Mohon tunggu...
The Sas
The Sas Mohon Tunggu... Seniman - Si Penggores Pena Sekedar Hobi

Hanya manusia biasa yang ingin mencurahkan apapun yang ada dalam isi kepala

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Insya Allah (Bukan Judul Lagu)

29 September 2020   05:53 Diperbarui: 17 Januari 2021   10:56 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tongkronganislami.net

Cerita ini kutulis sembilan tahun yang lalu ketika Maher Zein lagi terkenal.

"Who??"

Aku mengerenyitkan kening.

"Ya, Maher Zein," jawab Anelka, sahabat karibku.

"Tapi siapa itu Maher Zein?" aku kembali bertanya. "Bermain diklub mana dia musim ini?"

Anelka memandangku serius. "Maher Zein itu bukan seorang pesepakbola bro, dia seorang penyanyi," katanya.

"O ya?" aku makin penasaran. "Kok nggak kenal ya, pendatang barukah dia? Hmm, pasti keren nih dia sampai dikau merekomendasikannya untukku. Apa aliran musiknya bro, pop, rock,hiphop?"

"Pop reliji," tukas Anelka.

Hah, aku tercengang. Mulutku ternganga. Aku sampai mencubit lenganku berulang kali.

"Ih apa-apaan sih," Anelka heran melihat kelakuan ajaibku.

"Katakan bro, aku sekarang tidak lagi bermimpi bukan?" ujarku.

Anelka pun sewot. "Ya ampun,weww.,sekarang kita sedang berada dalam kamar kostmu yang kumuh ini, puas?!"

Hehe, aku hanya tersenyum geli. Maaf bukan apa-apa, secara Anelka gitu. Aku sudah mengenal Anelka seperti mengenal diriku sendiri, karena kami bersahabat sejak SMP dulu sampai kuliah sekarang. Kami berdua memang muslim, tapi soal keIslaman ya gitu. Kami sholat ya sholat, puasa ya puasa, tapi ya gitu deh. Apalagi untuk urusan musik reliji mah tunggu dulu.

Aku pun membuka laptopku. Kuketik "Maher Zein" di pencari Google.

"Oo, jadi ini Maher Zein, "gumamku.

Tampak gambar seorang cowok bule berwajah agak arab-arab duduk santai dikursi. Disebutkan disitu ini orang lahir di Tripoli, Libanon, 16 Maret 1981, tapi besar di Swedia setelah keluarganya pindah ke salah satu negara Eropa itu saat usianya delapan tahun. Sempat dikenal sebagai penyanyi R n B , Maher akhirnya memutuskan bermusik Islami dengan album debutnya Thanks to Allah pada 1 November 2009.

Kami tuntaskan rasa keingintahuaan kami dengan melihat video klip Maher di Youtube, diantaranya single Insya Allah dan For the Rest of My Life.

"Hmm, not bad," cetusku.

Anelka sebal. "Gayamu seperti pengamat musik saja, ya baguslah lagu Maher Zein."

Usut punya usut, benar seperti dugaanku, Anelka memang sedang jatuh cinta.

"Nabila Khumaira" sebut Anelka pelan.

Glek, aku tercekat menelan ludah.

"Nabila Khumaira putrinya Pak Abdullah Ridwan, ulama terkenal di daerah kita ini?" tanyaku kaget.

Anelka mengangguk.

Aku pun menyebut, "Ya salam."

"Kenapa Zam, ada yang salah?" tanya Anelka gusar melihat reaksiku.

"Ah, tidak," aku menggeleng demi membesarkan hati sahabatku.

Nabila Khumaira, siapa yang tak kenal gadis itu dikampus kami. Seorang gadis cantik berkacamata yang begitu anggun dengan kerudungnya.Bila ia tersenyum, kujamin kaum adam manapun kan terpana melihatnya. Tipikal seorang wanita solehah yang aktif dikegiatan dakwah dan sering menjuarai lomba MTQ.

Banyak lelaki yang coba mendekati Nabila, tapi mundur dengan sendirinya karena merasa tak selevel dalam hal agama. Ya jelaslah, baca Iqro' saja masih terbata-bata. Makanya aku terkejut dengan pernyataan Anelka barusan mengingat (maaf) kualitas iman kami berdua.

"Baru kali ini Zam, aku bertemu dengan seorang wanita yang mampu menenangkanku, " cerita Anelka. "Biasanya kalau aku berteman dengan wanita kebanyakan having fun-nya aja, terpengaruh hawa nafsu. Tapi yang ini beda. Memang Nabila cantik, tapi entah mengapa dekat dengannya seakan-akan menuntunku ke arah kebaikan. Bukan, bukan maksudku menjadi orang munafik yang berpura-pura baik padahal aku banyak dosa. Tapi, ah, kau mengerti kan maksudku sobat, aku seperti ingin berubah menjadi manusia yang baik."

"Bayangkan," sambung Anelka. "Pernah sekali aku datang bersilaturahmi ke rumahnya, aku langsung gemetar berkeringat dingin karena suasana rumahnya terasa Islami dengan senandung nasyid dan lantunan ayat suci Al-Qur'an. Aku begitu merasa kecil dan mati kutu. Bibirku kelu. Aku hanya tersenyum malu tak tahu menjawab apa saat Ibunda Nabila mengajakku bercakap dengan sedikit bahasa Arab. "

Aku hanya terdiam mendengar penuturan Anelka. Menatap raut wajahnya yang penuh kesungguhan, ku yakin kali ini ia benar-benar telah jatuh cinta dengan segenap jiwa dan raganya.

Kutepuk punggung Anelka sambil menguatkan, "Lanjutkan, sahabatku."

 ***********

Memang cinta bisa mengubah seseorang menjadi malaikat, ataupun sebaliknya. Begitupun Anelka. Demi pujaan hatinya ia pelan-pelan belajar menyukai lagu reliji sebangsa nasyid, Raihan, Haddad Alwi, Opick dan lain-lain yang dulu dicuekinnya. Kini ia memelihara rapi janggutnya dan kemana-mana bertopi pet biar mirip-mirip gitu dengan Maher Zein yang diidolai Nabila.

Bahkan kata-kata dari bahasa Arab semacam "ana", "antum", "afwan", dan "syukran" pun sekarang mulai fasih bermain dibibir Anelka. Sampai-sampai teman-teman yang lain memanggilnya Wan Abud.

Anelka tersenyum tak marah. Hanya sekali emosinya bangkit saat canda dirasanya kelewatan, ia langsung menarik kerah Budi -salah seorang teman yang menyapanya "teroris".

"Apa maksudmu berkata begitu?! " geram Anelka dengan raut menegang. "Ingat, Islam bukan agama teroris!"

Aku pun menenangkan kesensitifan Anelka.

Aku sempat khawatir keadaan Anelka sekarang hanyalah efek demam cinta sesaat. Untungnya sementara tidak. Pernah aku mengajak Anelka main futsal, tapi ia menolak dengan alasan hendak ikut majelis taklim. Sholatnya pun kini tepat waktu tanpa pernah bolong.

Dalam hati kubersyukur melihat sahabatku yang perlahan menuju ke arah kebaikan. Hmm,cinta memang memberi keindahan bila mampu membawa efek positif bagi pelakunya.

****************

Sekitar sebulan kemudian.

Anelka datang ke kostku dengan gontai. Semangatnya seakan lenyap disapu gelombang pantai.

"Hey bro, what happen? Are you okay?" tanyaku.

Anelka hanya diam menunduk, menyimpan gelegak sembilu dalam hatinya.

Beberapa menit kemudian baru ia bicara.

"Nabila sudah memiliki seorang kekasih."

Aku terkejut, tapi bisa menguasai diri.

"Lalu? Kau menyerah?" tanyaku lagi.

Anelka mendongak menatapku nanar.

"Iya, aku menyerah!" ucapnya.

"Kenapa?"

"Karena kekasih Nabila itu seorang santri keluaran pondok pesantren!"

"So what, memang kenapa dengan pesantren?"

"Kenapa?! Dengar Zam, wanita baik-baik untuk laki-laki yang baik pula. Aku ini bukan lelaki yang baik, jadi kenapa selama ini bisa bermimpi mendapatkan seorang wanita solehah seperti Nabila!"

"Lho bro, kenapa kamu jadi menzolimi dirimu sendiri," kecamku. "Apakah sudah menjamin seorang lulusan pesantren itu akan masuk surga? Masih ingat cerita guru agama saat kita SMA dulu, bahwa seorang pelacur pun dapat masuk surga hanya karena menolong seekor anjing yang kehausan. Intinya apa? Kebaikan dalam diri kita masing-masing!"

Anelka masih membantah. "Tapi aku tak akan pernah menjadi imam yang baik karena ilmu agamaku yang dangkal ini."

"Makanya belajar!" potongku cepat.

Aku lalu memberi Anelka segelas air putih yang kemudian diminumnya.

"Sahabatku," ucapku. "Sesungguhnya aku bersyukur dengan dirimu yang sekarang. Melihatmu aku pun ingin memperbaiki keIslamanku. Tapi kuharap ini seterus dan selamanya, hanya demi Allah, bukan hanya sementara demi cinta seorang gadis. Kamu sendirikan pernah bilang untuk tidak mau menjadi orang yang munafik, berpura-pura menjadi orang yang baik."

Kulihat diri Anelka mulai tenang. Ketegangan diwajahnya perlahan mereda.

"Semangat, bro!" lanjutku sudah bak motivator Mario Teguh. "Dalam Islam tak ada istilah pacaran, berarti kesempatan dirimu dengan Nabila masih terbuka lebar. Asalkan saja jika dia sudah dilamar, nah kalau itu tidak boleh, hee. Insya Allah, jika nama Nabila sudah tertulis sebagai jodohmu di Lauhul Mahfuz maka tak seorang manusia pun yang bisa mengubahnya. Tapi jika tidak, ikhlaskan hatimu. Yakinlah, Allah pasti sudah menyiapkan skenario yang lebih indah dari rencana yang kita harapkan. Ingat, dunia tak selebar daun kelor, wanita tak cuma Nabila seorang hoho."

Anelka bangkit dan langsung memelukku tulus.

"Terimakasih saudaraku, terimakasih."

Anelka kemudian mengambil gitar dan mulai menyenandungkan salah satu lagu indah milik Maher Zein.

"Insya Allah, Insya Allah."

~ Teruntuk Sang Pemilik Nama Yang Indah, thanks telah menginspirasi diri selama ini. Untuk semua kenangan indah, walau kini kisah perlahan memudar dan siap pergi jauh...^_^

(Bangka, Agustus 2011)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun