Mohon tunggu...
Frengki Nur Fariya Pratama
Frengki Nur Fariya Pratama Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pecinta naskah Jawa di Sradhha Institute, berdikusi sastra di Komunitas Langit Malam.

Menjadi Insan yang mampu berkontribusi terhadap negara dan masyarakat adalah ideologis manusia yang menghamba kepada Sang Khaliq

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Alat Musik yang Menggantung di Pohon: Menerka Fungsi Musik di Relief Borobudur

16 Mei 2021   12:14 Diperbarui: 16 Mei 2021   12:25 711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Relief 1 Panel 75 hal 391 buku Anandajoti Bhikkhu (Gandavyuha)/ Foto: Koleksi pribadi

Bukan sekedar Sound of Borobudur, namun bagaimana musik merasuk dalam setiap lapis kehidupan masa lalu. Mulai dari alam goda indrawi hingga alam Kadewaan. Tentunya pradigma itu lahir dari apa yang tergambar di relief Candi Borobudur, yang menjadi salah satu kekayaan budaya, yang dapat dikatakan Wonderful Indonesia.

Tentunya tanya dan reka mulai menggaung dalam benak "bagaimana fungsi musik di masa lalu?" Dari sekian banyak alat musik yang tergambar, ada pula kehendak untuk menghadirkannya kembali dalam sebuah konser. Salah satu upaya itu dilakukan oleh Japung (Jejaring Kampung) Nusantara. Ide itu dihasilkan dari diskusi KRMT Indro Kimpling Suseno, Trie Utami, Rully Febrian, Redy Eko Prastyo dan Bachtiar Djanan M. untuk membunyikan kembali berbagai alat musik yang terpahat di dinding Candi.

Tri Utami sebagi salah satu penggagas menyebut beberapa alat musik itu, diantaranya: Instrument ideophone dikenal sebagai Ghana Vadya. Cordophone (alat musik berdawai) dikenal sebagai Wina atau Mandeli (Tata Vadya). Gendang tanah liat (sound pot) atau Mrdang. Instrumen tabuh bermembran (Avadana Vadya) yang dikenal sebagai Murawa, Kendang, Pataha dan Padahi. Kenong-bonang atau talempong dikenal dengan nama Brekuk atau Reyong, Ceng-ceng (simbal) dikenal dengan Regang. Ada pula Alat tiup (Sushira Vadya) yang dahulu dikenal sebagai Wamsi atau Bangsi dan Instrumen berbentuk harpa yang dikenal sebagai alat musik dewa bernama Wina atau Rawana Hasta.

Dari sekian instrumen yang disebut Tri Utami itu terpajang di keseluruhan dinding relief. Namun pahatan pada relief Gandavyuha panel 75 sisi timur (menurut hitungan buku yang memuat foto relief Candi Borobudur karya Anandajoti Bhikku) justru menyita perhatian. 

Mengapa ada gambaran alat musik yang menggantung di pohon, tatkala Sudhana menengok para pengikutnya? Hal ini menuntun pada kelindan fungsi alat musik di masyarakat masa lalu.

Relief yang merujuk pada kitab sutra Gandavyuha ini menceritakan awal kehidupan Buddha. Relief bagian ini menempati bagian paling banyak dibandingkan dengan sejumlah relief lainnya. Pada bagian cerita Meitreya panel 50 sisi selatan, musik pun digunakan untuk iring-iringan Meitreya dengan gambar Gajah yang nampak  berada diiringan paling depan.

Relief 2 Panel 50 hal 197 buku Anandajoti Bhikkhu (Gandavyuha)/ Foto: Koleksi pribadi
Relief 2 Panel 50 hal 197 buku Anandajoti Bhikkhu (Gandavyuha)/ Foto: Koleksi pribadi

Panel 42 sisi timur pun di identifikasi sebagai cerita saat Sudhana meninggalkan Meitreya karena Sudhana dianggap telah memahami hakikat sejati realitas dan harus bersedia mencari Guru-guru yang lain. Musik pun tergambar pada cerita dalam bagian ini.

Relief 3 Panel 42 hal 360 buku Anandajoti Bhikkhu (Gandavyuha)/Koleksi pribadi
Relief 3 Panel 42 hal 360 buku Anandajoti Bhikkhu (Gandavyuha)/Koleksi pribadi
Di alam atas (arupadhatu) pun diketahui terdapat sosok Gandharva yang disebut sebagai para pemain musik Surgawi (panel 40 sisi timur bagian tengah selatan).

Relief 4 Panel 40 hal 274 buku Anandajoti Bhikkhu (Gandavyuha)/ Foto: Koleksi pribadi
Relief 4 Panel 40 hal 274 buku Anandajoti Bhikkhu (Gandavyuha)/ Foto: Koleksi pribadi

Hal itu menandakan keberadaan musik di alam religius, alam atas yang identik dengan alam Kadewaan.

Gambaran musikal pun dapat ditemukan di lorong Lalitavistara. Sebuah panel relief yang menceritakan kehidupan Buddha sedari lahir hingga masa kecerahan dan pengajarannya atau lebih ringkasnya dapat disebut banjaran (dalam istilah genre sastra wayang). Setidaknya di panel 1 digambarkan Bodhisattwa di kelilingi oleh dayang-dayang istana surga Tusita. Dalam pahatan ini Gandharva memainkan musiknya sebagai wujud suka-cita menunggu masa lahirnya sang pemberi kesejahteraan Dewa dan Manusia.

Relief 5 Panel 1 hal 158 buku Anandajoti Bhikkhu (Lalitavistara)/ Foto: Koleksi pribadi
Relief 5 Panel 1 hal 158 buku Anandajoti Bhikkhu (Lalitavistara)/ Foto: Koleksi pribadi
Lorong di bawahnya yakni lorong yang disebut sebagai Jataka pun memuat musikalitas yang memang lekat dengan kehidupan. Jataka yang berarti serpihan kecil perjalan kehidupan Bodhisattwa, termasuk salah satu susastra kebijakan agung di dunia. Terkenal pula sebagai kumpulan susastra yang berisikan cerita fabel. Susastra ini dimasa berikutnya secara turun-temurun lintas generasi dikumpulkan ulang oleh para pengikut Buddha menjadi Nikaya atau Agama. Yang mengisyaratkan ajaran mengenai pengembaraan manusia menempuh putaran kelahiran dan kematian (samsara) mengarungi segala kebaikan dan keburukan di dunia.

Masih dalam lorong Jataka, panel cerita Visvantara yakni ketika Bodhisattwa terlahir sebagai putra Sanjaya, raja kaum Sibi, unsur musikal digunakan sebagai daya tarik untuk menyampaikan pengumuman (panel 42).

Relief 6 Panel 42 hal 47 buku Anandajoti Bhikkhu (Jataka)/ Foto: Koleksi pribadi
Relief 6 Panel 42 hal 47 buku Anandajoti Bhikkhu (Jataka)/ Foto: Koleksi pribadi
Ketika Bodhisattwa terlahir sebagai Sakra, relief yang menggambarkan pemain musik di dalam aula orkestra (panel 46) nampak dalam rangkaian ceritanya.

Relief 7 Panel 46 hal 50 buku Anandajoti Bhikkhu (Jataka)/ Foto: Koleksi pribadi
Relief 7 Panel 46 hal 50 buku Anandajoti Bhikkhu (Jataka)/ Foto: Koleksi pribadi
Pada panel 318 terlihat gambaran bangsawan perempuan yang menyaksikan para pemain musik di hadapannya.

Relief 8 Panel 318 hal 234 buku Anandajoti Bhikkhu (Jataka)/ Foto: Koleksi pribadi
Relief 8 Panel 318 hal 234 buku Anandajoti Bhikkhu (Jataka)/ Foto: Koleksi pribadi
Dinding luar lantai 1 deret bawah pada panel 43, panel 51 dan panel 89 pun sama memperlihatkan para pemain musik yang sedang menghibur penonton.

Relief 9 Panel 43 hal 309 buku Anandajoti Bhikkhu (Jataka)/ Koleksi pribadi
Relief 9 Panel 43 hal 309 buku Anandajoti Bhikkhu (Jataka)/ Koleksi pribadi

Relief 10 Panel 51 hal 318 buku Anandajoti Bhikkhu (Jataka)/Koleksi pribadi
Relief 10 Panel 51 hal 318 buku Anandajoti Bhikkhu (Jataka)/Koleksi pribadi
Relief 11 Panel 89 hal 357 buku Anandajoti Bhikkhu (Jataka/Koleksi pribadi)
Relief 11 Panel 89 hal 357 buku Anandajoti Bhikkhu (Jataka/Koleksi pribadi)
Bahkan di panel 66 musik menjadi ubarampe saat melakukan persembahan (per-sembahyang-an) di depan stupa.

Relief 12 Panel 66 hal 333 buku Anandajoti Bhikkhu (Jataka/Koleksi pribadi)
Relief 12 Panel 66 hal 333 buku Anandajoti Bhikkhu (Jataka/Koleksi pribadi)
Di relief terbawah, paling tersohor dan terkenal vulgar yakni lorong Karmavibhangga sebagai salah satu ajaran sebab-akibat dari sebuah perbuatan. Terdapat panel 39 yang menampilkan para pemusik. Para pemusik itu diceritakan terpaksa menjadi pemusik jalanan karena faktor ekonomi. Dalam gambar terlihat para pemusik sedang diremehkan oleh sosok kaya ketika sedang mencari derma. Sosok kaya tersebut menampik permohonan derma dari para pemusik.

Relief 13 Panel 39 hal 62 buku Anandajoti Bhikkhu (Karmavibhangga/Koleksi pribadi)
Relief 13 Panel 39 hal 62 buku Anandajoti Bhikkhu (Karmavibhangga/Koleksi pribadi)
Berkebalikan dengan fungsi positif dan spiritual musik dalam relief candi Borobudur, lorong Lalitavistara panel 95 menunjukkan gambaran Mara yang menggoda Bodhisattwa. Musik tergambar sebagai salah instrumen penggoda Bodisattwa agar terayu pesona kenikmatan indrawi. 

Relief 14 Panel 95 hal 112 buku Anandajoti Bhikkhu (Lalitavistara/Koleksi pribadi)
Relief 14 Panel 95 hal 112 buku Anandajoti Bhikkhu (Lalitavistara/Koleksi pribadi)
Kesemua hal ini menunjukkan kompleksitas fungsi musik di masa lalu. Entah posisi musik di masa lalu itu lebih mendapat porsi negatif atau positif, namun dapat kita ketemukan beberapa kategori penggunaan musik di masa lalu. Secara sederhana musik yang tercermin dalam relief Borobudur digunakan sebagai: 1) Hiburan., 2) Gambaran ekspresi suka-cita sebuah adegan., 3) Ubarampe (perlengkapan) penyerta per-sembahyang-an., 4) Lantunan keindahan surgawi., dan 5) Salah satu wujud pesona keindrawian penggoda manusia. Memang berkaitan dengan fungsi sosio-musikal di masa lalu ini perlu diteliti lebih rinci dan serius. Setidaknya gambaran singkat dan dangkal ini dapat menjadi gambaran sederhana fungsi dan keberadaan musik di setiap lapis kehidupan masyarakat masa lalu.

Di samping banyak sekali kesamaan instrumen musik dunia yang tergambar di relief candi Borobudur, seperti pendapat Dwi Cahyono yang mengatakan adanya kesamaan Waditra (bentuk instrumen musik) di Asia. Paradigma ini mungkin dapat digunakan sebagai langkah eksplorasi jalur penyebaran musik dunia selayaknya penelusuran jalur rempah nusantara. Dengan begitu sangat memungkinkan candi Borobudur sebagai pusat musik dunia (Borobudur pusat musik dunia). 

Seperti halnya tanya saya yang masih mengambang dan menggantung mengenai  "mengapa alat musik itu tergatung di pohon?" Mungkin sama halnya musik yang kini masih dipandang kafir tanpa ada narasi religius yang berhasil digaungkan di masyarakat. Musik seolah masih menggantung keberadaan religiusitasnya. Dan masih minim pula perhatian kelindan musik masa lalu sebagai pengetahuan khazanah budaya, terutama melalui terkaan yang terpahat di relief candi Borobudur.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun