"Kadang kalau pelanggan nunggu, saya putar musik dan mereka bisa karaoke juga. Biar nggak bosan. Ada kopi juga, kopi asli, biar sambil santai. Pokoknya di sini bukan cuma cukur, tapi juga nongkrong," ujarnya sambil tertawa kecil.
Kursi tunggal di ruang pangkasnya sering menjadi saksi banyak cerita. Dari obrolan ringan soal pekerjaan hingga keluh kesah hidup, semua mengalir alami di antara potongan rambut yang jatuh.
Bagi David, pelanggan bukan sekadar sumber rezeki, tapi teman bercerita.
Meski sederhana, David terus bermimpi mengembangkan usahanya.
"Saya pengin nambah layanan keramas juga, tapi belum punya alatnya. Kalau nanti sudah ada rezeki, saya beli alat keramas biar lebih lengkap," katanya dengan nada penuh harap.
Selain menambah fasilitas, David juga memiliki impian besar untuk memindahkan tempat pangkasnya ke lokasi yang lebih strategis.
"Kalau bisa, saya pengin buka di dekat kampus Jenderal Soedirman. Di sana rame, banyak mahasiswa, pasti peluangnya lebih besar. Cuma ya itu, sewa kios di sana mahal," tuturnya.
Kini, setiap kali matahari sore menembus celah-celah jendela tempat pangkasnya, David masih setia di balik cermin besar yang mulai pudar warnanya.
Ia memotong rambut dengan sabar, menata setiap helai dengan keyakinan bahwa dari gunting kecil di tangannya, bisa lahir harapan besar.