Mohon tunggu...
Santi Faujiah
Santi Faujiah Mohon Tunggu... i'm an educator and a writer

An educator and a writer

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menjaga Lingkungan dan Toleransi di Hari Raya: Merayakan dengan Hati, Menjaga Bumi dan Harmoni

23 April 2025   15:28 Diperbarui: 23 April 2025   15:28 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari raya selalu menjadi momen yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat lintas usia dan keyakinan. Tradisi berkumpul, menyajikan hidangan, hingga berbagi bingkisan menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan besar seperti Idulfitri, Iduladha, ataupun Natal. Namun, di balik kemeriahan tersebut, ada masalah lingkungan yang kerap terabaikan: meningkatnya volume sampah plastik dari bungkus makanan, penggunaan styrofoam dalam acara halal bihalal, konsumsi air kemasan sekali pakai, hingga limbah kurban yang tidak terkelola dengan baik. Kesadaran ekologis sering kali tertinggal di balik euforia perayaan.

Permasalahan lingkungan ini bukan hanya soal kebiasaan, melainkan juga soal kesadaran dan edukasi. Kurangnya pengetahuan dan perhatian terhadap dampak ekologis dari aktivitas hari raya membuat isu ini semakin kompleks. Pertanyaannya, bagaimana menumbuhkan kesadaran kolektif untuk menjaga lingkungan, tanpa mengurangi esensi dari hari raya itu sendiri?

Saya menyaksikan secara langsung bahwa di lingkungan tempat tinggal saya masih banyak warga yang belum memahami cara membuang sampah dengan benar. Pemilahan antara sampah organik dan anorganik belum menjadi kebiasaan sehari-hari. Namun, saya tidak sepenuhnya menyalahkan mereka. Apa yang mereka lakukan lebih banyak disebabkan oleh ketidaktahuan serta minimnya fasilitas tempat pembuangan sampah yang memadai.

Saya membayangkan, seandainya ada program penyuluhan rutin dari para pemerhati lingkungan yang difasilitasi oleh pemerintah desa, tentu permasalahan ini dapat mulai terurai. Harapan ini bukan sesuatu yang mustahil. Kabupaten Banyumas telah membuktikannya. Kabupaten ini telah meraih berbagai prestasi dalam pengelolaan sampah, bahkan menjadi contoh di tingkat nasional dan regional dalam praktik pengelolaan limbah yang berkelanjutan.

Keseriusan dan kesiapan pemerintah Banyumas dalam menata sistem pengelolaan sampah dimulai dari langkah-langkah sederhana, seperti edukasi pemilahan sampah rumah tangga, pembentukan bank sampah, hingga peluncuran program Sumpah Beruang (Sulap Sampah Berubah Jadi Uang). Inilah program inovatif yang memungkinkan masyarakat menjual sampahnya melalui aplikasi Sampah Online Banyumas (Salinmas), dengan dukungan layanan pengangkutan sampah bernama Ojeke Inyong (Jeknyong).

Tidak hanya itu, Banyumas juga berhasil menerapkan konsep Zero Waste to Landfill, di mana hanya 9% dari total sampah yang akhirnya dibuang ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). Sebagian besar sampah dikelola dengan baik melalui daur ulang, komposting, dan pengolahan lanjutan. Bahkan, Banyumas telah mengubah sampah menjadi sumber energi melalui teknologi Refuse Derived Fuel (RDF) sebagai bahan bakar pengganti batu bara, serta menciptakan produk-produk baru seperti paving block dari limbah plastik.

Jika program-program inovatif yang telah sukses dijalankan di Kabupaten Banyumas diadopsi secara luas oleh pemerintah daerah dan masyarakat di berbagai wilayah Indonesia, saya yakin kerusakan lingkungan yang selama ini terjadi perlahan-lahan akan teratasi. Bayangan Indonesia bebas sampah bukan lagi sekadar impian, melainkan sebuah visi yang bisa diwujudkan secara nyata.

Upaya ini bukan hanya persoalan teknis pengelolaan limbah, tetapi juga menyentuh kesadaran setiap individu akan pentingnya menjaga lingkungan. Semangat gotong royong, edukasi yang berkelanjutan, serta inovasi teknologi menjadi kunci utama. Dengan begitu, kelestarian lingkungan akan terjaga, dan bumi yang kita tinggali hari ini akan menjadi warisan yang layak bagi generasi mendatang.Kolaborasi antara masyarakat dan pemerintah sangat penting. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan dapat mendorong penggunaan wadah ramah lingkungan saat hari raya, menyediakan tempat pengumpulan sampah terpilah, atau menggandeng komunitas hijau untuk memberi penyuluhan. Di sisi lain, masyarakat perlu aktif mengubah kebiasaan—misalnya dengan menggunakan besek dari bambu, membawa wadah makanan sendiri ke acara halal bihalal, atau menyajikan menu lokal yang tidak menyisakan banyak limbah. Semua ini bisa menjadi bentuk ibadah ekologis—karena menjaga bumi adalah bagian dari rasa syukur kepada Sang Pencipta.

Lebih dari itu, menjaga lingkungan saat hari raya juga berkaitan erat dengan praktik toleransi. Toleransi bukan hanya tentang hidup damai antaragama, tetapi juga mencakup hubungan antar manusia, alam, dan makhluk hidup lain. Berikut beberapa jenis toleransi yang dapat kita praktikkan dalam semangat hari raya:

  • Toleransi terhadap Makhluk Hidup Lain (Flora dan Fauna)

Menghargai keberadaan hewan dan tumbuhan sebagai bagian dari ciptaan Tuhan. Misalnya, tidak membuang limbah ke sungai yang bisa mencemari habitat hewan, atau tidak menebang pohon sembarangan menjelang perayaan.

  • Toleransi Sosial terhadap Gaya Hidup Ramah Lingkungan

Menghormati pilihan orang yang berusaha menjalani hidup lebih hijau, seperti membawa wadah sendiri saat halal bihalal, atau memilih sajian berbasis nabati saat hari raya. Perbedaan gaya hidup ini patut diapresiasi, bukan dijadikan bahan ejekan.

  • Toleransi Antar Generasi: Menjaga Bumi untuk Anak Cucu

Merupakan bentuk toleransi jangka panjang bagi generasi masa depan. Mengurangi sampah, menanam pohon, atau berhemat energi selama hari raya adalah wujud cinta pada mereka yang akan hidup setelah kita.

  • Toleransi Lingkungan Antarwarga dan Antarkomunitas

Tidak semua orang merayakan hari raya yang sama. Menghindari membakar sampah saat tetangga sedang beribadah atau menjaga ketenangan selama malam takbiran adalah bentuk toleransi yang patut diteladani.

  • Toleransi dalam Perbedaan Pendekatan Menjaga Lingkungan

Setiap orang memiliki cara berbeda dalam mencintai bumi. Ada yang memilih mengompos, ada yang aktif dalam komunitas lingkungan, dan ada pula yang memulai dari hal kecil seperti mengurangi pemakaian plastik. Semua bentuk kontribusi ini perlu dihormati.

Dengan menggabungkan semangat menjaga lingkungan dan nilai-nilai toleransi, hari raya akan menjadi lebih bermakna. Perayaan tak lagi hanya tentang meriahnya lampu hias atau banyaknya sajian, melainkan tentang bagaimana kita merayakan dengan hati—tanpa mencederai bumi dan sesama. Hari raya sejatinya adalah momentum untuk memperkuat hubungan, baik dengan Tuhan, dengan manusia, maupun dengan alam. Jika semua berjalan seiring, maka akan lahir perayaan yang bukan hanya indah, tapi juga berkelanjutan dan damai.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun