungkinkan hal-hal baru seperti jurnalisme warga (yang salah satunya dipelopori oleh Kompasiana) menjadi lebih dapat diakses dan dimanfaatkan bahkan oleh orang-orang yang tidak memiliki latar belakang jurnalistik (Kurniawan, 2007).

Artinya, informasi bukan lagi komoditas yang dimonopoli oleh media massa besar karena setiap orang dapat memproduksi dan mendistribusikannya.

Menyambut Pilkada 2020 di tengah pandemi, kita perlu lebih waspada terhadap derasnya informasi yang berseliweran di dunia maya yang setiap saat dapat kita akses melalui gawai. Kita memiliki lebih banyak waktu luang untuk menenggelamkan diri di dalam internet sebagai konsekuensi dari kebijakan Work From Home (WFH) yang masih diterapkan di tengah situasi New Normal.

Kendati seharusnya kita jadi memiliki lebih banyak waktu untuk mengolah informasi yang masuk dengan lebih bijak, lebih seringnya kita akan menjejali diri dengan sebanyak mungkin informasi yang bersifat menyesatkan dan manipulatif. 

Kita dapat memulai kebiasaan baru yang lebih sehat terkait berinternet dengan cara rajin mencari informasi pembanding setiap kali kita membaca pemberitaan terkait politik, khususnya Pilkada.

Kita dapat menelusuri rekam jejak calon, menyimak hal-hal yang keluar dari mulut dan ketikan jarinya, mengecek konsistensi sikapnya selama ini, dan seterusnya sampai kita merasa sudah memiliki informasi yang cukup lengkap.

Ingat, biasanya ketika hendak membeli kendaraan atau barang mahal lainnya saja kita mau bersusah-payah melakukan riset. Kok untuk hal-hal terkait kepentingan publik seperti Pilkada kita tidak mau sama bijaknya? 

Sudah menjadi rahasia umum bahwa tidak semua media mainstream mampu bersikap netral akibat konflik kepentingan. Kemampuan untuk membedakan mana "suara bising" dan mana "sinyal" akan membantu kita dalam menyeleksi figur mana yang pantas untuk dicoblos di kertas suara nanti.

Pun ketika kita memilih untuk tidak memilih alias golput, semoga pilihan tersebut tidak sekadar didasari sikap "yang penting bukan si itu". Selamat bereksplorasi!

Referensi
Baechler, J. 2001. Demokrasi: Sebuah Tinjauan Analitis. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Castells, M. 2010 [1996]. The Rise of Network Society. West Sussex: Blackwell Publishing Ltd.
Kurniawan, M. N. 2007. Jurnalisme Warga di Indonesia, Prospek dan Tantangannya. Makara, Sosial Humaniora 11, No. 2: 71 - 78.
Ritaudin, M. S. 2016. Fenomena Teman Ahok Menghangatkan Politik Partai. Jurnal TAPI's 12, No. 2 [Juli - Desember]: 30 - 56.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun