Mohon tunggu...
Singgih Swasono
Singgih Swasono Mohon Tunggu... wiraswasta -

saya usaha di bidang Kuliner, dan pendiri sanggar Seni Kriya 3D Banyumas 'SEKAR'. 08562616989 - 089673740109 satejamur@yahoo.com - indrisekar@gmail.com https://twitter.com/aaltaer7

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kabut Berdarah di Tapal Batas

1 Januari 2012   16:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:28 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tubuh mereka jatuh berdebam, masuk lobang, Ia melihat kabut disekitar tempat eksekusi, berwarna merah darah.
Seketika, kabut tebal di tapal dua Desa, tersingkap. Lamat-lamat terlihat biru langit, bulan mulai terlihat. Binatang malam, suara burung pungguk terdengar bersahutan merobek keheningan malam, mengiring kepergian tiga orang anjing Nica, tumbal kabut kegelapan nafsu duniawi.

.......................................

Ketika memasuki pertengahan Tahun 1946 Kota Purwokerto sekitarnya baru memasuki babak baru kehidupan bermasyarakat, Merdeka. Kemerdekaan lepas dari cengkeraman Tentara Nippon, baru seumuran jagung.

Tapi kini ketenangan kehidupannya terkoyak kembali, seiring suara kentong titir ‘tong..tong..tooong’ membahana saling  bersahutan, dari desa satu ke desa. Diikuti gema panjang dari arah balai Desa Kejawar, kentong kayu keramat bernama Kyai Galih, terbuat dari galih pohon Nangka, menggema panjang "Dung-duung..dung..dung..dung duuung" menggetarkan mendung dilangit, seketika hujan gerimis sepanjang hari membasah bumi Pertiwi.

Seketika menyadarkan warga Desa Kejawar, mereka terkesiap batang hidung Tentara Nica sudah didepan mata mereka. Teriakan kepanikan terdengar disetiap sudut kampung, terlihat ada mbok-mbok manggil anaknya, ada anak cari mboknya, sambil teriak diiringi tangis anak-anak “Ada dung-tong… ada dung-tong…Nica datang… Kang Nica datang, ayoo pada mengungsi”.

Martoyo, panggilanku pendek saja Yo. Aku berdiri berpegangan pintu depan, tapi aku dikagetkan suara dari dalam rumah si Mbok memanggil, terdengar panik “Yo…dengar itu suara kentong besar ‘dung tong… Nica sudah datang?” Terlihat si Mbok keluar dari dapur berjalan masuk ke kamar “cari saudaramu panggil Ramamu disawah, segera kumpul untuk mengungsi” tanpa menyahut  aku lari ke sawah di atas bukit, terlihat hamparan sawah yang lagi menguning. Aku cari Bapak, tidak ada di gubug.

Namun ketika  aku akan kembali, terdengar suara dari arah Selatan, suara menggelegar Duuung…duung….Blum..blum..gleer, trat tat trat rettt gler…. ngiiiing blum-blumm glaar terdengar tembakan salvo mengarah kota Purwokerto, terlihat dari arah Sokaraja mungkin di batas Kota Desa Berkoh. Di Tahun 1946 kota Purwokerto dimasuki tentara NICA diiringi suara titir kentong dari setiap sudut Desa yang mengitari kota Purwokerto.

Aku berdiri di bukit itu memperhatikan situasi, tidak begitu lama terlihat dikejauhan ratusan orang keluar dari arah kota dengan membawa berbagai buntalan, ada yang memakai gerobag dorong, sepeda penuh dengan barang-barang dan anak-anak digendongan ada yang dituntun, ber-ibu wajah kebingungan. Kaki-kaki mereka melangkah keberbagai arah tujuan menyelamatkan jiwa raga, dari sang angkara murka, tentara Nica. Dengan diiringi suara dentuman, dari kejauhan. Terlihat di udara pesawat-pesawat tempur Nica bersliweran di atas Kota, tiada perlawan dari Tentara Republik saat tentara Belanda [NICA] yang akan memasuki kota Purwokerto.

Desa Kejawar sebelah utara timur laut dari arah kota Purwokerto kurang lebih lima belas kilometer dari pusat Kota. Jalan Desa, kala Tahun 1946 masih berupa jalan setapak, bila hujan becek. Jalan itu mengarah ke Kuburan Desa Arcawinangun, disitu aku lahir dan besar. Rumah-rumah umumnya berpagar gedeg dan papan kayu, beratap daun bambu, seng dan genteng.

Satu Desa hanya satu yang punya sepeda dan radio, yaitu perangkat Desa atau Kadus saja. walau sederhana tapi kehidupan sangat damai, selepas Jepang angkat kaki dari Bumi Pertiwi. Tapi sekarang kehidupan sehari-harinya tertutup kabut gelap penjajahan kembali membelengu kehidupannya.

……………..

Pada sore hari jelang Bada Magrib, satu hari jelang kedatangan Tentara Nica. Aku pergi ke sungai untuk mandi, aku tersadar dan merasakan sesuatu pertanda alam yang aneh, namun aku pendam dalam hati. Sudah tiga hari ini,  aku tiada terdengar suara retnong dan suara burung, malam pun berasa miris, tiada angin sedikitpun yang  aku rasakan. Terlihat kabut  bermunculan dari setiap sudut Desa. Selesai mandi, aku langsung ke Surau sholat Maghrib berjamaah.

Di Surau  aku bertemu Kang Narjo, Kang Gosam, dan Kang Anto. Selesai sholat aku berbicang-bincang sambil berjalan pulang.

Kang Narjo… rasanya jis-jisi/miris malam ini lihat kabut sudah mulai turun mau ada apa yaa”

Iya benar, aneh kabut sudah nampak, dan tidak ada suara binatang biasanya seperti Retnong, apa Kinjeng tangis, dan suara burung tiada terdengar ocehannya” mereka baru menyadari keganjilan/pertanda alam.

Begini saja Kang Gosam sama Kang Anto, panggil semua teman-teman yang lain, datang kerumahku habis bada Isya, terus ke rumah Pak Kadus menanyakan pertada apa ini?”

…………

Ketika tiba di rumah Pak Dusun, disitu sudah berkumpul sepuluh orang sedang mendengarkan siaran radio. Setelah saling uluk salam, rombongan pemuda bergabung sambil mendengarkan siaran Radio, mereka menceritakan keadaan alam yang aneh.

Pak Kadus, sudah tiga hari suasana alamnya aneh, kabut muncul sore hari langit di atas desa terturup kabut?”

Benar Nak, kabutnya nyalawadi, mungkin ini pertanda akan terjadi ontran-ontran?”

Betul, kami semua memang merasakan tanda-tanda alam yang nyalawadi ini mungkin karena pengaruh perang Tentara Republik melawan Tentara Nica, banyak rakyat yang menderita” timpal seseorang, yang duduk di sudut ruang.

Kalau begitu kami pemuda-pemuda Desa ingin bergabung dengan Tentara Republik, Pak Kadus tahu caranya bagaimana” tanya kami hampir serempak dan penuh semangat.

Nak, Pak Kadus sudah bertemu dengan Kapten Sungkono Komandan wilayah Utara Purwokerto, mereka sangat membutuhkan pemuda-pemuda seperti kalian tapi saya keberatan, pertimbanganya masyarakat Desa sini juga membutuhkan kamu semua” Pak Kadus berhenti sebentar sambil matanya menatap satu-satu pemuda didepanya.

Tugas kamu sama mulianya dengan mereka yang memanggul senjata di medan perang,  ikut menjaga dan mengamankan lingkungan sendiri, dari apa itu?” terdiam sejenak menarik nafas panjang.

Dari maling, garong yang mencari kesempatan saat rumah-rumah ditinggal mengungsi. Disamping itu kamu semua diminta membantu tentara Republik dengan mengamati pergerakan patroli tentara Nica dari kejauhan seperti yang sudah diajarkan oleh Mas Martoyo, Nak…ayo disambi minum itu ambil saja rebusan singkongnya” tawaran itu mencairkan suasana di malam itu.

Sambungnya, sambil melihat ke Martoyo “Nak Martoyo, Kapten Sungkono sudah tahu kamu bekas Tentara Peta dan sebenarnya mau ketemu kamu, tapi waktu tidak memungkinkan, hanya titip pesan kamu di beri tugas untuk mengintai setiap gerakan tentara Nica termasuk jenis senjatanya apa saja, setiap siang malam bila ada Tentara Republik melintas di Desa Kejawar kamu lapor pada mereka, latih pemuda-pemuda lain Desa juga untuk mengamankan Desanya masing-masing”

Sampai tengah malam, akhirnya para pemuda ini pamitan pulang dengan harap-harap cemas dan beribu tanda tanya, bagaimana nanti nasibnya bila Tentara Nica masuk Purwokerto.

Namun dugaan berita ternyata meleset, pagi jelang siang Purwokerto di gempur dari batas kota, ketika siang jelang sore Tentara Nica sudah di dalam Kota tanpa perlawan dari Tentara Republik yang sudah mundur ke daerah aman. Di dalam Kota yang tinggal orang Tionghoa, kepulan asap yang masih membumbung tinggi.

Disinilah peran pemuda-pemuda Desa yang sudah dilatih tehnik dasar militer ala tentara Peta, diuji. Minggu pertama, siang malam mereka bergiliran mengintai gerakan tentara Nica dari pinggiran Kota.

…..

Ketika senja tiba diiringi kabut misterius menyeruak dari semak-semak belukar pinggir Desa, menutup langit Desa kejawar. tiada terlihat sinar Rembulan, apalagi kerlip bintang. Hari ketiga kota Purwokerto diduduki Tentara Nica. Terdengar dari surau, anak-anak sedang mengaji dengan suara takzim.

Tanpa diterangi senter aku bersama enam pemuda desa bertongkat bambu runcing, melangkah pelan menuju ke tempat pengintaian di batas desa dengan kota Purwokerto yang gelap gulita, sedang diberlakukan jam malam jadi tak tertembus oleh mata telanjang disamping jaraknya cukup jauh.

Mata awas, Kang Wanto menangkap gerakan di sebelah Barat “Kang Darsim, lihat itu di sebelah Barat sepertinya ada gerakan orang sedang menuju kota” sambil tangannya menunjuk ke arah Barat.

Oo…itu tadi siang aku dapat informasi dari Pak Carik, Tentara Republik mau menyerang Kota…lihat dari arah Selatan juga ada” telunjuk kang Darsim mengarah ke Selatan.

Kala mereka bicara bisik-bisik terdengar dari kejauhan, rentetan tembakan dan ledakan. Telihat seleret api beterbangan saling berbalasan, dan sinar lampu sorot terang sekali dari pos penjagaan tentara Nica, menembus kabut malam. setelah itu hening.

Ssst…Kang Toyo lihat ada bayangan besar hitam, mengarah kesini” bisik Kang Darsim

Kang Darsim bawa tiga temanmu ke arah seberang jalan…tunggu aba-abaku” Aku memberi instruksi pada Kang Darsim supaya pindah posisi.

Sepertinya tentara Republik dia jalan berangkulan”.  Kang Wanto berbisik

Ssstt tunggu, jangan keluar…tahaan belum jelas” bisikku sambil mengepalkan tangannya sebagai kode tahan, tidak boleh ada yang bergerak.

Berhenti…siapa kamu!” teriaknya dari balik pohon Mahoni.

Seketika dua sosok orang berhenti, terlihat senjata laras panjang terpenggang ditangan siap tembak.

Tentara Republik, kamu siapa” terlihat dalam keremangan malam dua orang ditanganya terlihat menyangklong bedil.

Jangan tembak kami kawan, saya mau keluar” teriaknya sambil keluar dari samping pohon Mahoni. sambil memberi komando supaya keluar dari persembunyian.

Tolong bantu teman saya tertembak” terdengar napas ngos-ngosan dan rintihan, setelah dekat  aku melihat baju dan celana basah oleh darah dan tercium bau amis sangat tajam.

Kang Narjo, Darso ambil semua bambu runcing, jejerkan dan dua bambu taruh menyilang ikat pakai pelepah pohon pisang buat tandu sementara” perintahku sambil mencari pelepah pisang di sobek memanjang dibuat tali.

Ayo angkat pelan taruh diatas bambu…bawa kerumah Pak Kadus, tiga orang tetap jaga disini” mereka beramai-ramai mengangkat tandu.

Pak Kadus, ada Tentara Republik yang tertembak” sambil ketok-ketok jendela kamar di bagian rumah, terdengar dari dalam langkah orang keluar dan membuka pintu dapur

Bawa masuk, sebentar saya panggil istri saya dulu” Sambil berjalan masuk kembali.

Saya Tono dan ini Sarun, komandan kami Kapten Tukijo” sesaat setelah Pak Kadus kembali bersama istrinya. Istrinya, salah satu penduduk yang sudah dilatih pihak PMI, untuk melakukan tindakan pertolongan pertama.

Bahu kiri kena peluru tembus kebelakang, paha kaki terserempet peluru dan beruntung tulang tidak kena, sementara ini hentikan dulu perdarahannya” dengan cekatan istri Pak Kadus membalut lukanya.

Minum dulu, ini ada singkong rebus tapi sudah dingin

Mereka minum dan makan singkong sambil mengobrol sampai hampir tengah malam, setelah itu mereka pamitan melanjutkan perjalan ke arah Desa Dukuhwaluh untuk berkumpul kembali dengan kesatuannya.

…………….

Semburat sinar pagi jelang mentari di ufuk Timur menyibak kabut. Terlihat dari jauh oleh dua pengintai,  iring-iringan dua Panser, tiga Truk besar, dan dua Jeep tentara beriringan keluar dari dalam kota mengarah ke Desa Kejawar, mereka berdua berlari mengarah ke Balai Desa

Seketika dentum kentong besar Kyai Galih di balai Desa terdengar “dung-dung-duuung…dung..duung” diiringi langkah-langkah ratusan penduduk Desa mengalir meninggalkan Desanya mengungsi, dalam sekejap kampung Kejawar kosong, hanya tinggal orang yang sepuh dan anak-anak.

Kala dirembang sore  di tempat pengungsian  aku memberi perintah “Kang Narto, kumpulkan lima teman lagi sore ini lihat Nica masih dalam Desa apa sudah pergi ayo sekarang pergi

Siap, tunggu aku panggil mereka” jawab Kang Narto, sambil melangkah pergi.

Sesaat sampai di pinggir desa, mereka berlindung dalam semak-semak “Kang, lihat di atas bukit sebelah utara sepertinya tentara Republik sedang mengintai juga” kang Nardi sambil menunjuk ke arah bukit.

Saat itu mereka sudah sampai diposisi di sebelah utara timur laut, pada suatu gerumbul di pinggir Desa Kejawar yang cukup rindang disitu mereka berhenti untuk mengamati daerah pinggir desa.

Bukan, mungkin tentara Nica tapi lihat sepertinya ada tanda merah putih” kata Kang Wage sambil mengendap maju pelan, cukup jauh jaraknya dan situasi dirembang petang sulit melihat  dengan jelas.

Jelas, itu tentara Republik yang sedang mengintai tidak mungkin Tentara Nica” kang Narjo sambil melangkang menguak semak-semak.

Aku posisinya agak di belakang tapi aku merasakan ada keganjilan, aku perhatikan gelagat Tentara diatas sana memandang ke bawah, secara reflek menarik Kang Narjo perintahku tegas “Lari…” Bersamaan dari atas bukit terdengar tembakan, peluru berdesingan. Tanpa melihat kebelangkang terus lari mengarah ke arah Timur, berhenti sejenak sambil mengatur napas di pinggir kali Pelus.

“Kang…nyebrang saja yuu” ajak Martoyo

Yoo aku tidak bisa renang lihat bagian tengah dalam arusnya deras ” Empat temannya keberatan. Dari kejauhan lamat-lamat terdengar suara kaki berlari, tanpa pikir panjang  aku menarik tangan Kang Narjo yang sudah gemetaran ketakutan, turun di tebing yang agak menjorok ke sungai.

Sesaat kemudian langkah kaki terdengar berat semakin dekat, bersamaan terdengar suara gemrutuk gigi Kang Narjo semakin keras.

Ssssttt….diam…diam…” sambil tangannya mendekap mulut, aku merasakan gigilan tubuh teman-teman yang lainnya. Sesaat tentara Nica berdiri persis di atas tebing, hening suasananya hanya terdengar gemricik air, tercium bau pesing. Satu dua teman-temannya ternyata ada yang terkencing-kencing di celana.

Cukup lama mereka ngumpet di sungai, sampai akhirnya terdengar suara kaki menjauh dan bersamaan terdengar lamat-lamat suara Adzan Magrib.

Kang, aku ke atas dulu, kamu semua disini dulu tunggu aku yaa…” dengan pelan Martoyo naik ke atas, sesaat kemudian aku turun. Satu persatu teman-temannya dibantu naik, kembali ke pengungsian.

………

Satu hari kemudian warga penduduk terutama yang laki-laki turun ke kampung setelah kondisi aman. Kehidupan bertani diam-diam tetap dijalankan, demikian juga bakul-bakul pasar setiap pagi subuh terlihat pergi ke kota.

Sore jelang malam, dari setiap sudut Desa menjeruak kabut tipis, kala jelang tengah malam  aku bertemu dengan Tentara Republik yang sedang bergerilya,  akupun memberikan laporan setelah itu berpisah.

Namun, tidak begitu lama terdengar rentetetan tembakan dan dentuman mortir dari arah kota, hampir tiga jam hening kembali, lampu-lampu sorot berseliweran menerangi pinggir kota, serangan tengah malam ini terlama dan terhebat dari serangan-serangan sebelumnya.

Ketika Adzan Subuh berkumandang, orang kampung dikagetkan suara Kyai Galih “dung-dung-duuuung….” dari arah balai Desa terdengar. diikuti titir…kentong-kentong dari tetangga desa, pertanda patroli tentara Nica sedang menuju ke kampunganya. Namun, sebagian besar penduduk khususnya kaum laki-laki terlambat mengungsi, dari penjuru sudut Desa berhamburan tentara Nica menembak membabi buta, kali ini perkiraan penduduk kampung, salah.

Kang Narjo, Gosam, Nardi, kamu semua ikuti aku…” Teriakku sambil lari dari rumah ke rumah, dengan panik menuju ke arah kali Pelus yang melintas Desanya.

Berkat instingnya, aku bersama Kang Narjo sudah menyiapkan rencana tempat persembunyian bila sewaktu-waktu di serang mendadak, terbukti sekarang.

Saat bersamaan terdengar tembakan salvo dari atas jalan setapak, diikuti suara ratusan suara kaki-kaki bersepatu boot berat terdengar dari penjuru masuk ke Desa Kejawar. Gedoran dan teriakan terdengar membahana dimana-mana.

Aku sudah bersembunyi diantara batu-batu besar sungai dan ada rongga cukup lebar yang tertutup semak. Posisinya tidak begitu jauh dari rumah-rumah penduduk, cukup jelas mendengar dan mereka bisa melihat tentara Nica, sedang beraksi.

Keluaaar!” diikuti suara tendangan dan dobrakan pintu di sana-sini

Mana tentara ekstrimis Sukarno, jangan bohong nanti tembak kamu!”

‘Tentara Nica menyebut Tentara Republik, dengan sebutan Tentara Ekstrimis Soekarno

Bentakan-bentakan, tendangan dan pukulan dengan popor senapan suara tembakan, diikuti suara histeris perempuan dan tangisan anak-anak bercampur aduk, kampung sudah diduduki tentara Nica.

Jelang Siang hari, mereka yang bersembunyi di dalam air mulai menggigil kedinginan, dengan wajah pucat, perut keroncongan menahan lapar. Namun, semua itu dikalahkan oleh rasa takut dan dendam luar biasa melihat tingkah polah Nica.

Kang lihat siapa itu tiga orang jongkok sambil angkat tangan, itu dibawah pohon kelapa sedang ditendang dan dipukul dengan gagang popor oleh empat tentara Nica?” tangannya menyibak sedikit semak-semak, supaya pandangannya lebih jelas.

Tidak tahu, tapi jangan-jangan itu saudaranya Anto bersama dua temannya yang dari Banyumas. Kan mereka pada mengingap di rumah Anto, mudah-mudahan orang tua Anto tidak pulang dari pengungsian” bisik Gosam.

Lihat satu orang disuruh naik pohon Kelapa, oh…mungkin disuruh petik kelapa muda…” bisik-bisik mereka terhenti, terdengar letusan bunyi senjata api bersamaan suara keras tubuh menghantam tanah.

Mata mereka saling berpandangan dengan mata telanjang mereka semua melihat kejadian sangat keji, sungguh sangat keji. Saat orang tersebut sudah sampai diatas tinggal metik kelapa muda, ditembak.

Dari mulut mereka serempak terdengar bisikan tanpa sadar “Astagfirullah, Allahu Akbar, Innalilahi wainna illaihi rojiun”

Terlihat Tentara Nica tertawa-tawa, senang. Dua orang ditendang setelah itu di beri cangkul dan sekop.

Batin mereka “Bajingan Nica…lihat itu dua orang kelihatannya di suruh menggali lobang mungkin untuk mengubur temannya?”

Sesaat kemudian setelah galian cukup dalam, mereka disuruh angkat temannya yang sudah mati. Terlihat dua orang sudah masuk dalam lobang bersamaan terdengar rentetan tembakan, dan tawa membahana tentara Nica sambil menimbun mereka.

Masya Allah…Allahu Akbar.. Innalilahi wainna illaihi rojiun…” serempak bisik mereka tanpa sadar, melihat lagi kekejaman Nica menembak dua orang yang sudah didalam lobang.

Cepat menyelam masuk dalam cekungan dalam” perintahnya, melihat gelagat tentara Nica yang belepotan tanah mengarah ke sumur dekat persembunyiannya.

Cekungan ini tertutup rapat semak, bila dilihat dari luar tidak kelihatan. Sesaat kemudian, terdengar gemricik air, dari atas cekungan berbau pesing.

Batin Martoyo “Bajingan memang dasar anjing kecing sembarangan” bayangan sinar Matahari condong ke arah Barat, siang jelang sore tiba. Terdengar tiga kali letusan senjata api,  aku paham itu suara panggilan pasukan yang menyebar supaya berkumpul.

Setelah hampir seperempat sinar Matahari condong kebarat, setelah terlihat aman  aku bersama teman-temannya keluar dari persembunyiannya.

Seketika terlihat pemandangan sangat memilukan di sekitar mereka. terlihat penduduk saling bertangisan, ada yang seperti orang linglung, jalan kesana sani, bingung.

Kang pada pulang tengok keluarga masing-masing nanti sebelum Magrib kumpul lagi di rumahku” Aku memberi instruksi, sebelum berpisah.

Bagaimana keluarga kamu semua” aku bertanya satu persatu pada teman-temannya.

Alhamdulillah, semua selamat Ramaku dan kakakku sempat sembunyi di dalam kolam belakang rumah beruntung tidak ketahuan Nica” berhenti sejenak mata Kang Narjo nanar berkaca-kaca.

Tiga pengintai orangnya Pak Carik di pinggir Desa lapis pertama dan kedua disergap dan ditangkap Nica sampai sekarang tidak ketahuan nasibnya” terdiam sejanak sambil menarik napas panjang.

Ramaku cerita, gerakan Nica tidak diduga sama sekali, mereka masuk dari segala arah lewat sawah-sawah dan diduga kuat ada orang kampung kita yang menjadi petunjuk jalan alias jadi anjing Nica”

Yang di tembak itu benar Saudaranya Anto dari Banyumas mereka memang sedang di kejar tentara Nica disana terus lari kesini, kata Ramaku disana mereka merampok dan membunuh satu keluarga Tionghoa kaya raya, hasil rampokanya untuk membantu para pengungsi” jelasnya dengan nada prihatin.

Sambungnya “Pihak kita  yang mati empat dan yang belum diketahui nasibnya enam orang, aku dengar serangan tadi malam pihak Nica banyak yang mati dan banyak yang luka berat, makanya tadi mereka melakukan operasi balas dendam di tiga Desa…ayo Sholat Magrib bareng terus dilanjutkan baca Yaasin dan doa bagi mereka semuanya” ajaknya setelah terdengar sayup-sayup suara Adzan dari kejauhan.

Selepas Sholat Magrib, mereka baca Surah Yasiin. Belum selesai mereka dikagetkan suara membahana dari arah balai Desa. Dengan cekatan mereka berhamburan panik bersama-sama puluhan penduduk yang masih dirundung ketakutan tadi siang, mereka mengarah ke arah utara dan timur, mengungsi.

Sesaat mereka ditengah perjalanan, sebagian dari mereka terhenti langkahnya melihat ke arah kampungnya, terdengar rentetan membabi buta dan kejauhan terlihat tiga titik api membumbung tinggi menembus pekatnya kabut diatas Desa Kejawar.

Yoo tengah malam nanti kumpulkan Narto, Nardi, Narjo, Gosam tengok rumah siapa yang di bakar” sesaat setelah tiba di daerah yang aman.

Njih Ramane…” Aku pergi mencari teman-temannya.

……

Malampun tiba, tiada bulan di langit hanya bintang-bintang dan semilir angin malam yang berkabut pekat, tanpa penerangan, tanpa suara mereka berjalan pelan melalui pematang sawah menuju ke kampung tinggalnya.

Kang Nardi, pasti ini ulah anjing-anjing Nica, aku harus cari siapa orangnya. Aku ora terima, Anjing Nica datang kesini hanya untuk membakar tiga rumah” sesaat setelah melihat pemandangan yang sangat mengenaskan aku sangat geram dan dendam, rumah tinggal kerangka hangus tiada tersisa.

Aku tahu dari sekian ratus penduduk pasti ada mencari kesempatan, apalagi kalau bukan uang golden, aku sudah tahu bila kepala tentara Republik dan bekas tentara Peta ada harganya ratusan  golden, walau hanya menunjukkan rumahnya atau rumah bekas jadi markas sementara gerilya, pasti rumah tersebut di bakar.

Yoo…sabar yaa, coba selidiki disini ada lima orang yang tidak pernah mengungsi jangan-jangan…ini berkaitan dengan kamu bekas Peta dan dekat lagi dengan Tentara Republik pasti ada yang melaporkan”  bisik Ramane, didekatnya.

Satu bulan sudah Tentara Nica, menduduki Purwokerto dan sekitarnya. Kekejaman Patroli Nica semakin menjadi-jadi. Demikian juga gerilya Tentara Republik, semakin berani menyergap tentara Nica Patroli baik siang maupun malam bila mereka berani keluar kota. Demikian juga hampir setiap malam, pos-pos penjagaan tentara Nica disetiap sudut kota serbu dan hampir sepanjang malam pasti terdengar suara tembakan artileri dan mortir menggelegar.

…….

“Pak, rumah orangtua saya di bakar, ini dipastikan ulah orang sendiri yang melaporkan ke tentara Nica” di tengah malam, satu hari setelah kejadian ia bertemu dengan Serka Harjo setelah melaporkan situasi dan kondisi pengamatan di lapangan.

Mas Toyo, begini saja saya kenal dengan Komisaris Polisi Distrik Sokaraja Pak Warsilam coba kamu cari di daerah Sokaraja pinggiran, dia punya jaringan dan mata-mata di dalam kota dan ahli kontra intelejen, temui dan bilang salam dari Serka Harjo, besok sore kalau tidak salah posisinya di rumah Carik Desa Mersi coba kamu kesana sore hari

………..

Ketika siang jelang sore,  aku berjalan kaki melalui sawah-sawah dan pinggiran Desa, menuju ke rumah Carik Desa Mersi. Sesaat  aku mengamati dan mempelajari situasi Desa Mersi sambil berjalan hati-hati aku dikagetkan oleh teguran dari gerumbul pohon Salak.

Kang Martoyo…ke sini” aku melangkah ke arah yang memanggil

Lho..Kang Teguh, Narto, Dirsun, Wanto pada disini, panen salak yaa…” tegurnya pada mereka semua pemuda desa Mersi yang Aku pernah latih dasar-dasar kemiliteran, dan mereka sedang memetik buah salak.

Ini disuruh Pak Carik petik salak buat oleh-oleh tamu…mau kemana?”

Mau ke rumah Pak Carik, saya dapat pesan supaya menemui Polisi Warsilam dari Sokaraja

Lhaah kebetulan lagi dirumah Pak Carik, baru saja menangkap tiga orang Anjing Nica nanti malam katanya mau…” kang Teguh terdiam sesaat, kemudian tangan kanannya di digerakan di leher.

Sore itu aku berjalan bersama menuju rumah Pak Carik sambil, makan salak. Setelah uluk salam dan memperkenalkan diri dan tujuanya dengan Pak Carik,   aku melihat seseorang keluar dari pintu ruang tengah rumah Pak Carik.

Itu Pak Warsilam” kata Pak Carik sambil menunjuk ke arah seseorang, sesaat  aku terbengong-bengong melihat seseorang berpostur kecil, namun berpenampilan seperti petani pada umumnya.

Martoyo dari Desa Kejawar”  aku memperkenalkan diri sambil salam-salaman.

Pak Silam, oh..ini Martoyo. Tadi Subuh sudah bertemu Serka Haryo. Dia sudah menceritakan semuanya, kamu dulu pernah gabung jadi Tentara Peta tugas di Cilacap?”

Benar, saya pernah jadi Peta dinas di Tangsi Cilacap

Jadi sudah biasa melihat kekerasan, saya dulu juga sempat dilatih Jepang, mari kebelakang lewat samping rumah. Pamit kebelakang dulu Pak Carik” sambil berdiri, kami melangkah pergi bersama pemuda Desa Mersi.

Silahkan Pak Silam, saya tunggu disini” sambil kami berdiri, melangkah lewat samping rumah ke arah lumbung/gudang disamping rumah, diikuti pemuda-pemuda Desa Mersi.

Setelah dibuka gemboknya, Pak Warsilam masuk ke dalam gudang yang gelap. Keluar kembali menyeret dengan entenganya sesosok tubuh tinggi besar lebih besar dari Pak Warsilam, tangan dan kaki dijirat erat. Pak Warsilam ambil senter dari balik jaketnya, dia menyorot wajah seseorang yang berlumuran darah kering, dan mulut disumpal kain.

Mas Toyo ambil air dalam sumur bawa sini” perintahnya sambil menunjuk ke arah sumur. Setelah di basuh mukanya, dan melepas sumpal dimulutnya dia senter lagi mukanya….

Kamu kenal dengan wajah orang ini”  aku kaget melihat wajah dan mata sayu orang ini, dari mulutnya yang bonyok, terdengar lemah permintaan ampun dan tobat berkali-kali.

Njih…saya kenal sekali, ini Bapak ini orang Kejawar guru ngaji anak-anak kampung kami yang rumahnya dipertigaan ujung jalan, samping Musholla. Kenapa ada disini”  aku heran bersamaan itu berkecamuk seribu macam pertanyaan dikepalanya, malam itu bagai dunia berhenti berputar, melihat guru ngaji kampungnya tangan, kaki dan mukanya babak belur.

Sungguh saya tadinya dan Komandan Wilayah Timur tidak percaya, Bapak ini jadi mata-mata Belanda cukup lama saya menyelidikinya tapi setelah alat bukti dan saksi-saksi sangat kuat, tadi siang saya tangkap di rumah istri mudanya disana ditemukan uang ratusan Golden, peta jalur gerilya dan dokumen lainya. Setelah diinterograsi dia mengakui punya dua teman lagi tinggal di Mersi dan Ledug,  maka Bapak ini bawa ke Mersi saya titipkan di gudang Pak Carik. Sore tadi selepas bada Azhar, saya tangkap mereka, terus saya bawa ke sini. Disini tadi sore sudah berkumpul, pemuda-pemuda Mersi. Saya kewalahan menahan kemarahan mereka, tahu sendiri akibatnya babak belur semua untung Pak Lurah datang, selamat mereka” ceritanya terhenti Dia kaget, tiba-tiba Kang Wanto secara reflek menendang muka tahananya.

Sabar Kang Wanto…” sambil tanganya menahan tubuh Wanto yang mau merangsek maju mau memukul.

Ini Kang Martoyo…dengan dua anjing-anjing begundal Nica yang didalam melaporkan kakak saya yang jadi Tentara Republik akibatnya rumah orang tua saya dibakar, Ramaku di tahan di kota sampai sekarang tidak diketahu nasibnya” geramnya sambil tangannya menunjuk ke dalam gudang.

Sudah-sudah bubar sana…” Bentak Pak Silam, menggelegar. tiba-tiba menyeret tubuhnya masuk, sesaat kemudian pintu ditutup di gembok dari luar.

………

Kala bada Magrib tiba, setelah selesai Sholat Berjamaah. Pak Warsilam memberi kode,  aku berama tiga orang Pemuda Mersi melangkah keluar. Dia menuju ke arah dapur.

Bu Carik, tolong siapkan minum kalau ada nasi..singkong rebus juga boleh buat para tahanan” pintanya sambil berjalan mengarah ke gudang, membuka kunci gembok.

Tolong semuanya jaga disekeliling sumur, tahanan supaya mandi dan sholat Magrib” sambil mengeluar dua pucuk senjata api dari balik bajunya.

Mas Martoyo, kamu pasti sudah biasa pegang senjata jenis ini, hati-hati sudah terisi penuh pelurunya” sambil menyodorkan satu pucuk senjata api.

Aku langsung mengecek dan membuka kuncinya, senjata siap tembak. Aku berdiri disamping kanan sumur, mengawasi mereka mandi satu persatu. Selesai mandi mereka semua disuruh Sholat dan makan dalam gudang, yang hanya diterangi sentir/lampu dari minyak tanah. Setelah selesai tangan mereka mereka diikat kembali. Demikian juga saat Bada Isya, mereka tetap diberi kesempatan untuk menjalankan Ibadahnya.

Jangan coba-coba lari, gudang ini diluar dijaga pemuda-pemuda Desa sini” pesan Pak Silam, tegas. Pintu ditutup dan di gembok kembali.

……………

Diruang tengah, selepas makan bersama,  aku terdiam dalam ruang tanpa penerangan hanya kerlap-kerlip tiga rokok lintingan yang terlihat sesaat menerangi wajah tegang. mereka sedang menunggu sang eksekutor, dari Desa Karangpetir.

Ketika jelang tengah malam, suasanya sungguh sangat mencekam kabut tebal semakin  membatasi pandangan. Dari jauh lamat-lamat terdengar suara, kaki berjalan mendekat. Pak Warsilam mengajak  aku keluar mengendap mendekat ke suara itu, pistol siap menyalak.

Siapa itu…” terdengar suara berwibawa Pak Warsilam, sambil tangannya menggegam sepuncuk pistol mengarah ke arah suara langkah kaki itu.

Tiga Buta ijo, Karangpetir” itu kode rahasia sang eksekutor, telah datang.

Tengah malam itu dalam kebisuan, mereka membawa tiga orang tahanan melangkah ke arah kali Pelus tepat di batas dua Desa antara Mersi dan Kejawar,  aku ikut mengiringi bersama enam orang berjalan menyibak kabut, pekat.

Dengan mulut masih di sumpal dan tangan terikat kembali, mereka pasrah disuruh jongkok berjejer di dekat lobang yang mereka gali sendiri, sebelumnya.

Sebelum eksekusi,  aku mendekat berdiri disamping Pak Warsilam membisikan sesuatu “Pak Silam, biar saya tembak saja” pintanya lirih, sambil membayangkan ‘rasa’ kematian dengan cara di sembelih yang tiada bisa  aku bayangkan.  aku teringat kata orang Jepang, lebih terhormat mati di tembak atau di pacung dari pada di sembelih.

Tidak boleh, peluru ini lebih berharga dari nyawa mereka” tegas dan berwibawa suara itu menggaung dalam kabut pekat,  aku tertunduk diam.

Disinilah mentalnya diuji, kala  aku melihat kelewang mengkilap berkelebat menggorok leher mereka satu persatu. Tubuh mereka meronta-ronta dan kelojotan diiringi suara ‘erangan dalam’ saat darah merah menyembur dari leher menembus kabut pekat. Tubuh mereka jatuh berdebam, masuk lobang,  aku melihat kabut disekitar tempat eksekusi, berwarna merah darah.

Seketika, kabut tebal di atas langit di dua Desa, tersingkap. Lamat-lamat terlihat biru langit, bulan mulai terlihat. Binatang malam, suara burung pungguk terdengar bersahutan merobek keheningan malam, mengiring kepergian tiga orang anjing Nica, tumbal kabut kegelapan nafsu duniawi.

.

TAMAT

.

Si Mbok : Ibu

Ramane/Bapane : Bapak

Anjing-anjing Nica : Mata-mata/kaki tangan tentara Nica.

Peta : Pembela Tanah Air

NICA : Netherlands-Indies Civil Administration : Pemerintahan Sipil Hindia Belanda

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun