Mohon tunggu...
Sasty Jemali
Sasty Jemali Mohon Tunggu... Model - Berselubung Doa Sang Bunda

Young business is cool and women deserve to be successful

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mata Hati Memandang Cinta (Part 2)

30 Juni 2020   19:10 Diperbarui: 30 Juni 2020   19:15 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sasty Jemali. dokpri

Aldhy. Potongan rambut halusnya selalu terjaga rapi. Aku tahu jenis minyak yang dipakainya. Kami pernah mencari bersama di Ramayana Mall kala itu. Badannya kurus. Dia hobi memakai celana botol keluaran terbaru saat ini. Aku tahu dia tidak suka tampil mentereng seperti kebanyakan lelaki playboy yang kukenal. Tampilannya acak-acakkan. Aku suka melihatnya mengenakan segala kesederhanaan. Aku mengenal sosok pria idamanku ini di awal 2017 lalu. Saat itu aku menggantung harapan pada Tuhan. Aku yakin dialah tulang tubuh dari mana aku dihembuskan dari mulut Tuhan.

Dia suka memakai kaos berwarna merah. Katanya warna ini memberi warna dalam hidup setiap hari. Merah menandakan semangat dan berani. Satu hal yang dia lupa bahwa warna merah juga bisa mengandung unsur negatif. Aku menemukan unsur itu dalam dirinya. Dia seorang yang emosional. Terkadang aku takut menghadapi sikapnya. 

Amarah yang menggebu-gebu itu sering kali membuatnya selalu tak peduli denganku. Inilah petaka yang menimpa hidupku. Setiap kali kami bertengkar, kerinduan akan dirinya selalu menyiksa. Semua akun media sosial diblokirnya. Inilah ujung kesepian yang kurasakan. Aku selalu berpikir tentang kebahagiaannya bersama orang lain ketika kami harus putus kontak.

Aku tahu makanan kesukaannya. Dia pernah menawariku makan di salah satu rumah makan di Kota Kupang. Aku menolak untuk makan di angkringan pinggir jalan. Saat aku menolak dia tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Dia mengalah dan mengikuti kemauanku. Kami menuju ke sebuah restaurant ternama. Dalam hati aku ingin makan di tempat yang romantis bersama orang spesialku. 

Ternyata apa yang kupikirkan itu berbanding terbalik dengan apa yang Aldhy inginkan. Dia mengajakku makan di pinggir jalan. Ada maksud yang ingin dia ceritakan. Tempat itu menjadi tempat istirahatnya dikala kesepian melandanya. Dia pernah mabuk hingga tertidur di tempat itu karena putus kontak denganku. 

Dia melihat tempat itu sebagai pacarnya. Ketika ada masalah hati, dia selalu datang memesan nasi goreng dan sebuah es teh. Dia juga sering meminjam gitar pemilik angkringan untuk menghibur kesepiaannya. Suaranya bagus. Dia selalu menyanyikan lagu kesayanganku, "Lagu Rindu". Terkadang dia berteriak dan meluapkan semua beban hidup di angkringan itu.

Aku telah membuat kesalahan yang fatal saat keinginannya untuk makan di angkringan itu ditolak. Di restaurant aku melihat dia tidak menikmati makanan khas Bali yang kupesan. Aku merasa bersalah. Dia menghabiskan tiga sendok makan dan minum seteguk jus buah naga. Sikap diamnya membuatku mati langkah untuk bercerita. Dia sungguh tidak menyukai tempat ini. Aku berusaha untuk tidak merasa ada yang ganjil.

Setelah selesai makan, dia mengantarku kembali. Kami melewati angkringan kesayangannya. Dia berhenti 20 meter dari nagkringan itu. Makhlum banyak motor dan mobil yang parkir untuk makan di tempat itu.

"Kanaya, kamu tunggu di sini ya. Aku turun sebentar saja," ungkapnya sambil keluar dari mobil.

Aku melihat dia berlari kecil menuju tempat angkringan. Dari dalam mobil aku melihat dia menyapa semua orang. Satu persatu dia meyapa semua pelanggan. Aku heran mengapa semua orang di angkringan ini mengenalnya. Mengapa dia lebih suka tempat kotor di pinggir jalan ini.

Aku penasaran dengan apa yang dilakukan Aldhy. Kaca mobil kuturunkan perlahan. Panasnya Kota Kupang membuat kulitku kering. Aroma sungai di belakang angkringan itu sungguh tak sedap.

"Tempat makan ini tidak cocok untuk Aldhy. Dia bisa jatuh sakit kalau makan di tempat ini terus. Lihat saja di belakang pondok kecil terdapat sebuah sungai yang penuh dengan lumpur. Baunya bisa menimbulkan penyakit. Mengapa dia mau makan di tempat ini? Ini sungguh tak layak baginya. Dia memiliki mobil dan punya banyak kos-kosan. Mengapa harus makan di tempat ini yang sungguh tidak manusiawi?" protesku dalam hati.

Sudah hampir lima menit Aldhy tak muncul. Aku memberanikan diri untuk turun dari mobil. Terik mentari sungguh menyiksa kulitku. Namun, rasa prihatinku kepadanya lebih besar. Aku memutuskan untuk melawan keadaan alam. Aku mempercepat langkah kaki menuju angkringan. Banyak pengunjung dengan mobil-mobil mewah menyempatkan waktu untuk makan di angkringan ini. Motor-motor keluaran terbaru, CBR, matic, fixion juga tak kalah banyak dari mobil. Aku semakin heran dengan tempat makan yang baru kutemukan saat ini.

"Maaf Nona, kalau mau masuk minta kartu anggotanya," ungkap seorang penjaga di depan pintu.

"Aku orang baru di sini dan belum memiliki kartu anggota," jawabku.

"Baik, kalau begitu tetap di luar ya," pintanya sambil menuju ke pos jaga di sebelah kiri pintu masuk.

Aku heran dengan angkringan yang kusebut tak layak ini. Dari luar aku melihat Aldhy sedang menulis di sebuah buku besar. Aku tak tahu apa isi buku itu dan apa yang ditulisnya. 

Dari raut wajahnya dia sangat serius. Beberapa kali dia melempar senyum kepada beberapa pengunjung. Ada yang menawarkan bir dingin kepadanya. Di samping Aldhy berdiri seorang wanita. Dandanannya sangat rapi. Mungkin saja dia adalah pelayan di tempat ini. Busana yang dikenakannya berbeda dengan pelayan lainnya. 

Para pelayan lain mengenakan baju berkerah warna merah. Kerah bajunya garis-garis hitam dan putih. Celana dan rok berwarna hitam. Laki-laki mengenakan celana kain hitam. 

Busana perempuan agak sedikit berbeda. Rok yang mereka pakai lima senti meter di atas lutut. Ada kesan seksi sedikit. Mereka mengenakan pita rambut berbusana batik. Yang menarik bahwa mereka mengenakan selempang bermotif Timor.

Semua pelanggan selalu terlihat happy. Mereka selalu memberikan senyum kepada setiap pengunjung. Jumlah mereka kurang lebih belasan orang. Aku tahu mereka datang dari beberapa wilayah di NTT. Ada yang berwajah Sabu, Sumba, Flores dan Timor. Inilah pemandangan menarik yang kutemukan di angkringan terjorok yang pernah kulihat.

Perempuan yang duduk dekat dengan Aldhy mengenakan busana jas lengkap. Dia mengenakan dasi. Sepatunya berbeda dari yang lain. Dia tidak seperti semua pelayan lain. Tugasnya memegang buku dan mencatat semua pelanggan masuk dan keluar. Saat Aldhy datang di sedikit diberi kesempatan untuk beristirahat. Aku melihat Aldhy merasa bahagia berada di dekatnya.

"Apakah itu pacar Aldhy?" tanyaku dalam hati.

Aldhy menunjukkan buku yang ditulisnya kepada perempuan di sampingnya. Mereka tertawa dan saling menatap. Aldhy memegang gemas kepalanya. Perempuan itu memukul pundak Aldhy. Mereka seperti sedang protes dan berdebat dengan apa yang ditulis Aldhy. Aku merasa sakit ketika Aldhy mencubit telinganya. Mereka sungguh mesra.

Rasa cemburu mulai menyiksaku. Aku memutuskan untuk kembali ke mobil. Amarahku sebagai seorang wanita sungguh tak tertahan lagi. mengapa Aldhy tegah berbuat seperti itu. Dia tidak peduli denganku. Tiga menit lebih aku menunggu Aldhy. Dia belum juga datang. Aku mengambil handphone dan menghubunginya. Beberapa kali panggilanku tak dijawab. Cemburu dan rasa amarahku bercampur menjadi satu. Sudah lima kali aku menghubunginya. Saat aku hendak menghubungi untuk yang keenam kalinya, nomor teleponnya sudah tidak aktif lagi. Rasa sakit mulai kurasakan.

Aku memutuskan untuk mendengarkan lagu-lagu galau. Lagu "Rindu" mulai kuputar. Udara dalam mobil yang sungguh panas. Aku berusaha menahan amarah dengan mendengarkan lagu. Volume lagu kunaikan hingga akhir. Inilah cara yang baik untuk tidak membuang energi positif di dalam diri. Saat aku meletakkan kepala di sandaran kursi, dari spion mobil kulihat Aldhy keluar dari angkringan itu. Wanita itu mengantarnya ke depan pintu. 

Aku sungguh terpukul ketika melihat Aldhy menggandengnya. Tangan Aldhy memegang sebuah kantong. Tangan perempuan itu terus memegang tangan Aldhy. Aku ingin turun dari mobil dan menghampirinya. Namun, aku memutuskan untuk tidak terlalu memedulikannya. Semua kupendam meski ada sakit yang membuatku menderita. Aldhy memegang kepalanya dan melambaikan tangan.

Aku sengaja tertidur saat melihat Aldhy datang. Dalam hati aku merasa bahwa Aldhy telah mengkhianatiku.

"Maaf sayang agak lama. Aku ada urusan sedikit. Ternyata mereka salah membuat rekapan para pengunjung. Aku harus memperbaikinya," katanya sambil membenarkan sabuk pengaman.

Aku mendengar apa yang dikatakannya. Rasa sakit mendorongku untuk terus tertidur meski ngantuk bukan menjadi alasannya. Aldhy menghidupkan mobil dan segera meninggalkan angkringan terkutuk itu. Kini aku semakin benci dengan angkringan itu. Pertama, karena tempat itu jorok dan menjijikkan. Kedua, karena Aldhy memperoleh kebahagiaan lebih ketika datang ke tempat itu. Ketiga, karena perempuan yang selalu dekat dan sangat mesra dengannya. Masih banyak alasan lain yang bisa kuungkapkan namun aku belum menemukannya.

Aldhy mengambil handphone yang kuletakkan di depan kaca mobil. Dia mematikan lagu yang kuputar berulang-ulang. Aku merasakan sentuhan darinya. Sesekali dia memegang bahu kananku. Aku tahu dia peduli saat posisi tidurku mulai miring. Dalam kepura-puraan itu aku menemukan sifat yang berbeda darinya. Ada perhatian yang lebih dalam dirinya. Ternyata aku terbawa egoku sendiri. Aku belum tahu apa yang dilakukan Aldhy di tempat itu. Rasa cemburu yang begitu kuat menutup akal sehatku untuk berpikir. Rasa cinta yang terlalu berlebihan menutup kesadaranku untuk mencintainya dengan logika yang baik. Aku larut dalam cinta yang terlalu mengekang. Kini aku sadar bahwa aku telah salah menilainya.

Tangan kanannya sesekali memegang pipiku.

"Tidur yang nyenyak sayangku," sesekali dia mengatakannya kepadaku sembari memegang pipiku.

"Apa yang terjadi padaku? Aku terbawa ego yang telah salah menilainya. Maaf ya sayangku, Aldhy," sesalku dalam hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun