Mohon tunggu...
PK SANHAN LAN RI
PK SANHAN LAN RI Mohon Tunggu... -

Pusat Kajian Sistem Administrasi Negara dan Hukum Administrasi Negara / Deputi Kajian Kebijakan / Lembaga Administrasi Negara RI

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mewujudkan Kepala Daerah Bebas Korupsi dengan Biaya Politik Rendah

26 September 2018   13:17 Diperbarui: 27 September 2018   10:16 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Korupsi di Indonesia masih menjadi masalah pelik yang harus mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Menurut data KPK hingga tahun 2017 kasus korupsi terus mengalami kenaikan setiap tahun. 

Kepala daerah pun tak lepas dari jeratan tindak pidana korupsi. Jumlah kepala daerah yang terlibat kasus korupsi pada tahun 2015 adalah sebanyak 7 kasus, tahun 2016 naik menjadi 10 kasus, dan pada 2017 semakin meningkat menjadi 14 kasus.

Data tersebut belum termasuk dengan lagi kasus penangkapan kepala daerah di tahun 2018. Hingga bulan Februari 2018 saja sebanyak 7 kepala daerah ditangkap karena kasus korupsi. 

Tahun 2018 Indonesia menyelenggarakan pemilihan kepala daerah secara serentak. Sebanyak 171 (seratus tujuh puluh satu) daerah akan memilih pemimpin untuk menjalankan pemerintahan periode 2018 sampai 2023, dari 171 (seratus tujuh puluh satu) daerah tersebut, 17 (tujuh belas) merupakan daerah provinsi, 39 (tiga puluh sembilan) kota, dan 115 (seratus lima belas) kabupaten.

Banyaknya kepala daerah yang tertangkap tangan KPK dalam kasus korupsi, sedikit banyak akan mengganggu persiapan dalam pelaksanaan Pilkada serentak ditahun 2018. 

Untuk merespon isu korupsi kepala daerah pada momentum pilkada serentak ini maka perlu dianalisis penyebab hal tersebut. Dalam upaya mengurai kasus tersebut maka perlu dicari terlebih dahulu hal-hal yang menjadi akar permasalahan yang memicu tindak korupsi sebagaimana telah dideskripsikan diatas.

Beberapa kepala daerah petahana saat ini banyak melakukan korupsi dengan alasan untuk membiayai pencalonannya kembali di pemilihan kepala daerah di tahun 2018. Yang menjadi sorotan adalah, mengapa para koruptor tersebut harus banyak-banyak mengumpulkan "modal" untuk mencalonkan diri kembali.

Biaya politik yang mahal kerap kali menjadi alasan utama mengapakepala daerah melakukan korupsi. Menurut data Litbang Kementerian Dalam Negeri atas pendanaan pilkada serentak 2015 diketahui bahwa biaya yang dikeluarkan pasangan calon untuk pilkada tingkat kota atau kabupaten bisa mencapai Rp 30 Miliar. Sedangkan untuk pemilihan Gubernur berkisar Rp 20 -- 100 Miliar. 

Dari keselurahan dana pilkada tersebut hanya sebagian kecil yang ditanggung oleh pihak partai politik yang mengusung paslon tersebut, sebagian besar dibebankan pada kandidat. Melihat dana yang sangat besar tersebut tidak sebanding dengan penghasilan yang akan didapatkan oleh calon kepala daerah.

Calon kepala daerah yang akan mengikuti pemilihan kepala daerah pun masih ada yang menggunakan politik uang untuk mendapatkan dukungan dari calon pemilih. 

Politik uang yang dilakukan kepala daerah ini menyasar pada kelompok masyarakat kecil dengan tingkat pendidikan rendah, yang sebagian besar masih bersikap acuh dan kurang peduli terhadap hal tersebut.

Hal-hal tersebut menyebabkan calon kepala daerah merasa perlu mengumpulkan dana yang besar. Ada harapan bahwa semakin besar dana yang digelontorkan maka akan semakin besar peluang dirinya akan dikenal masyarakat untuk selanjutnya memilihnya di Pilkada nanti. 

Dengan dana yang besar, ia dapat menarik dukungan dan minat masyarakat terhadap dirinya dengan banyak cara. Semakin dia dikenal oleh masyarakat maka semakin besar pula kesempatan ia terpilih menjadi kepala daerah.

Dampaknya kepala daerah terpilih menjadi lebih berorientasi pada uang karena merasa sudah mengeluarkan banyak biaya untuk memenangkan pilkada. Karena apabila hanya mengandalkan penghasilan sebagai kepala daerah, jumlahnya tentu tidak seimbang. 

Penghasilan kepala daerah berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) nomor 68 tahun 2001 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden nomor 168 tahun 2000 tentang Tunjangan Jabatan Bagi Pejabat Negara Tertentu, total gaji yang diterima gubernur Rp 8,4 juta per bulan (gaji pokok dan tunjangan jabatan). Sedangkan untuk bupati/wali kota menerima gaji dan tunjangan Rp 5,88 juta setiap bulan. Tentu angka ini jauh dari biaya yang telah dikeluarkan untuk mencalonkan diri.

Banyaknya dana yang harus dikeluarkan oleh pasangan calon dapat memicu terjadinya tindak pidana korupsi, antara lain sumbangan dari para donatur  yang mengharapkan balasan saat calon kepala daerah terpilih. Tingginya biaya pilkada juga menyebabkan calon kepala daerah ketika telah menjabat akan mencoba untuk mengembalikan modal yang telah ia keluarkan selama masa pilkada dengan berbagai macam cara.  

Rekomendasi:

Untuk mengatasi permasalahan tingginya biaya politik penyelenggaraan pemilu kepala daerah yang dapat memicu tindak pidana korupsi maka dapat diberikan rekomendasi kebijakan sebagai berikut:

  1. Peninjauan kembali Pasal 65  ayat (2) huruf a dan huruf b Undang-Undang No.10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang
  2. Penguatan peran pengawasan oleh Inspektorat daerah yang bersifat independen bebas dari tekanan politik dan kekuasaan oleh calon kepala daerah. Inspektorat daerah menjadi salah satu tonggak dalam pelaksanaan pengawasan di instansi pemerintah daerah kabupaten/kota.
  3. Selain itu juga Menyadarkan masyarakat bahwa nasib mereka selama 5 (lima) tahun kedepan berada di tangan mereka sendiri. Sehingga nantinya timbul rasa peduli dan menjunjung tinggi integritas serta kejujuran dalam masyarakat.

Referensi:

  1. "Statistik Tindak Pidana Korupsi."acch.kpk.go.id. 31 Desember 2017.
  2. "Berapa Gaji Gubernur dan Bupati/Wali Kota." Portal Kota. 17 November 2016. Web 14 Februari 2018.
  3. "Biaya Pilkada Picu Korupsi." Kompas.com. 27 September 2016. Web 16 Februari 2018.
  4. "Tiga Faktor Kepala Daerah Kerap Korupsi Versi ICW. Cnnindonesia.com. 13 Februari 2018. Web 16 Februari 2018
  5. Undang-Undang No.10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
  6. Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang

Penulis:

Tim Pusat Kajian Sistem Administrasi Negara dan Hukum Administrasi Negara

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun