Oleh : Asma Sulistiawati (Pegiat Literasi)
Presiden Prabowo Subianto meminta agar polisi yang terluka dalam menjalankan tugas dinaikkan pangkatnya. Usulan ini ia sampaikan dalam acara Apel Kasatwil Polri 2025 pada Senin, 2 September 2025. Prabowo menilai polisi adalah pahlawan yang bekerja keras, sehingga negara perlu memberi penghargaan yang layak. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pun menyambut positif arahan tersebut, menyatakan bahwa Polri akan mengkaji langkah teknis agar kebijakan ini bisa segera diterapkan (Kompas, 02/09/2025).
Secara sekilas, usulan tersebut tampak wajar dan penuh empati. Siapa pun pasti mengakui, aparat yang berkorban demi keamanan negara pantas mendapatkan penghargaan. Namun, di balik itu, publik juga bertanya. Apakah solusi penghargaan seperti ini menjawab akar masalah yang dihadapi kepolisian dan masyarakat secara luas?
Apresiasi yang Layak, Tapi Bukan Jawaban Masalah
Kebijakan menaikkan pangkat polisi terluka memang bisa dipandang sebagai bentuk apresiasi. Namun, banyak kalangan menilai bahwa langkah ini terlalu parsial dan tidak menyentuh problem mendasar.
Pertama, isu kesejahteraan aparat tidak bisa hanya dilihat dari kenaikan pangkat. Banyak polisi di level bawah yang bekerja dengan risiko tinggi, tapi gaji dan tunjangan mereka masih jauh dari cukup untuk menutupi kebutuhan hidup di tengah inflasi. Jika hanya yang terluka yang mendapat kenaikan pangkat, bagaimana dengan mereka yang bekerja keras namun tetap sehat?
Kedua, kultur kerja Polri tidak lepas dari sorotan publik. Transparansi, profesionalitas, hingga dugaan penyalahgunaan kewenangan kerap menjadi isu yang menghantui lembaga ini. Maka, penghargaan semestinya juga diiringi dengan reformasi struktural dan pembenahan etika, bukan sekadar simbol kenaikan pangkat.
Ketiga, kritik tajam datang dari kalangan masyarakat sipil yang menilai negara sering kali lebih sigap mengapresiasi aparat dibanding rakyat biasa. Seorang buruh yang cacat di tempat kerja, seorang nelayan yang kehilangan nyawa karena minim perlindungan, tenaga medis di pelosok yang bertahan dengan fasilitas serba terbatas, hingga guru honorer yang puluhan tahun mengabdi dengan gaji tak sepadan. Apakah mereka pernah mendapat penghargaan serupa dari negara? Kebijakan yang terlalu elitis justru berisiko memperlebar jarak antara aparat dengan rakyat yang seharusnya mereka lindungi dan layani.
Lebih jauh, publik juga masih segar mengingat bagaimana aparat sering berhadapan dengan rakyat dalam aksi-aksi demonstrasi. Misalnya, saat mahasiswa dan buruh turun ke jalan di Jakarta dan berbagai daerah pada Agustus 2025 lalu menolak revisi undang-undang ketenagakerjaan. Bentrokan antara aparat dan massa menyebabkan sejumlah polisi mengalami luka, tapi di sisi lain, rakyat yang luka atau bahkan ditangkap tidak mendapat perhatian yang sama. Situasi ini menimbulkan pertanyaan, apakah negara hanya berpihak ketika aparat yang jadi korban, sementara rakyat dianggap "pengganggu ketertiban"?
Selain itu, kebijakan ini juga terkesan reaktif, bukan preventif. Yang terluka diberi pangkat, tetapi apakah ada langkah serius untuk mencegah agar aparat tidak lagi terluka akibat lemahnya intelijen, buruknya peralatan, atau strategi keamanan yang tidak tepat?
Menata Kembali Sistem dengan Islam Kaffah