Mohon tunggu...
santy121231128
santy121231128 Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya hobi dalam aktivitas fisik seperti renang dan lari

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Diskursus Kritik Keadilan Penyampaian e-SPT Cortex

23 Juni 2025   09:57 Diperbarui: 23 Juni 2025   09:57 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nama : Santy

NIM : 121231128

Nama Kampus : Universitas Dian Nusantara

Matkul : Akuntansi Perpajakan

Nama Dosen : Prof. Dr. Apollo Daito, M.Si.Ak

Judul Tema Kuis 13 : Diskursus Kritik Keadilan Penyampaian e-SPT Cortex

Perkembangan teknologi informasi dalam dua dekade terakhir telah mengubah lanskap administrasi publik di berbagai negara, termasuk Indonesia. Salah satu sektor yang mengalami transformasi digital paling signifikan adalah bidang perpajakan. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai otoritas fiskal nasional terus melakukan modernisasi sistem administrasi melalui pengembangan aplikasi dan platform digital untuk mendukung efisiensi, transparansi, dan efektivitas pengelolaan data perpajakan. Salah satu inovasi besar dalam agenda reformasi tersebut adalah peluncuran sistem pelaporan pajak berbasis elektronik yang dikenal dengan nama e-SPT Cortex. Sistem ini dirancang untuk mengotomatisasi proses pelaporan, analisis risiko kepatuhan, serta pemantauan wajib pajak secara menyeluruh melalui pemanfaatan teknologi big data dan kecerdasan buatan (artificial intelligence). Meskipun memiliki tujuan mulia dalam meningkatkan kualitas pelayanan perpajakan dan menutup celah penghindaran pajak, pelaksanaan e-SPT Cortex memunculkan berbagai respons kritis dari masyarakat, akademisi, hingga praktisi kebijakan. Kritik-kritik tersebut mencakup isu teknis seperti kompleksitas penggunaan dan keterbatasan akses, hingga persoalan yang lebih mendalam seperti transparansi algoritma, potensi bias sistemik terhadap pelaku usaha kecil dan menengah, serta ketimpangan perlakuan dalam penegakan hukum pajak.

Dasar Hukum Penyampaian SPT

1. Dasar Hukum Utama: UU KUP

Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) menjadi rujukan utama. Beberapa pasal penting yang dijelaskan dalam slide adalah:

  • Pasal 3 Ayat (1): Menyatakan bahwa setiap Wajib Pajak wajib menyampaikan SPT, baik itu SPT Masa maupun SPT Tahunan. Ini adalah perintah normatif yang menjadi kewajiban dasar bagi setiap subjek pajak.

  • Pasal 3 Ayat (3): Mengkategorikan jenis-jenis SPT, yaitu SPT Masa (yang dilaporkan secara berkala setiap bulan) dan SPT Tahunan (yang mencakup laporan tahunan atas penghasilan, pajak, serta pengurangan yang diperbolehkan).

  • Pasal 3 Ayat (4): Mengatur batas waktu penyampaian SPT, yang harus diperhatikan agar tidak menimbulkan sanksi administratif. Misalnya, untuk SPT Tahunan Orang Pribadi, batas waktunya adalah 31 Maret, sedangkan untuk Badan adalah 30 April.

  • Pasal 3 Ayat (5): Memberikan ruang bagi Wajib Pajak untuk melakukan permohonan perpanjangan waktu penyampaian SPT Tahunan dengan memenuhi syarat-syarat tertentu.

  • Pasal 4, 7, dan 8: Mencakup pengaturan mengenai sanksi administratif apabila Wajib Pajak lalai menyampaikan SPT atau terlambat melaporkannya, serta mekanisme pembetulan SPT jika terjadi kesalahan dalam pelaporan awal.

2. Peraturan Menteri Keuangan (PMK)

Prof. Apollo kemudian menjelaskan peran PMK sebagai aturan turunan dari UU KUP, yang merinci aspek teknis dan administratif pelaporan pajak elektronik. Beberapa PMK penting yang disebutkan adalah:

  • PMK No. 243/PMK.03/2014 jo. PMK No. 9/PMK.03/2018: Mengatur secara rinci bentuk, isi, dan tata cara penyampaian SPT, baik secara manual maupun elektronik. Revisi dalam PMK No. 9/2018 mengakomodasi penggunaan sarana elektronik yang lebih fleksibel dan mendukung perkembangan digital.

  • PMK No. 18/PMK.03/2021: Berisi kebijakan terkait pelaporan dan pengungkapan sukarela oleh Wajib Pajak, termasuk ketentuan dalam Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau yang dikenal sebagai tax amnesty jilid dua.

3. Peraturan Dirjen Pajak: Implementasi Teknis

Regulasi pada level teknis diatur oleh Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER Dirjen Pajak), yang berfungsi sebagai pedoman pelaksanaan teknis sistem pelaporan elektronik, termasuk tata cara penggunaan e-Filing dan e-Form. Salah satu yang dikutip adalah:

  • PER-02/PJ/2019: Mengatur tata cara penyampaian SPT Tahunan secara elektronik melalui sistem DJP. Peraturan ini menjadi fondasi implementasi sistem e-SPT secara daring dan memuat ketentuan teknis mengenai penyampaian, tanda terima elektronik, serta validasi data.

4. Korelasi dengan Aplikasi Cortex

Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam undang-undang atau PMK tertentu, aplikasi Cortex merupakan pengembangan lanjutan dari sistem digital perpajakan DJP yang diatur secara internal berdasarkan pedoman-pedoman hukum di atas. Dengan kata lain, legalitas sistem seperti Cortex bergantung pada kerangka hukum formal yang mendasari kewajiban pelaporan pajak secara umum dan aturan teknis dalam PMK maupun PER Dirjen Pajak.

Dugaan Korupsi Pembuatan e-SPT melalui aplikasi coretax

(PPT UNDIRA)
(PPT UNDIRA)

(PPT Undira)
(PPT Undira)

Kritik yang dapat diberikan terhadap aturan penyampaian e-SPT melalui aplikasi Cortex (sebagai sistem pelaporan elektronik yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak di Indonesia):

(PPT Undira)
(PPT Undira)
 

WHAT

e-SPT Cortex adalah sistem aplikasi digital yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Indonesia sebagai bagian dari reformasi administrasi perpajakan. Aplikasi ini merupakan bagian dari sistem core tax administration system yang mencakup pelaporan, pemrosesan, analisis, hingga pengawasan perpajakan secara terintegrasi dan otomatis. Cortex mengandalkan kecerdasan buatan (AI) dan data analitik untuk mendeteksi kepatuhan wajib pajak, menentukan risiko audit, serta memproses restitusi atau pengembalian pajak.

Fitur utama dari e-SPT Cortex meliputi:

  • Pelaporan pajak secara elektronik.

  • Evaluasi otomatis atas klaim pengembalian pajak.

  • Penentuan wajib pajak berisiko tinggi.

  • Pemantauan data transaksi melalui sumber internal dan eksternal.

    PPT UNDIRA
    PPT UNDIRA

    PPT Undira
    PPT Undira


    WHY

    Sistem e-SPT Cortex yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Indonesia dengan tujuan meningkatkan efisiensi pelaporan pajak justru menuai berbagai kritik dari publik, akademisi, dan praktisi perpajakan. Kritik utama diarahkan pada aspek keadilan, transparansi, dan keterjangkauan teknologi. Banyak pihak menilai bahwa sistem ini terlalu kompleks secara teknis, sehingga menyulitkan pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) serta wajib pajak individu yang tidak memiliki pengetahuan teknologi memadai. Selain itu, implementasi Cortex juga dianggap tidak inklusif karena tidak semua wilayah memiliki infrastruktur dan akses digital yang setara. Dari sisi etika, muncul kekhawatiran terkait over-surveillance, di mana sistem mengumpulkan dan menganalisis data dari berbagai sumber tanpa persetujuan yang jelas dari wajib pajak, seperti data transaksi dari bank, e-commerce, hingga media sosial. Kritik lain yang sangat mengemuka adalah ketidakterbukaan algoritma Cortex, di mana wajib pajak tidak diberi tahu alasan mereka dikategorikan sebagai "berisiko tinggi," dan tidak tersedia mekanisme banding yang adil jika merasa dirugikan oleh sistem. Selain itu, sistem ini juga dinilai bias karena lebih mudah mendeteksi kesalahan dari wajib pajak kecil yang datanya lebih sederhana, sementara penghindaran pajak skala besar dari korporasi yang kompleks sering luput dari deteksi. Bahkan dari sisi anggaran, pengadaan proyek e-SPT Cortex yang menelan biaya hingga Rp1,3 triliun turut dipersoalkan, karena dinilai tidak menunjukkan keunggulan signifikan dibanding sistem perpajakan digital dari negara lain yang dikelola lebih transparan dan efisien. Semua hal tersebut menunjukkan bahwa meskipun e-SPT Cortex memiliki niat baik untuk modernisasi pajak, pelaksanaannya masih jauh dari prinsip keadilan, transparansi, dan keberpihakan terhadap kelompok rentan. 

    PPT Undira
    PPT Undira

    Kritik yang dihadapi terkait kepatuhan pajak

    Sistem e-SPT Cortex merupakan platform berbasis teknologi yang digunakan oleh otoritas perpajakan untuk mengelola kepatuhan pajak secara digital. Di balik modernitas sistem ini, terdapat kekhawatiran yang serius terkait dengan transparansi, akurasi, dan keadilan dalam penerapannya, khususnya yang berkaitan dengan penggunaan algoritma berbasis artificial intelligence (AI) dan big data.

    Salah satu kritik utama yang muncul adalah kurangnya transparansi algoritma. Wajib pajak tidak memiliki akses untuk mengetahui bagaimana sistem mengevaluasi dan mengkategorikan mereka sebagai berisiko tinggi atau tidak. Tidak tersedia informasi mengenai parameter apa saja yang digunakan, bagaimana bobot risiko ditentukan, atau data apa yang menjadi dasar penilaian. Ketika sebuah sistem memutuskan perlakuan administratif terhadap seseorang namun tidak menyediakan ruang klarifikasi atau pembelaan, maka prinsip keadilan prosedural telah dilanggar. Dalam konteks administrasi publik, hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan dapat mencederai kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perpajakan.

    Lebih lanjut, permasalahan muncul dalam aspek akurasi algoritma. Sistem yang terlalu mengandalkan pola data historis berisiko mengalami overfitting, yaitu kecenderungan menarik kesimpulan berdasarkan data masa lalu yang belum tentu relevan dengan konteks saat ini. Misalnya, pola transaksi yang tidak biasa namun sah secara hukum bisa ditafsirkan sebagai risiko tinggi hanya karena berbeda dari mayoritas populasi data sebelumnya. Hal ini berpotensi menghasilkan false positives, yakni wajib pajak yang sebenarnya patuh tetapi dianggap mencurigakan dan terkena tindakan administratif seperti audit atau penundaan pengembalian pajak.

    Kritik semakin menguat karena keputusan sistem dilakukan secara otomatis tanpa proses verifikasi manusia. Keputusan seperti penundaan restitusi, pemblokiran akses sistem, atau penunjukan sebagai target audit dapat langsung dieksekusi oleh sistem tanpa pemeriksaan manual. Praktik ini tidak hanya mengurangi fleksibilitas administratif, tetapi juga membuka peluang terjadinya kesalahan yang berdampak besar pada individu atau pelaku usaha kecil.

    Selain itu, dari sudut pandang etika dan perlindungan data, sistem seperti Cortex berpotensi melanggar hak wajib pajak. Penggunaan data dalam skala besar---baik dari sumber internal DJP maupun dari pihak ketiga seperti perbankan dan e-commerce---dapat menimbulkan pertanyaan serius terkait privasi dan otorisasi data, terlebih jika tidak disertai dengan persetujuan eksplisit dari pihak yang datanya digunakan. Dalam kerangka hukum perlindungan data pribadi, setiap individu memiliki hak untuk mengetahui bagaimana data mereka digunakan dan untuk tujuan apa.

    Sebagai langkah preventif dan korektif, sistem seperti ini sebaiknya dilengkapi dengan audit algoritma oleh pihak independen, mekanisme transparansi logika kerja, serta akses koreksi atau prosedur banding yang mudah diakses oleh wajib pajak. Prinsip keadilan dalam sistem digital bukan hanya soal hasil akhir, tetapi juga proses yang memungkinkan semua pihak untuk memahami dan merespons keputusan yang memengaruhi hak dan kewajiban mereka.


    PPT Undira
    PPT Undira

    PPT Undira
    PPT Undira

    HOW

    1. Prinsip Keadilan Rawls yang Relevan

    Rawls mengajukan dua prinsip utama dalam keadilan:

    • Prinsip Kebebasan Setara: Setiap individu memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar, termasuk akses terhadap informasi dan proses hukum yang adil.

    • Prinsip Perbedaan (Difference Principle): Ketidaksetaraan sosial atau ekonomi hanya dibenarkan jika menguntungkan mereka yang paling tidak diuntungkan (least advantaged).

  • Kedua prinsip ini menjadi dasar untuk menilai apakah suatu sistem kebijakan---dalam hal ini sistem perpajakan digital---telah berlaku adil terhadap seluruh warga negara, khususnya yang berada pada posisi sosial atau ekonomi yang lebih rentan.

    2. Masalah Ketimpangan Akses dan Transparansi

    Poin pertama dari kritik adalah tidak adanya akses yang setara terhadap informasi sistem. Dalam implementasi Cortex, wajib pajak tidak diberi tahu bagaimana sistem menentukan bahwa mereka berisiko tinggi, tidak dijelaskan parameter apa yang digunakan, dan tidak ada jalur resmi untuk menantang keputusan sistem. Hal ini bertentangan langsung dengan prinsip kebebasan setara, karena masyarakat tidak diberi hak untuk mengetahui, memahami, dan menanggapi keputusan yang memengaruhi mereka secara signifikan.

    Bayangkan seseorang dikenai audit intensif hanya karena pola pelaporannya berbeda, tetapi ia tidak tahu mengapa ia dipilih, dan tidak ada mekanisme banding. Dalam logika Rawls, ini adalah ketidakadilan prosedural, karena sistem telah mengambil keputusan besar terhadap seseorang tanpa menjamin hak dasar untuk membela diri.

    3. Ketimpangan Beban terhadap Wajib Pajak Kecil

    Kritik selanjutnya adalah kecenderungan sistem yang memberatkan UMKM atau wajib pajak kecil. Karena data mereka lebih sederhana dan lebih mudah dianalisis, mereka menjadi target yang "mudah" bagi sistem untuk mendeteksi ketidakwajaran, meskipun tidak selalu berarti pelanggaran.

    Sementara itu, korporasi besar dengan struktur keuangan kompleks sering kali lolos karena sistem tidak mampu membaca strategi penghindaran pajak yang canggih, seperti transfer pricing atau offshore account. Hal ini menciptakan ketidaksetaraan perlakuan, yang dalam prinsip Rawlsian melanggar Prinsip Perbedaan. Ketidaksetaraan sistem seharusnya menguntungkan yang lemah, bukan menindas mereka lebih lanjut.

    Contoh: UMKM yang sedikit telat input pajak langsung ditandai sebagai "high risk" dan terkena audit, sementara perusahaan besar yang memindahkan laba ke luar negeri tidak tersentuh karena datanya tidak mudah dibaca sistem.

    4. Tidak Adanya Jalur Koreksi atau Gugatan

    Poin terakhir dalam slide ini menyentuh tidak tersedianya prosedur banding atau koreksi yang terbuka dan adil. Jika keputusan sistem bersifat final tanpa mekanisme koreksi manusiawi, maka sistem telah meminggirkan proses hukum yang adil. Dalam konteks keadilan Rawlsian, ini sangat bermasalah karena sistem hukum seharusnya memberikan ruang kepada semua orang untuk memperjuangkan keadilan mereka.

    Ketiadaan jalur koreksi berarti akses terhadap keadilan hanya milik sistem, bukan masyarakat, dan itu secara fundamental bertentangan dengan demokrasi serta tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

    Berdasarkan prinsip keadilan Rawls, reformasi terhadap sistem Cortex harus mencakup:

    • Transparansi Algoritma

      • Sistem harus menjelaskan secara publik bagaimana penilaian risiko dilakukan.

      • Wajib pajak berhak tahu kenapa mereka diperiksa atau ditolak pengembalian pajaknya.

    • Keberpihakan terhadap UMKM

      • Wajib pajak kecil seharusnya diberi pendampingan dan edukasi, bukan langsung diberi sanksi atau audit.

      • Ketidaksetaraan harus diarahkan untuk memperkuat mereka, bukan membebani.

    • Sistem Koreksi Terbuka

      • Harus ada jalur banding atau klarifikasi, baik secara manual maupun melalui sistem yang adil.

    • Prinsip "open office" perlu diterapkan agar masyarakat dapat menuntut kejelasan atas perlakuan administratif.

      PPT Undira
      PPT Undira
                                                                                           

      (PPT Undira)
      (PPT Undira)


      Contoh kasus soal

      Seorang pemilik toko kelontong melaporkan SPT Tahunan melalui sistem e-SPT Cortex. Beberapa minggu kemudian, ia menerima notifikasi bahwa ia dikategorikan sebagai wajib pajak berisiko tinggi dan akan diaudit. Ia tidak pernah memiliki riwayat pelanggaran, dan laporan keuangannya sederhana. Ia tidak diberi tahu alasan pemilihan tersebut dan tidak tersedia mekanisme banding.

      Pertanyaan:

      1. Apa kelemahan sistem e-SPT Cortex yang tampak dari kasus ini?

      2. Berdasarkan teori John Rawls, apa pelanggaran keadilan yang terjadi?

        Jawaban:

  1. Kelemahan sistem: Ketidaktransparanan algoritma Cortex dalam menilai risiko wajib pajak. Sistem bekerja sebagai "black box" yang menghasilkan keputusan tanpa memberikan alasan atau akses koreksi. Ini menciptakan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan prosedural.

  2. Pelanggaran keadilan menurut Rawls: Sistem ini melanggar Prinsip Kebebasan, karena individu tidak diberi hak untuk mengetahui dan menanggapi keputusan yang berdampak signifikan terhadap dirinya. Juga melanggar Prinsip Perbedaan, karena ketidaksetaraan yang terjadi (audit intensif) justru membebani kelompok rentan (UMKM), bukan menguntungkan mereka.

    Daftar Putsaka :

    -  Apollo, A. (2025). Modul Kuliah K13: Diskursus Kritik Keadilan Penyampaian e-SPT Cortex. Jakarta: Universitas Dian Nusantara. Bahan presentasi internal.

    - Direktorat Jenderal Pajak. (2019). PER-02/PJ/2019 tentang Tata Cara Penyampaian SPT Tahunan Secara Elektronik. Jakarta: Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

    - Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2014). PMK Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Penyampaian SPT.

    - Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2021). PMK Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak.

    - Republik Indonesia. (2022). Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi. Jakarta: Sekretariat Negara.

    - Republik Indonesia. (2007). Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Jakarta: Sekretariat Negara.

    - Rawls, J. (1971). A Theory of Justice. Cambridge, MA: Harvard University Press.

    - Aristotle. (350 BC). Nicomachean Ethics. (Transl. by W.D. Ross). Oxford: Oxford University Press.

    - Sen, A. (2009). The Idea of Justice. Cambridge, MA: Harvard University Press.

    - Kompas.id. (2025). Target DJP Selesaikan 22 Proses Bisnis Digitalisasi Pajak hingga Juli 2025. Diakses pada Juni 2025 dari https://www.kompas.id

    - Jawapos.com. (2025). Transisi DJP Online ke CORTEX Belum Maksimal, Banyak Kendala. Diakses pada Juni 2025 dari https://www.jawapos.com

    - Pajak.go.id. (2025). CORTEX: Sistem Baru Pengawasan Pajak Digital. Diakses dari https://www.pajak.go.id

    - Ekonomi.bisnis.com. (2025). Digitalisasi Perpajakan dan Tantangan Kepercayaan Publik. Diakses pada Juni 2025 dari https://ekonomi.bisnis.com

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun