Ditengah perjalanan pula kami mendapati dua ruas jalan yang berbeda keadaannya dengan tahun kemarin saat kami kesini. Jalanan itu sekarang berupa bebatuan. Hal tersebut sangat mungkin akibat tanah longsor yang terjadi pada tahun 2024.
Tidak terasa kami sudah sampai di depan Sendang Gedang. Menurut obrolan kami dengan salah satu warlok (warga lokal), menurut sejarah lisan yang beliau terima, dahulu Sendang Gedang bernama Guyangan Gedang. Guyangan artinya tempat memandikan/mencuci, sedangkan gedang artinya pisang. Dahulu, bagi mereka yang akan tetirah ke Pertapaan Pringgondani disarankan membawa uba rampe, yaitu perlengkapan atau sesaji yang digunakan dalam suatu upacara atau ritual adat budaya. Isinya bisa beraneka ragam, dalam hal ini salah satunya adalah pisang. Nah, uba rampe inilah yang dibersihkan di Sendang Gedang.
Setelah dari Sendang Gedang, kami naik lagi. Namun, tidak lurus ke utara, tapi belok ke kanan, menuju Sendang Temanten. Setelah ubo rampe yang dibersihkan di Sendang Gedang tadi, sekarang giliran orangnya yang mandi di Sendang Temanten. Salah satu tempat ritual yang menjadi tujuan masyarakat, terutama untuk mandi, bersuci, dan mencari pengobatan alternatif. Sendang ini memiliki pancuran tujuh yang airnya dipercaya memiliki manfaat bagi kesehatan dan sebagai tempat meditasi atau semedi. Awalnya, pancuran di Sendang Temanten hanya ada dua, namun seiring waktu berkembang menjadi tujuh pancuran.
Dari sisi sains, mengonsumsi air pegunungan memiliki banyak manfaat untuk kesehatan, di antaranya menjaga kesehatan tulang, membantu pembentukan inti sel, menjaga keseimbangan cairan, dan menjaga kesehatan jantung. Selain itu, air pegunungan juga mengandung mineral alami yang penting untuk tubuh, seperti kalsium, magnesium, dan silika.
Setelah dari Sendang Temanten, kami melanjutkan perjalanan lagi. Waktu pada jam tangan saya menunjukkan angka 14.05 wib. Kurang lebih 30 menit kami sampai di Pertapaan Pringgondani. Kami istirahat sebentar di pendopo kecil sebelah timurnya. Di depan pertapaan ada beberapa warung yang menyediakan minuman sachet, mie dan nasi goreng. Kamipun segera bergegas menuju salah satu warung dan memesan kopi hitam dan gula, mie goreng dan mie rebus. Sambil menikmati sejuknya udara tanpa polusi dengan keheningannya pada 1300 Mdpl sambal sesekali terdengar suara burung. Damai rasanya. Tampak Karanganyar dan kota Solo dengan bangunan-bangunannya dari sini. Â
Ada beberapa alasan mengapa masyakarat mendatangi ke tempat ini. Ada yang sekedar jalan-jalan sambil menikmati suasana pegunungan yang jauh dari hiruk pikuk, olahraga lari atau kesini dengan membawa hajad-hajad tertentu. Misalnya ingin usahanya lancar, cepat naik pangkat dan lainnya. Tidak dipungkiri tempat ini banyak didatangi oleh pengusaha, pegawai, aparat ataupun lainnya bahkan sampai tokoh-tokoh baik yang lingkupnya lokal sampai nasional. Begitu masyur lokasi ini. Pertapaan Pringgodani memiliki latar belakang yang kaya, yaitu sebagai tempat pertapaan dan petilasan Eyang Kotjo Negoro yang dipandang sakral oleh masyarakat Jawa. Nama Pringgodani sendiri memiliki arti "tempat memperbaiki diri", yang mengindikasikan fungsinya sebagai tempat untuk menguji diri, prihatin, dan menenangkan diri.
Kiranya kita tidak perlu menjustifikasi bahwa mereka yang kesana pasti bla bla bla, yang terbaik dan benar adalah yang bla bla bla. Biarlah semua menjadi tanggung jawab pribadi masing-masing. Hidup itu pilihan dan setiap pilihan ada konsekuensinya.