Mohon tunggu...
Satria Dharma Putra
Satria Dharma Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa

Pernah melakukan Pertukaraan Pelajar Selama 6 bulan di Universidad de Granada, Spanyol.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bantuan Pembangunan Jepang ( ODA As A Japanese Foreign Policy Tool)

25 Juni 2025   00:20 Diperbarui: 25 Juni 2025   00:18 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bantuan Pembangunan Resmi (ODA) Jepang mengalami transformasi besar sejak era pasca-Perang Dunia II. Awalnya, Jepang adalah penerima bantuan internasional, termasuk pinjaman sebesar $880 juta dari Bank Dunia untuk pembangunan infrastruktur seperti Bendungan Kurobe No. 4, jalur kereta cepat Tokaido Shinkansen, dan jalan bebas hambatan Tokaido. Proyek-proyek ini berperan penting dalam rekonstruksi ekonomi Jepang, menghubungkan kawasan industri besar seperti Tokyo, Nagoya, dan Kobe. Namun, seiring dengan pertumbuhan ekonominya, Jepang beralih menjadi salah satu donor bantuan terbesar dunia pada tahun 1990-an. ODA Jepang awalnya berfungsi sebagai bentuk reparasi perang dan pemulihan ekonomi di Asia, namun juga menjadi sarana memperluas pengaruh politik dan memperkuat reputasi internasional Jepang sebagai negara damai dan non-militeristik. Jepang memanfaatkan ODA untuk mendukung stabilitas internasional demi menjaga keamanan nasional dan kesejahteraan global.  Setelah menjadi anggota Komite Bantuan Pembangunan (DAC) OECD pada tahun 1960-an, kebijakan bantuan Jepang bergeser dari reparasi ke arah kerja sama ekonomi strategis. Pada tahun 1970-an dan 1980-an, Jepang memperluas ODA melalui rencana jangka menengah, meningkatkan kredibilitas globalnya dan menjadi pemimpin pembangunan di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Jepang sempat menjadi donor terbesar dunia pada tahun 1990 dan selama lebih dari lima dekade telah memberikan bantuan ekonomi kepada negara-negara berkembang. Misalnya, pada tahun 1997, Jepang mengalokasikan 793 miliar ($6,55 miliar) dalam bantuan bilateral, meskipun mengalami penurunan sebesar 11,2% dibandingkan tahun sebelumnya. Setelah Perang Dingin, pendekatan ODA Jepang berubah. Melalui Piagam ODA 1992, Jepang memasukkan isu-isu seperti pembangunan perdamaian, demokratisasi, kelestarian lingkungan, dan hak asasi manusia. Fokus bantuan bergeser ke kebijakan yang mendukung pemerintahan yang baik, pengurangan senjata, dan pembangunan manusia. Jepang juga meningkatkan kontribusi kepada lembaga internasional seperti PBB dan Bank Dunia.

Komitmen Jepang terhadap perdamaian global tampak dalam inisiatif rekonstruksi pasca-konflik dan tanggap krisis, seperti di Sudan dan Sudan Selatan, di mana Jepang menggelontorkan lebih dari $1 miliar untuk reintegrasi mantan kombatan, rekonstruksi, dan pemilu. Selain itu, Jepang mendukung pendekatan NAPSA (New Approach for Peace and Stability in Africa) yang mempromosikan pemerintahan yang kuat, pelatihan sumber daya manusia, serta pemilu yang adil dan transparan. Jepang juga bekerja sama secara multilateral dengan PBB dan Bank Dunia untuk memastikan efisiensi penggunaan bantuan. Misalnya, Jepang memberikan pinjaman sebesar 44,1 miliar yen kepada African Development Bank pada tahun 2023 melalui program EPSA (Enhanced Private Sector Assistance) untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang dipimpin sektor swasta di Afrika. Namun, ODA Jepang tidak luput dari kritik. Beberapa pihak menyoroti inefisiensi, kurangnya transparansi, bias komersial, serta dampak lingkungan dan sosial di negara penerima. Keputusan pemberian bantuan dinilai sering dipengaruhi oleh kepentingan perusahaan Jepang dan faktor geopolitik, bukan kebutuhan nyata negara penerima. Selain itu, birokrasi yang rumit, penerapan piagam ODA yang tidak konsisten, dan minimnya kesadaran publik tentang dampak ODA juga menjadi masalah. Dukungan publik terhadap ODA juga melemah karena kondisi ekonomi domestik seperti inflasi dan stagnasi. Hanya 25% masyarakat Jepang yang mendukung peningkatan kerja sama pembangunan internasional, menunjukkan perlunya reformasi strategi ODA agar tetap relevan di tengah keterbatasan fiskal dan pengawasan publik. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun