Mohon tunggu...
Sans Sastra
Sans Sastra Mohon Tunggu... Pengarang

Bernama lengkap Muhammad Sunre. Lahir di Tone, sebuah kampung di Bone, Sulawesi Selatan tahun 2003. Telah menamatkan pendidikan S1 Sastra Indonesia di Universitas Hasanuddin Makassar dan aktif menulis novel, cerpen, serta puisi di berbagai platform daring. Beberapa karyanya yang telah terbit adalah Kumpulan Cerpen Munaya dalam Secangkir Kopi (2023), X: Sebuah Novel (2025), serta sejumlah antologi bersama kategori puisi dan cerpen.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Membaca Atheis: Selayang Pandang

6 Oktober 2025   06:48 Diperbarui: 6 Oktober 2025   06:48 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel Atheis karya Achdiat K. Mihardja (Sumber: Pribadi)

Kemarin, saya telah menyelesaikan bacaan saya terhadap novel Atheis karya Achdiat K. Mihardja yang diterbitkan oleh Balai Pustaka (Cetakan Kedua, 2008). Novel ini setebal 250 halaman, dan saya membacanya dalam kurun waktu sekitar lima belas hari. Sebenarnya, tidak ada yang terlalu rumit daripadanya—biarpun beberapa istilah terbubuh menggunakan bahasa Belanda disertai bahasa sastra klasik—masih sangat mungkin dicerna oleh pembaca awam seperti saya. Hanya saja, waktu membaca saya seringkali terpotong oleh kesibukan sehari-hari, sehingga proses penuntasan bacaan berlangsung lebih lama daripada yang seharusnya.

Sejujurnya, kesan pertama saya sebelum membaca, cukup sederhana. Sebuah novel klasik Indonesia yang sering disebut-sebut dosen saya ketika kuliah dulu, tapi baru kali ini saya benar-benar menuntaskannya. Dari sampulnya, warna hijau mendominasi dan di atasnya ada garis-garis merah yang menyerupai goresan darah (entah iya, entah bukan, itu dari sudut pandang saya saja). Pandangan awal saya pula, saya mengira tidak akan disuguhkan kisah percintaan atau realisme sehari-hari, melainkan hanya mendalami pergulatan yang menyangkut hal-hal paling mendasar dalam hidup manusia—kepercayaan, iman, dan ideologi, sebagaimana judulnya: Atheis atau orang yang tidak percaya akan adanya Tuhan (Menurut KBBI). Namun, saya merasa salah besar, justru di dalamnya menampilkan sebuah kehidupan yang begitu dekat dengan kita (khususnya saya yang tumbuh dalam lingkungan yang ber-theis).

Sebuah disclaimer awal, bahwa, tulisan yang saya buat ini bukanlah resensi akademis yang kaku. Ia hanyalah sebuah selayang pandang saya terhadap novel Atheis. Saya ingin menekankan sejak awal bahwa pandangan ini datang dari seseorang yang awam dalam bacaan filsafat, sekaligus seorang yang ber-theis. Dengan kata lain, saya membaca novel ini bukan dengan landasan sebab menguasai teori filsafat, melainkan hanya ingin menyampaikan hasil bacaan saya terhadap cerita “megah” yang begitu berbeda dengan bacaan-bacaan saya sebelumnya.

Membaca Atheis ternyata menghadirkan pengalaman yang tak saya duga. Saya merasa terbuka-buka, terpikir-pikir, bahkan termegah-megahkan oleh narasi pemikiran filsuf Barat yang disampaikan melalui tokoh-tokoh seperti Rusli dan Anwar. Mereka hadir bukan hanya sebagai karakter fiksi, tetapi sebagai corong dari sebuah arus pemikiran besar yang lahir di luar tanah air. Ungkapan-ungkapan Rusli dan nama-nama filsuf yang sering terucap-ucap dalam dialog mereka sebenarnya bukanlah hal asing bagi saya, hanya saja tiada kuketahui pun selain dari namanya saja yang sering disinggung-singgung pada masa kuliah.

Saya masih ingat, dosen saya dulu pernah menyarankan agar kami mahasiswa sastra membaca Atheis. Katanya, bukan karena ia ingin kami menjadi ateis, melainkan karena buku ini bisa memperlihatkan bagaimana sebuah gagasan besar bekerja melalui medium sastra. Namun, kala itu saya menunda. Entah kenapa, mungkin karena merasa bacaan ini tiada terlalu diberatkan perhatian padanya, atau barangkali saya merasa belum waktunya. Baru sekarang, berbulan setelah lulus, saya mulai membacanya sekadar mengisi waktu kosong ketika sedang bersantai di kampung halaman—dan ternyata, memang benar. Buku ini seperti sebuah ruang kelas filsafat alternatif, namun dengan gaya penceritaan yang mengalir, memikat, tak menggurui, tapi bercakap-cakap seperti teman layaknya Rusli dan Hasan.

Novel Atheis karya Achdiat K. Mihardja (Sumber: Pribadi)
Novel Atheis karya Achdiat K. Mihardja (Sumber: Pribadi)

Yang menarik dari Atheis bukan hanya kisah perjalanan Hasan, tokoh utama, yang hidupnya berliku akibat pergulatan antara iman dan godaan pikiran modern, tetapi juga bagaimana Achdiat K. Mihardja memotret proses benturan budaya dan ideologi pada masa itu. Sebagai pembaca masa kini (kurang lebih 76 tahun semenjak buku ini hadir), saya merasakan kembali atmosfer pergolakan tersebut. Apa yang dialami Hasan terasa dekat. Meski zaman telah berganti, rasa gamang, kegelisahan, ketertarikan pada sesuatu yang baru, dan sekaligus ketakutan untuk meninggalkan yang lama, masih terjadi pada hidup kita (terkhusus saya dan mungkin pula saudara yang membaca tulisan ini).

Bagi saya yang ber-theis, pengalaman membaca ini tidak membuat iman saya goyah, melainkan justru meneguhkan. Saya merasa novel ini memberi ruang untuk berpikir kritis terhadap apa yang saya yakini. Ia seolah mengajak kita menimbang kembali, apakah selama ini kita beriman hanya karena ikut-ikutan, atau karena sungguh-sungguh memahami maknanya? Saya teringat satu hal. Betapa sering kita menerima ajaran-ajaran dogmatis begitu saja, tanpa pernah mengajukan pertanyaan atau mencoba mengkritisinya. Banyak dari kita yang ber-theis karena orang tuanya ber-theis. Dan ini menarik, Atheis hadir sebagai semacam peringatan, bahwa, keyakinan yang tidak disertai kesadaran kritis bisa rapuh ketika diguncang sedikit saja oleh pemikiran yang berbeda.

Menurut saya pula, novel ini menunjukkan bahwa pemikiran ateistik tidak selalunya hadir sebagai ancaman yang menakutkan. Justru, ia bisa menjadi semacam “didikan”. Sebuah latihan untuk mengasah daya kritis kita. Dengan membaca Atheis, saya tidak sekonyong-konyong menjadi tak bertuhan. Sebaliknya, saya merasa semakin mengerti mengapa saya memilih untuk tetap bertuhan. Saya merasa iman saya diuji lewat bacaan ini, dan ujian itu justru membuat saya semakin ingin menggali mengapa saya bertuhan.

Sebuah hal lain yang menurut saya penting pula saya sampaikan, bahwa, Atheis pun membuka cakrawala pikir kita terhadap bahaya fanatisme. Hasan, dalam banyak hal, menjadi cerminan orang yang terjebak dalam dua kutub ekstrem: fanatisme agama, dan sekaligus keterpesonaan terhadap pemikiran modern tanpa filter. Dari perjalanan Hasan itu, kita belajar bahwa hidup tidak bisa hanya dihidupi dengan menutup diri dari perubahan, tetapi juga tidak bisa semata-mata larut dalam arus tanpa pegangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun