Mohon tunggu...
Muhammad Satria
Muhammad Satria Mohon Tunggu... Penulis - Menambah Pengalaman dengan Menulis

Saya menulis apa saja yang saya harap bisa berguna.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Saya Rasa Tidak

3 Agustus 2019   20:17 Diperbarui: 16 April 2020   16:41 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
photo credit: pexels.com

Bergegas Faisal mengambil plastik putih besar yang ia simpan di sela-sela kaki meja. Dengan cekatan ia hamparkan plastik besar itu di atas tiga kotak berukuran sedang tempat ia sehari-hari menjajakan macam-macam kue buatan ibunya. Dalam beberapa detik saja semua sudah tertutup sempurna, ia pun hanya perlu menepi ke tembok sebuah toko elektronik agar tidak basah oleh hujan yang turun tiba-tiba.

Cukup lama hujan turun, sudah hampir 40 menit Faisal berteduh menunggu hujan itu reda. Sebenarnya salah seorang penjaga toko sudah menawarkan tempat untuk Faisal berteduh di dalam, tetapi Faisal dengan sopan menolaknya.

Bukan karena Faisal suka hujan, hanya saja ia tidak begitu suka berlama-lama di tempat yang bukan rumahnya. Ia khawatir kalau-kalau ada barang yang hilang, ia berpotensi jadi tersangka. Baginya, hidup sederhana tanpa masalah sudah merupakan anugerah Tuhan yang luar biasa.

Sembari menunggu hujan, ia merenung. Bukan, ia bukan merenungi nasibnya yang harus berjualan makanan selepas sekolah, ia menikmati semua itu. Ia justru merenungi sesuatu yang mungkin tidak ada di pikiran para remaja yang senasib dengannya. Ya, ia merenungi bagaimana kelanjutan pendidikannya selepas tamat SMA, padahal kebanyakan remaja yang senasib dengannya tentu ingin cepat-cepat bekerja. Ia memang menyadari akan hidupnya yang cukup susah, namun ia tidak bersedia menyerah begitu saja. Ia yakin kalau memang sudah rezeki, solusi atas masalah itu pasti bisa ia temui.

Di saat Faisal sedang hanyut dalam renungannya, melintas seorang gadis dengan tiba-tiba. Gadis itu adalah Noviza, teman Faisal sejak kelas 1 SMA. Sebenarnya mereka tidak begitu dekat, atau lebih tepatnya, hanya Faisal yang berusaha mendekat.

"Baru pulang?" teriak Faisal coba menyapa.

Noviza hanya sedikit menoleh, tidak membalas sapaan Faisal, dan terus berlari kecil menuju rumahnya. Faisal tidak marah, ia paham kalau Noviza sedang bergegas karena hujan turun cukup deras. Dari kejauhan ia pandangi terus Noviza, sampai gadis itu menghilang di balik tembok sebuah rumah. Setelah Noviza menghilang, Faisal segera memalingkan pandangan dan kembali kepada apa yang sebelumnya direnungkan.

Faisal memang mengagumi Noviza, bahkan sejak pandangan pertama. Kekagumannya itu sudah bukan rahasia, semua temannya termasuk Noviza sendiri mengetahuinya. Bicara cantik, Noviza memang cantik. Yang Faisal pernah dengar, Noviza memiliki darah Arab dari kakek buyutnya, namun bukan itu intinya. Kecerdasan Noviza dalam banyak hal-lah yang menjadi alasan utama. Oleh sebab itu, alih-alih merasa malu kekagumannya diketahui, Faisal justru merasa bangga.

Sering Faisal memuji Noviza, misalnya tiga bulan yang lalu saat Noviza bernyanyi pada acara peringatan Hari Sumpah Pemuda. Selepas acara, Faisal mendekat kepada Noviza yang sedang menikmati beberapa hidangan tersedia.

"Sekolah kita ternyata banyak uang, ya?!" Faisal membuka pembicaraan.

"He'eh." Sahut Noviza tak acuh sambil terus menyantap hidangan.

"Buktinya, untuk mengisi acara internal saja, mereka sampai rela mengundang Raisa." Faisal menambahkan.

"Raisa?! Mana Raisa?!" Noviza tersentak dan segera menatap Faisal dengan penuh keheranan.

"Loh, yang tadi bernyanyi, siapa?" Faisal berpura-pura kebingungan.

Kali ini, Noviza tidak lagi menanggapi. Ia memalingkan wajahnya dari Faisal dan kembali menyantap hidangannya. Saat itu Noviza benar-benar tersipu malu. Bukan Noviza orang yang mudah perasa, melainkan saat itu memang hanya dirinya yang hadir bernyanyi untuk mengisi acara. Begitulah satu dari banyak cara yang biasa dilakukan Faisal dalam mengekspresikan kekagumannya pada Noviza, terlihat sederhana namun langsung mengena.

Kembali kepada Faisal yang sedang merenungi masa depannya. Ah, semakin dalam ia merenung, semakin sulit ia temukan jawaban. Ia masih terus dihantui pertanyaan tentang bagaimana mendapatkan biaya untuk melanjutkan pendidikannya sampai ke bangku kuliah. Padahal, kurang dari enam bulan lagi ia akan berwisuda. Namun apa mau dikata? Faisal terpaksa kembali membiarkan pertanyaan itu menggantung di dalam memorinya, berharap jawaban Tuhan mungkin akan turun langsung pada akhirnya. 

Lagi pula, saat itu langit sudah semakin gelap. Dilihatnya jam dinding di dalam toko, kedua jarumnya sudah bertemu di angka enam. Dilihatnya kue-kue di dalam kotak, hanya tersisa delapan buah. Faisal segera membungkus empat kue untuk dibawa pulang, kemudian memberikan empat buah sisanya kepada dua orang penjaga toko sebagai rasa terima kasih atas lapak yang telah disediakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun