Mohon tunggu...
Sarianto Togatorop
Sarianto Togatorop Mohon Tunggu... Guru - Pengajar yang menyukai kebebasan

Seseorang yang tak tahu kalau dia ada

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenal "Toxic Parenting" dan Selusin Tandanya

1 Juli 2020   21:16 Diperbarui: 1 Juli 2020   21:20 4316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak yang menjadi korban toxic parenting (sumber: schoolofparenting.id)

Semua orangtua pasti menyayangi anak-anaknya. Dalam menunjukkan rasa sayang kepada anak inilah beragam cara dilakukan orangtua. Mulai dari mengawasi secara berlebih, serba melarang, membatasi, memanjakan bahkan hingga membiarkan anak berekspresi sesuka hati.

Menjadi orangtua bukanlah perkara mudah. Seseorang yang sudah mempunyai anak tidak serta merta menjadi orangtua yang baik, bahkan ada yang seumur hidupnya gagal menjadi orangtua.

Menjadi orangtua memang tidak dipelajari di sekolah, namun belajar dari kehidupan dan pengalaman orang lain dalam mendidik anak. Masing-masing anak berkembang dalam pola asuh keluarga yang berbeda. Semuanya punya potensi untuk berkembang asalkan orangtua mampu menerapkan pengasuhan yang baik bagi anak-anaknya.

Karakter anak dibentuk dari pola pengasuhan orangtua. Karakter orangtua biasanya tercopy dalam diri anak. Anak yang pemarah biasanya gambaran dari orangtuanya yang pemarah. Anak yang selalu sabar belajar dari orangtuanya yang selalu sabar. Dan masih banyak lagi karakter orangtua yang muncul dalam diri anaknya, ibarat sebuah siklus yang berulang.

Toxic Parenting

Orangtua berperan memenuhi kebutuhan anak, menjaga, merawat, melindungi dan mencintai anak-anaknya. Semua peran ini dilakukan atas dasar sayang kepada anak-anaknya. Rasa sayang akan membuat orangtua rela melakukan apa saja untuk kebahagiaan anaknya. Rasa sayang dapat ditunjukkan dengan mengatur kehidupan anak, menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak, membatasi, menyediakan segala keperluan dan bahkan ada yang tidak mengizinkan anak melakukan apa pun. Semuanya dilakukan orangtua.

Lalu, karena dilandasi oleh rasa sayang, orangtua kadang bertindak melebihi apa yang seharusnya dengan alasan "ini semua untuk kebaikan anak". Atau "orangtua yang lebih tahu apa yang terbaik bagi anak, bukan anaknya".

Memang banyak hal dalam kehidupan anak yang masih diluar kendali mereka dan orangtualah yang mengambil kendali atas hal ini. Misalnya untuk urusan makan, kesehatan, pendidikan, perlindungan. Itu semua dalam kendali orangtua. Namun  bukan berarti karena orangtua yang menyediakan semuanya, maka anak hanya terima begitu saja apa pun kemauan orangtuanya.

Dalam mendidik anak, sering sekali orangtua justru menunjukkan perilaku yang merusak kepribadian anak. Atas nama rasa sayang, orangtua dapat bertindak terlalu jauh dalam mengasuh anak-anaknya. Alih-alih untuk membentuk karakter yang baik bagi anak, orangtua malah menjadi contoh karakter yang buruk bagi anak, tanpa disadari oleh orangtua. Orangtua yang seperti ini disebut Toxic Parent.

Toxic Parenting adalah gaya pengasuhan yang menimbulkan trauma berulang, pelecehan, penghinaan, sakit hati, meremehkan, mempermalukan dan mencemarkan anak-anak.

Orangtua sering lalai akan hal ini. Misalnya saja saat anak punya masalah dan menceritakannya kepada orangtua, bukan membantu dan memberikan dorongan semangat, orangtua malah menyalahkan anak, memarahi dan semakin banyak larangan dengan alasan menghindarkan anak dari masalah yang sama.

Tanpa disadari orangtua telah menanamkan bahwa jika ada masalah sebaiknya tidak memberi tahu orangtua karena akan memperpanjang masalah, kalau salah harus dimarahi dan melarang adalah solusi terbaik menghindari masalah. Dampak lainnya, anak akan menjadi pribadi yang tertutup, cenderung menutup-tutupi masalah.

Tanda Toxic Parenting

#1 Gagal memberi penguatan dan kemanan

Saat anak gagal, kepada siapakah layaknya anak akan meminta penguatan? Tentu kepada orangtua dan anggota keluarga lainnya. Bayangkan jika anak mengalami permasalahan, lalu lari kepada orang lain untuk meminta penguatan, bagaimana perasaan orangtua? Tentu merasa sedih.

Namun, jika penguatan itu tidak didapatkan justru dari orangtua, tentu anak tak akan mencari penguatan dari orangtua. Sebisa mungkin akan menghindarinya. Mencari orang lain yang dapat memberi penguatan.

Orangtua adalah sumber rasa aman anak-anak. Namun jika anak justru tidak merasa aman berada di antara orangtuanya, ini justru sebuah kesalahan orangtua dalam memberi rasa aman. Tentu saja anak akan berusaha menghindar dari orangtua dan itu merusak hubungan keduanya.

#2 Terlalu Kritis

Mengkritik memang bisa membangun, namun lain halnya bagi anak, terutama anak yang masih kecil. Jika orangtua selalu mengkritik apa yang dilakukan anak dapat mengikis rasa percaya diri anak hingga berujung menjauhi orangtua, karena tidak merasa nyaman dengan kritikan.

Efek lainnya adalah anak dapat menjadi pribadi yang perfeksionis, dan menuntut semuanya dilakukan dengan sempurna karena takut dikritik oleh orangtua. Sifat ini akan terbawa keluar lingkungan keluarga dan akan menyebabkan anak hobi mengkritik orang lain secara berlebih.

Menurut Cathy Cassani Adams, dikutip dari parenting.orami.co.id, jika terus-menerus memberikan saran negatif atau memusatkan perhatian pada kelemahan anak daripada kekuatannya, akan membuat anak percaya bahwa ia tidak bisa berhasil.

#3 Menuntut Perhatian Anak

Mindful parenting merupakan bentuk pola asuh anak di mana orangtua memberi perhatian penuh pada anak. Interaksi orangtua dan anak tidak hanya terjadi secara fisik, namun juga secara emosional.

Orangtua mendidik anak memberi perhatian sehingga menjadi teladan yang menanamkan perhatian dan akan ditiru oleh anaknya. Orangtua memberi teladan bahwa perlu untuk memperhatikan orang lain selain diri sendiri.

Orangtua yang menuntut perhatian akan menjadi contoh kurang baik, di mana anak akan meniru menuntut perhatian. Anak akan terbiasa mengutamakan kebutuhannya daripada mendahulukan kebutuhan orang lain. Anak akan berusaha untuk diperhatikan, lupa memperhatikan.

#4 Lelucon yang tidak baik

Bercanda tentu menyenangkan. Namun hati-hati menggunakan lelucon. Apalagi menggunakan anak atau orang lain sebagai bahan lelucon. Anak dapat menangkap pesan yang berbeda dari lelucon orangtua.

Anak yang dijadikan bahan lelucon akan merasa sakit hati dan tak jarang akan menolak diri sendiri karena dianggap lelucon oleh orangtuanya. Anak dapat merasa rendah diri dan menganggap dirinya sebagai citra yang buruk.

Menggunakan orang lain sebagai lelucon, anak dapat menganggapnya sebagai bentuk permisi dari dari orangtua untuk memperbolehkan anak mengolok-olok atau menjadikan orang lain sebagai objek lelucon. Hati-hati, anak dapat menjadi seseorang yang kurang empati terhadap orang lain.

#5 Memaksa membenarkan perilaku buruk

Jika anak melakukan kesalahan, terimalah dan ajak untuk melihat kesalahan serta efek yang tidak baik dari perbuatannya. Orangtua perlu menghargai kejujuran anak dalam mengungkapkan kesalahannya. Memuji sikap patriotik anak karena berani mengakui kesalahan dapat menjadi langkah awal membangun anak bersikap jujur.

Seandainya keberanian anak untuk mengakui kesalahan justru direspon orangtua dengan semakin menyalahkan, anak akan terdorong untuk belajar menyembunyikan sesuatu dari orangtua. Ini akan memupuk sikap tidak jujur dalam diri anak.

Saya yakin sebagai orangtua kita tidak membenarkan perilaku buruk anak, namun ada yang tanpa sadar telah memupuk prinsip lebih baik menyembunyikan kebenarana daripada berkata jujur, tanpa disadari.

#6 Tidak memberi ruang bagi ekspresi negatif

Masih ingat dulu dibilang "anak laki-laki gak boleh nangis?" Apa efeknya sekarang? Kebanyakan laki-laki tidak berani menunjukkan perasaan sebenarnya. Laki-laki yang menangis dianggap cengeng. Pada hal, menangis adalah ekspresi paling natural saat bahagia.

Orangtua sering khawatir menunjukkan emosi negatif terhadap anak. Takut bahwa anak akan merasa menderita dan sedih. Anak tidak pernah melihat orangtua menangis. Anak akan menangkap bahwa orang dewasa tak boleh menangis. Menjadi dewasa itu menyedihkan, tidak boleh menunjukkan ekspresi sedih.

Lalu setelah ia dewasa, anak akan berusaha untuk tidak menangis. Dan saat ia tak mampu lagi untuk tidak menangis, gambaran dirinya berubah menjadi seseorang yang rapuh, lemah tak punya kekuatan.

Bukan bermaksud untuk sengaja menunjukkan tangisan di depan anak-anak, namun orangtua perlu jujur menunjukkan ekspresi sedih dan menunjukkan bahwa orangtua dapat mengatasinya, sehingga anak pun dapat melihat cara orangtua mengatasi emosi negatif.

Anak-anak yang dibesarkan dengan ekspresi emosi yang terungkap dan terkendali akan memiliki pengetahuan emosional yang lebih baik dan cenderung mampu mengatasi emosi negatif dalam dirinya.

#7 Menakut-nakuti anak

Masih ingat dulu kita sering ditakut-takuti dengan cerita hantu atau cerita lain yang bertujuan untuk menakut-nakuti kita agar menghindari sesuatu. Ada yang ditakut-takuti agar rajin beribadah, ada yang ditakut-takuti agar tidak memakan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.

Saya masih ingat dulu ditakut-takuti kalau suka mengekor orangtua nanti ditangkap polisi. Sampai sekarang saya malah tidak suka sama polisi. Atau ditakut-takuti nanti disuntik sama dokter. Ada yang selalu takut sama dokter.

Menakut-nakuti anak bukanlah hal yang baik. Menyampaikan hal apa adanya sesuai dengan kemampuan anak memahami tentu lebih baik. Anak akan menjadi takut pada sesuatu yang ternyata tidak benar. Anak akan membangun citra negatif pada hal tersebut.

Terlebih masalah hantu. Orangtua saya tidak menakut-nakuti saya dengan cerita hantu. Sehingga, waktu kecil, saat malam harus ke kamar mandi pun saya tidak takut. Bahkan jika sendirian di rumah saya tak pernah membayangkan hantu ada di rumah.

#8 Mengutamakan perasaan orangtua

Menjaga perasaan orangtua tentu baik. Namun bersikap egois dengan mengutamakan perasaan orangtua dan mengesampingkan perasaan anak adalah keliru. Orangtua juga harus memperhatikan perasaan anak, apakah mereka nyaman dengan sesuatu yang nyaman bagi orangtua.

Misalnya dalam hal berpakaian. Anak tak harus mengikuti selera berpakaian orangtua. Atau memilih tempat liburan, orangtua tak harus memaksakan tempat liburan yang merupakan surga bagi orangtua namun bisa menjadi neraka bagi anak.

Berapa banyak orangtua yang masih mengendalikan cita-cita anaknya? Atau masih menentukan anaknya akan sekolah di mana, jurusan apa dan akan menikah dengan siapa? Sudah kuno kan?

Anak perlu dilibatkan dalam mengambul keputusan. Pilihan anak perlu dipertimbangkan. Saran anak perlu didengarkan. Jika rasanya orangtua kurang setuju dengan pendapat anak, sampaikan sisi baik dan buruknya pilihan mereka agar mereka tidak merasa dipaksa.

#9 Mengendalikan dengan uang

Masih ada yang ingat ketika dulu sering dihukum tidak diberi uang jajan? Hal ini memang sepele namun dapat menanamkan bahwa "money is power". Anak akan belajar bahwa untuk mengendalikan seseorang adalah dengan menggunakan uang. Anak akan terobsesi dengan uang. Sebaliknya hati-hati juga jika menggunakan uang sebagai bentuk reward bagi anak. Hal ini pun dapat menimbulkan dampak yang sama.

Perlu bijak dalam mengendalikan sikap anak. Anak cenderung memberontak kepada berbagai bentuk larangan. Orangtua perlu menunjukkan teladan menghargai aturan yang ada, untuk mendidik anak menghargai aturan. Anak harus dapat melihat bahwa bukan hanya anak yang menerima peraturan, orangtua juga. Dan semua harus mematuhinya.

#10 Memilih Diam

Hubungan yang tidak baik biasanya ditandai dengan minimnya komunikasi. Anak dan orangtua pun mengalami pasang surut hubungan. Terkadang konflik pecah dan hubungan merenggang. Sebagai orangtua hendaknya tidak memilih sikap diam.

Yang sering terjadi adalah antara ibu dan anak yang berkonflik dan berakibat saling diam. Anak-anak akan meniru dan menganggap bahwa cara yang baik dalam mengatasi konflik adalah dengan diam.

Orangtua perlu mengambil inisiatif komunikasi. Menurunkan amarah dan mengambil langkah berbicara empat mata. Ucapan maaf akan meredakan emosi dan mengikat kembali relasi yang renggang. Ini pun menjadi kesempatan orangtua memberi teladan untuk memaafkan.

#11 Membandingkan dengan orang lain

Siapa pun tidak suka dibanding-bandingkan. Membandingkan seorang anak dengan anak lain dapat menimbulkan efek tidak menyukai orang lain, kurang percaya diri dan mudah tersinggung.

Setiap anak pada hakikatnya mempunyai keunikan. Daripada membandingkan dirinya dengan anak lain, lebih baik membantu anak melihat sisi lain dalam kelebihannya. Memotivasi anak untuk mengoptimalkan kelebihannya lebih menumbuhkan semangat daripada membandingkannya dengan anak lain.

Efeknya bisa lebih panjang, yaitu merasa tidak dicintai. Anak yang orangtuanya membandingkan dirinya dengan anak lain akan merasa orangtuanya lebih mencintai anak lain.

#12 Menasihati anak di depan orang lain

Sering sekali orangtua kebablasan, menasehati anaknya di depan anak lain, pada hal dapat menyebabkan rasa minder dan menyendiri. Rasa malu sebab kesalahannya diketahui orang lain dapat membuat anak merasa malu berhadapan dengan anak-anak lainnya.

Anak justru tidak konsentrasi pada nasehat, tetapi kepada orang lain di sekitarnya. Anak akan terfokus menahan rasa malu dan berimbas pada hilangnya kepercayaan diri anak. Dampak lanjutan dari itu adalah kebencian yang mendalam pada orangtua.

Sebagai orangtua, acap kali dengan alasan sayang kepada anak, justru melakukan pola asuh toxic parenting. Tanpa disadari, orang tua menanamkan karakter yang kurang baik terhadap anak karena menunjukkan teladan yang kurang baik.

Orang tua harus waspada dan menghindari menerapkan toxic parenting dalam mengasuh anak. Toxic parenting dapat menjadi siklus yang akan berulang dari kita ke anak-anak kita.

Tidak mudah menjadi orangtua, namun bukan alasan untuk tidak menjadi orangtua yang baik bagi anak-anak kita. Orangtua adalah tempat di mana kasih sayang, rasa aman dan cinta yang berlimpah diperoleh anak-anak. Jadilah orangtua hebat.

Sumber: 1, 2, 3, 4, 5

ST, Djb July

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun