To travel is to take a journey into yourself.
Danny Kaye (1911-1987)
Kutipan ucapan Danny Kaye di atas adalah ungkapan yang selama puluhan tahun memberi inspirasi bagi saya, sebagai wartawan muda yang sering melakukan perjalanan dalam tugas liputan di lapangan. Khususnya di wilayah konflik Timur Tengah, seperti Irak, Iran, Yordania, Mesir, Libya, Palestina, Israel, dan juga Bosnia-Herzegovina.
Danny Kaye atau David Daniel Kaminsky adalah aktor, komedian, dan penyanyi kelahiran Brooklyn, New York, Amerika. Berkarir di dunia flm sejak 1937, Kaye pernah memenangkan Golden Globe, dan wafat karena gagal jantung dan komplikasi penyakit lain di usia 76 tahun.
Ucapan Kaye itu teringat kembali oleh saya, ketika senior saya Emji Alif meminta saya memberi kata pengantar untuk buku kumpulan puisinya. Emji Alif adalah senior saya di Fakultas Teknik UI tempat saya kuliah (1980-1989), di kelompok pecinta alam KAPA FTUI, dan di dunia penulisan fiksi.
Saya masih ingat betapa banyak saya belajar dari Emji Alif. Sebagai mahasiswa jurusan Elektro FTUI, saya dulu mencoba membiayai kuliah dengan hasil kerja sendiri. Saya mulai dengan menulis cerpen di majalah remaja, seperti Gadis, Anita Cemerlang, tabloid Mutiara, dan sebagainya. Saya juga menulis puisi, cerita bersambung, esai, laporan perjalanan, dan resensi buku. Waktu itu era 1980-an.
Secara formal, saya tidak pernah diajari teknik menulis oleh Emji. Tetapi Emji adalah guru saya secara tak langsung, karena saya membaca cerpen-cerpennya di Majalah Gadis. Saya mempelajari gaya penulisannya –serta gaya penulis-penulis lain-- untuk meningkatkan kualitas tulisan saya sendiri.
Maka saya merasa mendapat kehormatan, ketika oleh Emji Alif diminta menulis kata pengantar untuk buku puisinya ini. Sebagai junior, saya tidak berpretensi untuk memberikan sesuatu yang baru atau lebih bernilai dari karya Emji, guru tak langsung saya. Tapi saya akan mencoba “membaca” puisi-puisi Emji dari perspektif kutipan Kaye di atas.
***
Baru belakangan ini saya tahu, bahwa ucapan Danny Kaye itu oleh sejumlah kalangan disebut sebagai “kutipan yang paling inspiratif bagi mereka yang suka melakukan perjalanan.” Di mana letak getaran kekuatan ucapan Kaye tersebut?
Kekuatannya terletak pada dimensi jiwa, dimensi batin, atau dimensi internal diri kita. Perjalanan bagi Kaye bukanlah semata-mata menyangkut aspek fisik, tetapi yang lebih penting adalah aspek batin. Dari setiap perjalanan, ada “sesuatu” yang masuk ke dalam jiwa kita. Entah itu suatu bentuk pencarian, atau penemuan, atau kedua-duanya.
“Sesuatu” itu bisa berarti sangat personal. Ketika saya dan Emji Alif mendaki gunung bersama, melalui jalur pendakian yang sama, misalnya, mungkin masing-masing kami akan memperoleh atau menemukan “sesuatu” yang berbeda. Ini yang dinamakan “perjalanan di dalam diri” (taking a journey into yourself).
Kaye tidak sendirian dalam menyadari keutamaan “perjalanan di dalam diri itu.” Cendekiawan, novelis, esais, dan kritikus Prancis, Marcel Proust, menyatakan, “Perjalanan penemuan yang sebenarnya tidak terdiri dari pencarian lanskap-landskap baru, tetapi dalam memiliki mata baru” (The real voyage of discovery consists not in seeking new landscapes, but in having new eyes).
Sedangkan penyair berbahasa Jerman terbesar dari abad ke-20, Rainer Maria Rilke, menyatakan, "Satu-satunya perjalanan adalah perjalanan di dalam" (the only journey is the one within). Bagi Rilke, bepergian dan melakukan perjalanan adalah waktu yang indah untuk penemuan diri dan refleksi. Waktu untuk membantu kita berhubungan kembali dengan diri kita sendiri.
***
Salah satu contoh perjalanan yang mengubah diri diceritakan dalam film biografi berbahasa Spanyol, The Motorcycle Diaries (2004). The Motorcycle Diaries adalah buku harian Che Guevara, tentang perjalanannya menemukan benua Amerika Latin, saat ia masih menjadi mahasiswa kedokteran.
Che berangkat pada 1952 dengan sepeda motor Norton 500 butut, bersama temannya Alberto Granado, seorang ahli biokimia. The Motorcycle Diaries menangkap kegembiraan, gairah, dan kepercayaan muda seorang Che pada kemungkinan-kemungkinan pencapaian umat manusia, yang cenderung menuju keadilan, perdamaian dan kebahagiaan.
Selama dalam perjalanan mereka menemukan banyak wilayah yang dilanda penderitaan dan kemiskinan. Contohnya, ketika mereka sedang bersukarela di kawasan penderita kusta di sebelah utara Peru, atau tatkala berhadapan dengan si pemilik tanah yang merampas tanah sepasang suami-istri. Pengalaman tersebut mengubah pandangan Che Guevara dalam melihat dunia, yang dia pikir semakin tidak adil.
Perjalanan petualangan mereka menghabiskan waktu lebih dari setahun, dengan jarak yang ditempuh lebih dari 12.000 km. Mulai dari Argentina melewati Chili, Peru dan Kolombia hingga ke Venezuela.
Dari perjalanan itu, si mahasiswa kedokteran Che Guevara mengalami “transformasi diri.” Kelak di kemudian hari, dia akan terkenal sebagai seorang revolusioner Marxis, yang foto-fotonya dengan rambut gondrong berkibar dan topi baret menjadi ikon romantis para pejuang revolusioner. Ini adalah sebuah perjalanan yang punya arti mendalam dan telah mengubah kehidupan seorang manusia.
***
Membaca puisi-puisi Emji Alif, tak bisa tidak, mendorong saya untuk melakukan “penjelajahan ke dalam diri.” Sebagian tempat-tempat yang disebutkan Emji dalam puisi-puisinya, juga pernah saya kunjungi. Rusia, Amerika, Yunani, Swiss, Yordania, Jerusalem. Sebagian lagi belum pernah saya kunjungi.
Puisi-puisi Emji diwarnai oleh deskripsi yang membawa kita seolah-olah ikut hadir di sana. Deskripsi-deskripsi itu begitu nyata, dan hal itu lebih dihidupkan lagi dengan sentuhan personal Emji pada apa yang dia lihat dan dia rasakan.
Dari puisi “Monaco,” misalnya:
Dari jendela hotel terhampar pencalang dan yacht di Laut Mediterania
Menyilaukan, bagai kawanan burung-burung kuntul berwarna putih
yang memenuhi cakrawala. Matahari yang hangat dan air yang biru
terus memanggil-manggil: mari kita berenang,
menjejakkan kaki dan berkejaran di Pesisir Riviera
Atau puisi “Paris,” seperti berikut:
Di lekuk Sungai Seine wisatawan berlayar dengan gembira. Pejalan kaki menyeberang
di jembatan dan mencoba memahami grendel-grendel yang terkunci di sana
adalah bagian dari mimpi dan harapan. Mungkin juga kenangan
Jam yang pupus. Dan suara-suara yang tercekik
Bagi saya sendiri, sebagai orang yang juga suka melakukan perjalanan ke tempat-tempat baru, mencari dan menemukan makna-makna baru, puisi-puisi Emji seperti layaknya sebuah pancingan. Sebuah panggilan. Sebuah godaan. Untuk saya juga melangkah ke sana, menghirup hawa udaranya, merasakan terik mataharinya, dan mencumbu belaian angin lautnya.
Seberapa jauh puisi-puisi ini mencerminkan “perjalanan ke dalam diri” Emji Alif, saya tidak tahu. Hanya Emji yang tahu. Saya tidak akan menyentuh bagian personal itu. Namun, dari sisi luar, saya bisa melihat dan merasakan bahwa puisi-puisi Emji ini punya getar tertentu. Getar seorang pejalan, atau bahkan petualang. Dalam sebuah perjalanan yang mungkin tak pernah usai. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H