Mohon tunggu...
Eko Gondo Saputro
Eko Gondo Saputro Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Menjadikan menulis sebagai salah satu coping mechanism terbaik✨

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Paradoks "Public Apology" dalam Sebuah Pemerintahan: Etika Bernegara yang Belum Membudaya

6 Mei 2024   07:48 Diperbarui: 6 Mei 2024   11:05 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: iStock/microgen

Permintaan maaf dalam dunia politik acap kali dianggap sebagai contoh klasik dari sebuah seni meminta maaf yang setidaknya memiliki tiga macam makna; bentuk pengelakan, terkesan tidak jelas atau berbelit-belit, dan terkadang terlihat seperti benar-benar menyesalinya. Sehingga disini sepertinya sulit untuk membedakan antara ketulusan dan basa-basi politik saja.

Edwin Battisltella, seorang professor linguistik di Southern Oregon University yang juga merupakan seorang penulis buku yang berjudul "Sorry About That: The Language of Public Apology" yang terbit di Oxford University Press lebih lanjut lagi mengamati bagaimana permintaan maaf dalam kacamata politik.

Permintaan maaf politis setidaknya benar-benar efektif berhasil dalam dua hal; secara etis, telah mengakui kesalahan moral dan mengungkapkan kesalahannya, dan secara sosial telah memperbaiki hubungan dengan pihak yang merasa dirugikan.

Namun permintaan maaf ini juga bisa gagal dalam dua hal tersebut, dan kunci dari keberhasilannya adalah bahasa yang digunakan oleh peminta maaf ini. Pada titik ini biasanya ungkapan permintaan maaf tersebut seolah memiliki ungkapan "kesahalahan sudah terjadi" dan tidak secara tersirat meminta maaf secara tulus secara politis.

Ini merupakan salah satu jurus andalan para politisi untuk "menghindari" sebuah kesalahan. Misalnya dengan menggunakan klausa "jika", yang mana dalam hal ini memontong proses permintaan maaf dengan menempatkan tanggung jawab tersebut kepada pihak yang merasa dirugikan sehingga terkesan ingin mengkonfirmasi kembali bahwa kesalahan itu benar terjadi atau tidak.

Selain itu, terkadang politisi biasanya akan mencoba menghindari meminta maaf kepada pihak yang merasa dirugikan dengan cara menggunakan kata ganti yang tak tentu seperti "siapa pun" dan "apapun" seolah ingin menyalahkan pihak lain untuk kesalahannya.


Belum lagi ada istilah bernama hairsplitting yang terkadang menjadi strategi untuk menghindari permintaan maaf sesungguhnya dengan cara meminta maaf untuk sebagian kecil dari kesalahannya saja dan membiarkan kesalahan "besar" lainnya.

Penggunaan frasa dalam permintaan maaf juga bisa menjadi faktor penting bagi politisi. Di mana "meminta maaf" dapat diartikan sebagai respon karena sudah berbuat salah, sementara untuk kata "menyesal" hanya dianggap sebagai bentuk pengekspresian kondisi mental dan emosi tetapi tanpa menerima tanggung jawab.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa meminta maaf dalam politik ini memiliki dua aspek penting yang perlu diperhatikan, yaitu meminta maaf karena menyadari telah melakukan kesalahan, dan menyesal dalam arti secara tulus (mental dan emosi) memohon maaf atas tindakannya. Jika hanya salah satu aspek saja yang dilakukan, maka kita perlu mempertanyakan ketulusan permohonan maaf tersebut.

Sumber: pgaction.org/Working Meeting on ICC in Parliament of Indonesia
Sumber: pgaction.org/Working Meeting on ICC in Parliament of Indonesia

Sudah saatnya Indonesia bisa menerapkan konsep public apology yang benar!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun