Mohon tunggu...
Satrio Arismunandar
Satrio Arismunandar Mohon Tunggu... Penulis - Penulis buku, esais, praktisi media, dosen ilmu komunikasi, mantan jurnalis Pelita, Kompas, Media Indonesia, Majalah D&R, Trans TV, Aktual.com. Pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Penulis buku, esais, praktisi media, dosen ilmu komunikasi, mantan jurnalis Pelita, Kompas, Media Indonesia, Majalah D&R, Trans TV, Aktual.com. Pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Gegap Gempita Deklarasi Relawan Justru Merugikan Ganjar

10 Juli 2021   06:34 Diperbarui: 10 Juli 2021   06:42 761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ganjar bersama warga Jateng (foto: kagama.co)

Ganjar Pranowo, yang saat ini menjabat Gubernur Jawa Tengah, adalah salah satu nama yang menonjol di berbagai survei tentang calon presiden untuk Pilpres 2024. Pada Juni 2021, kita melihat di sejumlah media gegap gempita dari berbagai kelompok masyarakat, yang mendeklarasikan diri sebagai relawan, untuk mendukung Ganjar sebagai capres di Pilpres 2024.

Macam-macam nama kelompok relawan itu. Ada yang menamakan diri, antara lain: Teman Ganjar, Sahabat Ganjar, Ganjarist (Ganjar Pranowo Menuju Indonesia Satu), dan Tegar (Relawan Teman Ganjar). Kelompok-kelompok ini bisa dibilang otonom. Mereka mendeklarasikan diri atas kemauannya sendiri, bukan disuruh oleh Ganjar.

Deklarasi yang beruntun ini mungkin dipicu oleh berita bahwa Ganjar tidak diundang di acara pengarahan oleh Ketua DPP PDI Perjuangan, Puan Maharani, di kantor DPD PDIP Jawa Tengah, Sabtu (22 Mei 2021). Ini adalah acara pengarahan kader untuk penguatan soliditas partai menuju Pemilu 2024.

Mekipun begitu ramai suara para pengamat politik dan media, mengomentari tentang tidak diundangnya Ganjar, Ganjar sendiri menanggapi hal itu dengan adem ayem. Sebagai orang Jawa, Ganjar tampaknya tahu diri dan mengerti tata krama. Kalau tidak diundang, ya tidak datang. Begitulah kira-kira sikapnya. Tidak perlu bikin reaksi heboh yang macam-macam.

Namun, para "fans" Ganjar mungkin menganggap ini sebagai indikasi bahwa PDIP mungkin belum tentu mengajukan Ganjar sebagai capres pada 2024. Maka, atas inisiatif sendiri, mereka bergegas dan beruntun membuat deklarasi untuk mendukung Ganjar. Mereka mungkin mengira, dengan deklarasi yang masif, hal itu akan dianggap oleh pucuk pimpinan PDIP sebagai bukti dukungan yang kuat dari massa bawah, dan menjadi alasan yang cukup untuk mengajukan Ganjar sebagai capres 2024.

Namun, mereka kurang menyadari bahwa gegap gempita deklarasi dukungan untuk Ganjar ini justru merugikan Ganjar sendiri. Ganjar akan segera dipandang sebagai ancaman oleh para calon kandidat lain, sehingga jauh-jauh hari segala langkah Ganjar akan dipotong. Seperti bayi yang dipaksakan lahir prematur, Ganjar akan dalam posisi lemah dan rapuh.

Variabel Dependen dan Independen

Para pendukung Ganjar harus memahami bahwa dalam konstelasi politik menuju Pilpres 2024, Ganjar hanyalah "variabel dependen," yang memiliki ketergantungan besar pada penguasa partai politik. Sepopuler apapun, sepintar apapun, setinggi apapun elektabilitas seseorang dalam survei capres, ia butuh wahana untuk maju bertarung di ajang Pilpres. Wahana itu adalah partai politik.

Sesuai undang-undang yang berlaku, tanpa diajukan oleh parpol, tidak ada satu kandidat pun yang bisa maju menjadi capres. Dalam sistem politik kita, tidak ada calon independen untuk Pilpres. Suka atau tidak suka, inilah kenyataan politik yang harus diterima. Bukan hanya oleh Ganjar, tetapi juga oleh nama-nama lain yang "bukan pemilik partai," seperti Anies Baswedan dan Ridwan Kamil. Mereka semua punya ketergantungan yang sama.

Nah, yang menjadi "variabel independen" adalah mereka yang menguasai atau memimpin parpol besar, yang menguasai banyak kursi di DPR RI. Seperti: Megawati Soekarnoputri (PDIP), Airlangga Hartarto (Partai Golkar), dan Prabowo Subianto (Partai Gerindra).

Presiden Joko Widodo, meskipun bukan penguasa partai, bisa juga dianggap sebagai "variabel independen." Hal ini karena, dengan dukungan dan pengaruhnya sebagai Presiden RI, Jokowi bisa "meng-endorse" kandidat mana yang akan diajukan parpol untuk menjadi capres di Pilpres 2024.  
Nah, dalam konstelasi menuju Pilpres ini, posisi PDI Perjuangan sangat strategis. Dengan menguasai 128 dari 575 kursi di DPR RI (22,26%), PDIP adalah satu-satunya parpol yang dapat mengusung pasangan capres dan cawapres pada Pilpres 2024, tanpa harus berkoalisi dengan parpol lain. Hal ini sesuai dengan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Hanya PDIP yang memiliki lebih dari persyaratan 115 kursi parlemen, yang bisa mengajukan pasangan capres-cawapres. Pasal 222 mengatur presidential threshold (pres-t) atau ambang batas perolehan suara yang harus diperoleh oleh partai, untuk dapat mengajukan capres dan cawapres. Angka pres-t itu adalah 20% kursi DPR RI atau 25% suara sah nasional dalam pemilu legislatif sebelumnya (Pemilu 2019).

Krusialnya Dukungan PDIP

Agar Ganjar bisa maju sebagai capres, sangat krusial untuk mendapat restu dan dukungan pimpinan PDIP, partai di mana dia telah sekian lama mengabdi dan menjadi kader. Namun, persoalannya justru di DPP PDIP juga ada kandidat kuat lain, yaitu Puan Maharani. Puan bukan sekadar Ketua Bidang Pemerintahan, Pertahanan dan Keamanan di DPP PDIP, tetapi ia juga adalah anak kandung Megawati dan bagian dari "trah" Soekarno.

Apakah PDIP akan memajukan Ganjar atau Puan pada Pilpres 2024? Ini pertanyaan besar. Masyarakat Indonesia yang mendukung Ganjar mungkin berharap, Ganjar akan menjalani skenario seperti Jokowi pada 2014. Pada Pilpres 2014, Megawati tidak mengajukan dirinya sendiri, tetapi memilih untuk "menunjuk" Jokowi sebagai capres PDIP.

Saat kampanye terbuka di Bali, 22 Maret 2014, Megawati menjelaskan, mengapa ia memberikan mandat capres kepada Jokowi. Seperti dikutip Bisnis.com, Megawati beralasan, "Karena Jokowi tidak hanya populer, tapi dia bekerja, tulus, memiliki komitmen, dan kepribadiannya sederhana."

Megawati menjelaskan, ia sudah mengamati Jokowi dan gaya kepemimpinannya sejak masih menjadi Wali kota Solo dan kemudian menjadi Gubernur DKI Jakarta. Menurut Megawati, Jokowi adalah tipikal pekerja keras, yang bekerja dengan tulus untuk membangun masyarakat dan daerahnya.

Jokowi, kata Megawati, juga berkepribadian sederhana dan perilakunya apa adanya. "Dengan kondisinya, Jokowi menjadi populer di berbagai daerah di Indonesia. Kalau kemudian Jokowi populer, bukan karena pencitraan untuk mencari popularitas, tapi memang sudah karakter dan kepribadiannya seperti itu," kata Megawati.

Tetapi Ganjar bukan Jokowi. Dan "skenario seperti Jokowi" tidak bisa diberlakukan pada Ganjar. Dalam Pilpres 2014, di dalam PDIP cuma ada satu faktor penentu: Megawati. Dan kemudian Megawati akhirnya menunjukkan naluri politiknya yang tajam dan kematangan politiknya, dengan bersedia "mengalahkan egonya" untuk maju sebagai capres.

Megawati berketetapan hati menunjuk Jokowi sebagai capres yang diajukan PDIP. Urusannya di sini lebih mudah, karena sosok Megawati "sudah selesai dengan dirinya sendiri."

Komplikasi yang Dihadapi Ganjar

Tetapi untuk kasus Pilpres 2024, kondisi yang dihadapi Ganjar berbeda dengan Jokowi. Kali ini Megawati harus mempertimbangkan posisi Puan, yang juga berhasrat maju sebagai capres. Memilih antara Ganjar dan Puan adalah lebih rumit.

Sebagai kader PDIP, yang juga putri kandung Ketua Umum PDIP, dan menjadi bagian dari trah Soekarno, Puan memiliki posisi yang sejak awal sudah diuntungkan. Jadi, warga masyarakat pendukung Ganjar --jika ingin agar tiket capres dari PDIP diberikan pada Ganjar-- harus memperhitungkan dua faktor: Megawati dan Puan.

Kita bisa berandai-andai. Anggaplah bahwa popularitas dan tingkat elektabilitas Ganjar sebagai bakal capres sudah begitu tinggi, sehingga peluang menang di Pilpres 2024 lumayan besar. Megawati, seperti sudah terbukti pada Pilpres 2014, bisa diharapkan untuk legowo menyerahkan tiket capres ke Ganjar. Tetapi apakah Puan juga sudah memiliki kematangan politik seperti Megawati?

Bagaimana konflik ini akan diselesaikan oleh Megawati? Megawati pasti akan berpikir secara mendalam. Ia akan mempertimbangkan secara cermat berbagai kepentingan strategis yang lebih luas. Memilih Presiden RI pada dasarnya bukanlah sekadar urusan PDIP, apalagi urusan personal Megawati, tetapi secara hakikat dan skalanya adalah urusan bangsa.

Sebagai negarawan, Megawati sangat menyadari hal ini. Megawati juga tidak akan mau didesak atau diburu-buru untuk memutuskan. Pilpres baru akan berlangsung pada Februari-Maret 2024, atau 2,5 tahun lagi. Sebagaimana "tradisi" PDIP, Megawati mungkin akan memutuskan di saat-saat terakhir pada 2023.

Mungkin ada yang bertanya, apakah tidak mungkin Ganjar didukung oleh partai lain? Dalam politik, tentu kemungkinan itu selalu ada. Namun, mencari dukungan ke partai lain tampaknya  bukan tipe ganjar yang loyal dan kukuh di PDIP selama ini.

Selain itu, mengharapkan dukungan partai lain juga riskan, karena harus menggalang lebih dari satu partai untuk bisa mencapai presidential threshold. Itu tidak mudah. Belum lagi memperhitungkan para penguasa partai sebagai "variable independen," yang mungkin lebih suka mengajukan dirinya sendiri sebagai capres.

Tiket PDIP Tetap yang Terbaik

Bagaimanapun, bagi Ganjar, dukungan dan tiket dari PDIP tetap yang terbaik dan teraman. Jika didukung oleh PDIP, Ganjar akan mendapat basis dukungan yang solid dari warga PDIP, dan jumlahnya itu sudah cukup besar. Tinggal mencari tambahan suara dari yang lain.

Dalam situasi seperti ini, yang terbaik bagi para relawan pendukung Ganjar adalah terus mempromosikan Ganjar, tetapi tidak perlu dengan cara grasa-grusu, gegap gempita, atau heboh. Karena hal ini akan kontraproduktif, dan justru bisa berdampak negatif pada peluang Ganjar sendiri. Di sisi lain, pendukung Ganjar juga tidak boleh pasif, karena secara faktual posisi Ganjar belum aman. Sama sekali belum aman.

Namun dibandingkan Anies Baswedan, posisi Ganjar masih lebih baik. Jabatan Anies sebagai Gubernur DKI akan berakhir pada pertengahan Oktober 2022. Jadi, dari saat itu sampai Pilpres 2024, Anies akan "kehilangan panggung" selama sekitar 1 tahun 5 bulan. Cukup lama dan hal itu merugikan Anies dari segi pemberitaan media.

Posisi Ganjar sama dengan Ridwan Kamil, yang kini menjabat Gubernur Jawa Barat. Keduanya akan mengakhiri masa jabatan sebagai Gubernur pada September 2023. Ada tersisa sekitar 6 bulan menuju Pilpres 2024. Para pendukung Ganjar harus memanfaatkan durasi waktu yang ada saat ini untuk meningkatkan elektabilitas Ganjar. Sambil terus mengamati dinamika internal di dalam PDIP, yang menjadi basis politik Ganjar.***

*Satrio Arismunandar adalah Pemimpin Redaksi majalah pertahanan Armory Reborn. Mantan jurnalis Harian Kompas dan Trans TV.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun