Mohon tunggu...
Satria Widiatiaga
Satria Widiatiaga Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Alam

Guru di Sekolah Alam Aminah Sukoharjo

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Metode Pendidikan Sastra Berkarakter untuk Anak SD

16 Maret 2024   04:17 Diperbarui: 28 Maret 2024   17:56 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak belajar. Sumber: Shutterstock via KOMPAS.com

Sewaktu pertama kali memulai semester ganjil tahun lalu, saya mendapati betapa kemampuan literasi para peserta didik kelas saya masih sangat rendah, parameternya cukup sederhana, yaitu betapa sulitnya mereka membuat kalimat sederhana, padahal mereka semua sudah bisa membaca. 

Parameter lainnya yaitu ketika mereka menghadapi soal dalam bentuk cerita logika, kebanyakan mereka masih sulit memahami, hal ini mengindikasikan betapa rendahnya minat baca diantara mereka, masalah ini tentunya menjadi keprihatinan saya dalam mengembangkan pendidikan sastra berkarakter kepada peserta didik.

Sutan Takdir Alisyahbana menyatakan bahwa dalam bersastra, seni sastra bukan sekedar untuk seni belaka, tetapi juga untuk kebermanfaatan intelektual dan pencerdasan masyarakat. Sastra memiliki potensi yang besar untuk membawa masyarakat ke arah perubahan termasuk perubahan karakter, inilah yang bisa disebut pendidikan sastra berkarakter.

Fase sekolah dasar adalah fase awal menanamkan pendidikan sastra berkarakter, sebenarnya kurikulum yang ada, sudah memberi ruang bagi pengembangan literasi lewat pelajaran Bahasa Indonesia, tetapi tantangannya justru ada di rumah peserta didik, karena mereka jauh lebih asyik bermain smartphone ketimbang menambah wawasan dengan membaca buku, walhasil jika kondisi ini dibiarkan terus menerus, kekayaan diksi anak bangsa bisa tergerus, karena diksi-diksi bermutu kebanyakan lahir dari kesusasteraan buku konvensional bukan dari video-video tiktok atau story instagram apalagi game online.

Saya berjuang keras dalam pembelajaran sastra bagi murid saya, walhasil pada mid semester lalu, saya membuat soal ujian mengarang, peserta didik sudah mampu mengarang karangan sederhana tentang lingkungan sekitar mereka, padahal sebelumnya membuat satu kalimat sederhana saja, rata-rata mereka bingungnya minta ampun. 

Metode yang saya gunakan adalah metode yang diterangkan oleh Suwardi Endraswara, profesor antropologi bidang sastra, tentang fase tahapan pengenalan sastra kepada anak-anak.

Dimana di dalam bukunya 'Metode dan Teori Pengajaran Sastra 'pada tahun 2005, beliau memberikan 6 metode tahapan dalam memberikan pendidikan sastra kepada peserta didik, bisa dikatakan metode ini sangat cocok untuk diterapkan kepada peserta didik sekolah dasar yang masih sangat pemula dalam hal sastra, berikut keenam langkah metode tersebut.

Ilustrasi anak menulis (sumber : dream.co.id)
Ilustrasi anak menulis (sumber : dream.co.id)

Melatih Tanggap Sasmito

Fase ini adalah tahapan dimana kita membawa peserta didik ke luar kelas untuk melatih pencitraan mereka atau panca inderanya. Pada tahapan ini, anak-anak hanya disuruh mencatat obyek-obyek apa yang menarik bagi mereka, mungkin ada yang tertarik dengan obyek serangga, tumbuhan, kolam ikan atau apa saja obyek yang kiranya menjadi ketertarikan masing-masing peserta didik.

Menangkap Ilham

Langkah selanjutnya adalah mengembangkan dari obyek yang dirasakan menarik bagi mereka. Peserta didik diminta menemukan ide dasar yang dapat dikembangkan untuk menulis karangan pendek ataupun puisi. Dikarenakan mereka sudah 'sasmito' dari obyek yang dirasakan, maka ilham akan muncul sendirinya, yaitu jalan cerita yang ingin dieksplor.

Memunculkan Kata Pertama

Bisa dikatakan ini justru adalah fase tersulit atau fase krusial dalam menulis, orang yang memiliki pengalaman banyak dalam menulis pun kadang mendapati masa-masa untuk menulis kata-kata yang tepat untuk memulai tulisan. 

Pada tahapan ini, peserta didik diajak berpikir tentang kata pertama yang akan dimunculkan berdasarkan ilham tersebut dengan diikuti kata lain menggunakan peta konsep hasil pencitraaan atau penginderaan, pada fase ini kalimat utuh belum terbentuk, tetapi peserta didik sudah tahu kata-kata apa saja yang akan ditulis.

Mengolah Kata

Fase inilah, para peserta didik mulai membuat kalimat-kalimat sederhana, berdasarkan perbendaharaan kata-kata yang sudah mereka buat, tugas guru adalah membantu mereka urutan tata baku penulisan kalimat yang benar, pada kasus kelas saya, masih banyak peserta didik yang terbalik-balik dalam membuat kalimat aktif atau pasif, sehingga peran guru sangat krusial dalam fase ini, karena tahapan ini banyak anak Esde yang masih mumet merangkai kata, intinya fase ini adalah peserta didik harus sudah mampu membuat kalimat utama yang akan dikembangkan ke kalimat-kalimat lain.

Memberikan Vitamin

Pada tahapan ini, guru bisa membantu peserta didik dalam membuat variasi-variasi untuk mengembangkan kalimat utama yang sudah dibuat, bisa saja diberikan stimulan imajinasi, kata kongkret, rima dan membuat tipografi yang unik dan tepat, kebanyakan anak Esde belum begitu memahami hal ini, maka tugas guru pada fase ini harus mampu membuat peserta didik mengeksplor hal-hal yang ingin mereka terangkan dari kalimat utama yang sudah dibuat.

Menyeleksi Kata

Ini adalah tahapan dimana guru mengkoreksi hasil karangan atau puisi yang dibuat peserta didik. Guru menyunting, mengedit tulisan yang sudah disusun dengan cara menyeleksi diksi yang tepat dan menghilangkan kata-kata yang tak diperlukan, guru bisa memberikan saran-saran tentang alternatif thesaurus kata-kata yang bisa digunakan.

Metode ini saya kira adalah metode sederhana tentang pengenalan sastra kepada peserta didik, namun memiliki nilai lebih kepada membentuk karakter yang observatif, kritis, analis dan solutif. Tetapi sekali lagi, metode ini pun tetap sulit untuk dilaksanakan, jika anak-anak jaman sekarang masih rendah minat untuk membaca buku, karena biasanya anak yang terbiasa melahap buku-buku baik fiksi atau pengetahuan, akan lebih mudah merangkai kata. Walaupun demikian, kemampuan sastra tidak hanya dikotomi untuk anak berkarakter linguistik, karena kemampuan menulis hingga kini masih dianggap sebagai ejawantah majunya literasi suatu bangsa, maka dari itu marilah kita bersemangat mengajarkan anak-anak kita untuk belajar menulis apa yang mereka senangi. Semoga Bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun