Mohon tunggu...
Tio Nugrose
Tio Nugrose Mohon Tunggu... Blogger

Rakyat Konoha

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Merah Putih One for All: Ambisi Besar, Kualitas Nol

15 Agustus 2025   11:30 Diperbarui: 15 Agustus 2025   11:30 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal yang paling aneh dari film animasi Merah Putih: One for All adalah soal alur ceritanya. Film ini menceritakan sekelompok anak, entah anak nakal atau pemburu hewan liar. Mereka kemudian mendapat ide untuk mencuri bendera di gudang desa.

Alhasil, sekelompok anak baik, yang awalnya dibentuk sebagai Tim Merdeka, kemudian berubah jadi Tim Merah Putih. Mereka diberi misi oleh pak lurah untuk mencari bendera itu, meskipun di hutan banyak hewan buas.

Yang menjadi pertanyaannya adalah: untuk apa para pencuri itu mencuri bendera, meskipun mereka tahu itu berharga bagi desa? Niat sebenarnya untuk apa? Apakah mereka mau mengerjai orang-orang desa, hanya iseng, atau sekadar meminta tebusan karena mungkin kekurangan uang jajan?

Yang paling konyol, bendera sudah diambil, anak-anak sudah mencari, kemudian mereka mendapati ada burung yang disandra. Mereka kemudian melepaskan burung itu, dan para pencuri bendera memberi syarat: kalau mau mendapatkan bendera kembali, mereka harus menangkap kembali burung yang dilepas.

Logikanya bagaimana? Jadi pencuri itu mengambil bendera karena di masa depan, anak-anak yang mencari bendera itu akan melepas burung yang telah mereka tangkap.

Dengan kualitas animasi seperti itu, bisa lolos bioskop? Katanya mau bersaing dengan anime Demon Slayer. Itu barat bumi dan langit. Bahkan untuk masuk TV atau di platform media sosial pun tidak layak, karena orang akan segera mengganti channel atau scroll ke halaman lain.

Dikritik apa, yang dijawab juga tidak mengerti. Itulah jawaban dari sutradara film animasi Merah Putih: One for All. Ia penuh percaya diri membanggakan animasinya, padahal yang ia banggakan hanya isinya saja, kemasannya ia tidak peduli.

Yang dikritik adalah kualitas film tersebut, bukan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Kualitasnya sudah dikatakan oleh para kritikus dan sutradara. Salah satunya adalah sutradara Hanung Bramantyo, yang mengatakan bahwa filmnya belum jadi atau masih tahap kasar.

Ia belajar di mana, pendidikan seperti apa yang ia lalui? Bagaimana itu tidak mengherankan mengapa orang-orang Indonesia sudah hampir kehilangan rasa malu mereka, terutama para pejabat dan orang-orang seperti sutradara ini.

Harga diri dan rasa malu yang mereka pertaruhkan, mungkin tidak sebesar dana 6,7 miliar, kah? Uang itu memang besar sekali, tapi semoga saja benar bahwa mereka tidak memakai uang sebesar itu untuk memproduksi film animasinya. Kalau benar, berarti mereka memang tidak layak menjadi seorang manusia yang berkoar-koar tentang semangat kemerdekaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun