Hal-hal tersebut menyebabkan calon kepala daerah merasa perlu mengumpulkan dana yang besar. Ada harapan bahwa semakin besar dana yang digelontorkan maka akan semakin besar peluang dirinya akan dikenal masyarakat untuk selanjutnya memilihnya di Pilkada nanti.Â
Dengan dana yang besar, ia dapat menarik dukungan dan minat masyarakat terhadap dirinya dengan banyak cara. Semakin dia dikenal oleh masyarakat maka semakin besar pula kesempatan ia terpilih menjadi kepala daerah.
Dampaknya kepala daerah terpilih menjadi lebih berorientasi pada uang karena merasa sudah mengeluarkan banyak biaya untuk memenangkan pilkada. Karena apabila hanya mengandalkan penghasilan sebagai kepala daerah, jumlahnya tentu tidak seimbang.Â
Penghasilan kepala daerah berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) nomor 68 tahun 2001 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden nomor 168 tahun 2000 tentang Tunjangan Jabatan Bagi Pejabat Negara Tertentu, total gaji yang diterima gubernur Rp 8,4 juta per bulan (gaji pokok dan tunjangan jabatan). Sedangkan untuk bupati/wali kota menerima gaji dan tunjangan Rp 5,88 juta setiap bulan. Tentu angka ini jauh dari biaya yang telah dikeluarkan untuk mencalonkan diri.
Banyaknya dana yang harus dikeluarkan oleh pasangan calon dapat memicu terjadinya tindak pidana korupsi, antara lain sumbangan dari para donatur  yang mengharapkan balasan saat calon kepala daerah terpilih. Tingginya biaya pilkada juga menyebabkan calon kepala daerah ketika telah menjabat akan mencoba untuk mengembalikan modal yang telah ia keluarkan selama masa pilkada dengan berbagai macam cara. Â
Rekomendasi:
Untuk mengatasi permasalahan tingginya biaya politik penyelenggaraan pemilu kepala daerah yang dapat memicu tindak pidana korupsi maka dapat diberikan rekomendasi kebijakan sebagai berikut:
- Peninjauan kembali Pasal 65 Â ayat (2) huruf a dan huruf b Undang-Undang No.10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang
- Penguatan peran pengawasan oleh Inspektorat daerah yang bersifat independen bebas dari tekanan politik dan kekuasaan oleh calon kepala daerah. Inspektorat daerah menjadi salah satu tonggak dalam pelaksanaan pengawasan di instansi pemerintah daerah kabupaten/kota.
- Selain itu juga Menyadarkan masyarakat bahwa nasib mereka selama 5 (lima) tahun kedepan berada di tangan mereka sendiri. Sehingga nantinya timbul rasa peduli dan menjunjung tinggi integritas serta kejujuran dalam masyarakat.
Referensi:
- "Statistik Tindak Pidana Korupsi."acch.kpk.go.id. 31 Desember 2017.
- "Berapa Gaji Gubernur dan Bupati/Wali Kota." Portal Kota. 17 November 2016. Web 14 Februari 2018.
- "Biaya Pilkada Picu Korupsi." Kompas.com. 27 September 2016. Web 16 Februari 2018.
- "Tiga Faktor Kepala Daerah Kerap Korupsi Versi ICW. Cnnindonesia.com. 13 Februari 2018. Web 16 Februari 2018
- Undang-Undang No.10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
- Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang
Penulis:
Tim Pusat Kajian Sistem Administrasi Negara dan Hukum Administrasi Negara