Mohon tunggu...
Adi Pujakesuma
Adi Pujakesuma Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

KEBENARAN HANYA MAMPU DILIHAT MELALUI MATA KEMATIAN

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Opini WTP Bisa Dipesan, Ah yang Bener?

30 Mei 2017   15:33 Diperbarui: 31 Mei 2017   09:22 835
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebagai Abdi Negara saya tidak kaget membaca, melihat, mendengar berita tertangkap tangannya Auditor BPK dan Kementerian Desa Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) atas patgulipat jual beli opini predikat WTP oleh KPK pada 26 Mei yang lalu. Saya juga yakin jual beli predikat WTP di BPK bukan hanya terjadi di Kemendes PDTT saja. Di daerah-daerah kemunginan besar praktek ini justru menjamur.

Jual beli predikat disebut-sebut hanya menjadi mitos, Kemendes PDTT kebetulan sedang apes, akhirnya mitos itu terpecahkan. Ini adalah tamparran keras bagi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga pejabat Irjen level eselon 1 Kementerian/Lembaga berbuat tidak terhormat demi sebuah predikat.

Terus terang, terang terus yang membuat saya heran para pejabat tersebut bisa-bisanya berbuat tidak terhormat. Adapun mereka yang bernasib sial tertangkap tangan KPK adalah Ali Sadli (Auditor BPK), Jarot Budi Prabowo (Pejabat Eselon III Kemendes PDTT), serta Sugito (Irjen Kmenedes PDTT). Seperti ramai dipemberitaan KPK menyebut commitment fee sebesar Rp. 240 Juta, dengan 200 juta telah diberikan sebelumnya pada awal Mei lalu.

Kasus ini seharusnya dijadikan momen reformasi mental secara total ditubuh BPK, reformasi kementerian/lembaga baik integritas maupun perombakan pimpinan BPK dan Kementerian/lembaga agar praktek suap serupa tidak terulang.

Bagaimana bangsa ini akan bersih dari korupsi kalau Auditornya yang menentukan kerugian negara justru malah terlibat perbuatan korupsi, hal ini bukan hanya sekedar mitos belaka. Bukan mitos lagi, riwayatnya dari dulu sudah begitu bahwa opini WTP itu bisa dipesan, ah! yang benar?. benar saja dari OTT yang dilakukan KPK diperoleh barang bukti sejumlah uang Rp. 40 juta, USD 3000 serta Rp. 1,145 miliar.

Sudah sedari dulu sejumlah oknum BPK “bermain cantik” dengan produk opini penilaian terhadap kinerja keuangan lembaga pemerintah/swasta yang menjadi kliennya. Celakanya pada era ini oknum-oknum tersebut ketahuan menjadikan mereka OTT KPK.

Seandainya para penyelenggara negara (eksekutif,legislatif,yudikatif) memiliki integritas yang tinggi mengawal pembangunan dengan perilaku yang baik dan menjaga kehormatannya, maka bangsa ini sudah melebihi pesatnya kemajuan Korea,Tiongkok dan Jepang.

China juga dulu negara yang korup. Tapi sejak presiden Denxioping mempunyai komitmen yang tinggi dalam pemberantasan korupsi dengan penyediaan peti mayat bagi pelaku korup. Sekarang kelihatan hasilnya Tiongkok jadi raksasa ekonomi dunia yang disegani. Kebalikan negara Indonesia tidak malu berbuat korup padahal kita mengenal budaya SIRI atau malu justru putus urat kemaluannya, untuk hidup mewah segala cara ditempuh. Itulah mengapa korupsi sangat sulit diberangus di negeri ini untuk mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) saja harus nyogok, akankah terus berlanjut ke Kementerian atau Lembaga lain?

Saya curiga ditempat lain bisa jadi demikian, Cuma Kementerian Desa Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT)kemarin itu sedang apes. Sepertinya bagusnya pengelolaan penyelenggaraan Negara atau Pemerintah diserahkan saja ke pihak ketiga, habisnya selalu terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam proses pengelolaannya dan melahirkan korupsi baru. Tapi itu belum tentu juga menjamin bebas dari praktek korupsi, sebab sekarang eranya keuangan yang maha kuasa. Di dunia ini masih bisa diatur bahkan kebenaran bisa dibeli karena uang berkuasa. Kasus ini mengingatkan saya akan kata-kata pimpinan pusat “birokrasi itu ibarat dalam kubangan lumpur yang mana kalau kedua kaki kita masuk kedalamnya kita akan kelelep. Agar tidak kelelep kita harus selamatkan satu kaki.”

Sebagai penutup, saya meminjam kata-kata Anis Kurniawan, “sedari awal saya kwatir dan tidak percaya dengan istilah WTP yang diberikan negara pada negara. Sama tak percayanya saya bila negara memberi penghargaan pada Gubernur/Bupati/Walikota dan jabatan pemerintahan lainnya. Semuanya seperti lakon “jeruk makan jeruk”. Berapa banyak WTP yang dibeli? Berapa banyak penghargaan yang juga dibeli? Wallahu ‘Alam, hanya oknum dan Tuhan yang tahu!”

30 Mei 2017

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun