Mohon tunggu...
Sarah Finka Simangunsong
Sarah Finka Simangunsong Mohon Tunggu... Mahasiswa - Political Science Student of UPN Veteran Jakarta

Most millionaires get a B or C on campus. They build wealth not of IQ alone, but creativity and common sense.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Teori Demokrasi Aristoteles dan Kebebasan Pers di Era Jokowi

31 Mei 2021   01:57 Diperbarui: 31 Mei 2021   09:54 1711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://assets.kompasiana.com/items/album/2021/05/31/aristoteles-1-60b3dcbfd541df0a15090712.png

 

Kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat di era pemerintahan Joko Widodo dinilai mengalami kemunduran. Hal tersebut ditandai dengan adanya pembungkaman terhadap berbagai kritikus pemerintah baik di media massa maupun media sosial. Tidak hanya itu, kasus-kasus terkait dengan intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis juga meningkat dalam sepuluh tahun terakhir. Hal ini sangatlah berkebalikan dengan pernyataan pemerintah yang mengatakan bahwa pemerintah membutuhkan kritik yang terbuka, pedas, dan keras untuk membangun bangsa agar lebih terarah dan lebih benar. Alih-alih semakin lantang dalam menyampaikan kritik dan saran sesuai dengan anjuran pemerintah, pers justru mengalami intimidasi dan serangan digital misalnya doxing atau pembongkaran serta penyebaran data pribadi yang berpotensi mengancam terjadinya kemunduran tingkat demokrasi di negeri ini.

Reporters Without Border (RSF), sebuah LSM tingkat internasional yang memperjuangkan kebebasan pers merilis sebuah hasil penelitian yang mengatakan bahwa Indonesia berada di peringkat 119 dunia dan berada jauh di bawah Timor Leste pada peringkat 78 dan Malaysia pada peringkat 101 dalam indeks kebebasan pers. Selain itu, berdasarkan data LBH Pers kasus kriminalisasi terhadap jurnalis tergolong cukup tinggi yaitu 83 kasus kekerasan terhadap jurnalis pada tahun 2020.

Menurut Abdul Manan, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), keadaan pers di Indonesia sedang "Tidak baik-baik saja". Ia mengatakan bahwa regulasi yang dimiliki saat ini kerap kali tidak mendukung terwujudnya sebuah kebebasan pers. Sejalan dengan pendapat Ketua AJI, Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair), Herlambang P. Wiratraman juga mengatakan bahwa pembungkaman media massa yang memberitakan kritik terhadap penguasa menjadi semakin kompleks.

Berdasarkan kondisi di atas, penguasa sudah seharusnya memberikan ruang dan rasa aman kepada publik untuk menyampaikan berbagai macam kritik dan saran tanpa rasa takut adanya ancaman pidana ataupun kekerasan serta intimidasi. Sesuai dengan argumen Aristoteles tentang hakikat kekuasaan yang bersifat timbal balik, pemerintah dan publik harus bersinergi dalam menjalankan peranannya masing-masing. Hal itu penting untuk menciptakan kehidupan yang layak dan menghindari pemerintahan tirani dengan tangan besi dan penindasan di dalamnya.

A. Aristoteles dan Pemikirannya tentang Demokrasi

Teori Aristoteles tentang demokrasi di masa Yunani kuno disebut dengan Politeia atau Politics. Dalam bukunya, ia membahas prinsip teoritis tata politik negara dan pemerintahan. Selain itu, ia juga membahas situasi masyarakat Yunani Kuno yang memakai sistem demokrasi dalam menjalankan pemerintahan. Sehingga ada kombinasi antara sisi teoritis dan praktis.

https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/05/31/aristoteles-1-60b3dcbfd541df0a15090712.png
https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/05/31/aristoteles-1-60b3dcbfd541df0a15090712.png

Pertama, ia memandang bahwa manusia adalah makhluk politis dan negara sebagai komunitasnya bersifat alamiah dan memiliki hubungan timbal balik. Di satu sisi, manusia menciptakan komunitasnya. Di sisi lain, ia pun diciptakan oleh komunitasnya. Aristoteles juga menjelaskan beberapa model hubungan antara pemerintah dan yang diperintah. Model pertama adalah hubungan tuan dengan budak, ia memandang bahwa walaupun budak dan tuan secara alamiah memiliki kepentingan yang sama, bagaimanapun juga selalu memihak pada kepentingan tuan.

Walaupun memihak kepentingan tuan, tuan tetep harus memikirkan kepentingan budaknya. Ia mengatakan "Jika budak binasa, maka kekuasaan tuan pun ikut hancur bersamanya". Sehingga inti pemikirannya pada model ini adalah kekuasaan itu bersifat timbal balik, dimana publik membutuhkan pemerintah untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan hidup masyarakat luas dan pemerintah membutuhkan publik untuk melegitimasi kekuasaannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun