Seperti masih berbekas diingatan kita soal berita yang sempat viral pada tahun 2024 lalu, di mana banyak kendaraan baik itu motor maupun mobil yang mengalami kerusakan dan diduga akibat dari penggunaan bahan bakar bensin khususnya pada jenis Pertamax.
Masalah ini juga ternyata terjadi di beberapa wilayah di Indonesia dan mengindikasikan bahwa kesalahan ini mungkin terjadi bahkan dari hulu hingga akhirnya sampai ke tangan masyarakat. Meskipun begitu, Pertamina pada saat itu memastikan bahwa Pertamax sudah memenuhi penerapan Direktorat Jendral Migas Kementerian ESDM setelah melalui beberapa pengujian lab.
Seolah menjawab tanda tanya besar masyarakat, baru-baru ini jagat maya dihebohkan dengan kasus mega korupsi PT Pertamina dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang serta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) untuk periode 2018 hingga 2023.
Diperkirakan kasus ini merugikan negara sebesar Rp193,7 triliun dan bahkan masih bisa lebih dari itu. Kasus ini juga menjadi salah satu skandal terbesar dalam sejarah pengelolaan energi di Indonesia.
Modus operandi yang dilakukan dalam kasus ini adalah melibatkan pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) impor jenis Pertalite (RON 90) menjadi Pertamax (RON 92), yang kemudian dijual dengan harga lebih tinggi.
Proses dan alur pengoplosan ini juga tak kalah membuat masyarakat tercengang. Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No.42 Tahun 2018, Pertamina wajib mengutamakan minyak bumi dari dalam negeri. Namun, dalam hal ini beberapa tersangka yang terlibat membuat skenario untuk tidak mengutamakan pengunaan minyak bumi dalam negerti tersebut.
Caranya yaitu dengan menekan dan menurunkan produksi kilang, lalu memaksa ekspor minyak dalam negeri dengan alasan spesifikasi yang tidak sesuai. Akhinya minyak bumi dalam negeri ini digantikan oleh minyak bumi impor dengan harga yang lebih tinggi, dan itu pun melalui broker yang dimenangkan secara ilegal.
Tidak berhenti sampai disitu, kontrak impornya pun di-mark up sedemikian rupa hingga menaikan biaya pengirman melalui PT Pertamina Internasional Shipping yang kemudian menguntungkan perusahaan terkait dan tersangka-tersangka yang terlibat.
Kerugian ekonomi yang dihasilkan terdiri dari ekspor minyak mentah dalam negeri, impor minyak melalui broker, impor BBM melalui broker, serta kompensasi dan subsidi BBM. Hal ini juga menyebabkan hilangnya potensi pajak atau pendapatan negara, beban APBN yang meningkat, tata kelola energi yang rusak, dan terakhir adalah hilangnya kepercayaan masyarakat sebagai konsumen.
Kejaksaan Agung telah menteapkan tujung tersangka dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentah Peramina untuk periode 2018 -- 2023. Tersangka dari kalangan direktur subholding Pertamina terdiri dari Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (RS), Direktur Optimasi Feedstock dan Produk PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Sani Dinar Saifuddin (SDS), serta Direktur PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi (YF).