Pendahuluan
Sejak 2018, perang dagang antara AS dan Tiongkok telah menimbulkan ketegangan yang signifikan pada sektor perdagangan internasional dan stabilitas moneter global. Â Selain mempengaruhi arus barang dan investasi, penerapan tarif impor yang signifikan oleh kedua negara juga mengganggu nilai tukar, tingkat inflasi, dan kondisi makroekonomi di banyak negara, termasuk negara-negara berkembang di Asia Tenggara.Â
Kebijakan proteksionisme yang keras dari dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia membuat sistem keuangan global tertekan. Â Artikel ini membahas bagaimana dampak moneter dari perang dagang AS-Tiongkok , terutama melalui tekanan inflasi, pelemahan nilai tukar, dan pergeseran kebijakan moneter negara-negara mitra dagang.Â
Fluktuasi Nilai Tukar: Pelemahan dan Ketidakstabilan
Salah satu dampak moneter paling langsung dari perang dagang adalah fluktuasi nilai tukar mata uang. Ketika Amerika Serikat menaikkan tarif terhadap ribuan produk asal Tiongkok, respons pasar global terhadap ketegangan ini mendorong depresiasi Yuan secara signifikan. Depresiasi Yuan kemudian memicu tekanan pada mata uang negara-negara berkembang lain, termasuk di kawasan ASEAN seperti rupiah, ringgit, dan peso.
Kondisi ini membuat bank sentral di negara-negara mitra Tiongkok harus melakukan berbagai bentuk intervensi---baik melalui pasar valuta asing maupun pelonggaran kebijakan suku bunga---untuk menjaga stabilitas kurs dan mencegah capital outflow yang besar. Ketidakstabilan kurs ini juga berdampak pada dunia usaha karena menciptakan ketidakpastian dalam ekspor-impor dan perhitungan biaya.
Kenaikan Inflasi: Biaya Produksi dan Harga Konsumen
Harga barang impor, termasuk bahan baku dan barang modal, telah meningkat sebagai akibat dari tarif impor AS terhadap produk Tiongkok dan sebaliknya. Biaya produksi telah meningkat, yang pada gilirannya menyebabkan kenaikan harga konsumen.
Sebuah studi oleh Federal Reserve Bank of New York menunjukkan bahwa perang tarif menyebabkan biaya tahunan tambahan lebih dari USD 1.200 per rumah tangga di Amerika Serikat pada tahun 2019. Â Tidak hanya di Amerika Serikat, tetapi juga di negara-negara berkembang yang mengimpor barang dari China dan Amerika Serikat, beban tarif meningkatkan harga barang domestik sebagai akibat dari efek limpahan atau inflasi berputar.Â
Tekanan terhadap Kebijakan Moneter Nasional
Bank sentral di banyak negara harus mengubah kebijakan moneternya untuk menghadapi tekanan nilai tukar dan kenaikan harga barang impor. Â Negara-negara tertentu, seperti Indonesia dan Filipina, memilih untuk menahan atau menurunkan suku bunga untuk mendorong pertumbuhan dan menjaga inflasi stabil. Â Sebaliknya, pelaku pasar dipaksa untuk menghindari investasi karena ketidakpastian perdagangan dan beralih ke aset yang lebih aman, seperti dolar AS.