Postingan seperti ini adalah contoh nyata dari infotainment disguised as news. Konten yang dirancang untuk menarik perhatian dan memanen likes, shares, dan engagement, namun mengabaikan prinsip dasar jurnalistik: kebenaran dan verifikasi.
Fenomena ini sering disebut sebagai jurnalisme instan, atau bahkan lebih kerasnya, "potong jalur jurnalistik."
Proses panjang yang harus dilalui seorang jurnalis, dari riset, verifikasi data, konfirmasi narasumber, hingga penyuntingan, semuanya dipangkas. Yang penting cepat, yang penting viral. Dan dari sini, lahirlah apa yang kita kenal sebagai hoaks atau berita bohong.
Menurut laporan dari Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia), sepanjang tahun 2024 saja, lebih dari 2.300 hoaks terverifikasi beredar di media sosial, sebagian besar dalam bentuk narasi yang dibungkus layaknya berita.
Contoh lainnya:
Postingan Facebook yang menyebutkan bahwa vaksin flu bisa menyebabkan kebutaan dalam jangka panjang. Faktanya, ini adalah informasi yang salah, karena tidak ada bukti ilmiah yang mendukung klaim tersebut.
Video pendek di TikTok yang menampilkan potongan wawancara politikus luar negeri, yang seolah-olah mengkritik pemerintahan Indonesia. Setelah ditelusuri, ternyata konteks wawancara diubah, dan narasi diedit agar terlihat menyerang.
Kebanyakan konten semacam ini tidak dibuat oleh media profesional. Pembuatnya bisa siapa saja: pengguna individu, akun anonim, bahkan bot otomatis yang didesain untuk menyebarkan disinformasi.
Masalah lain yang juga muncul adalah minimnya literasi media di kalangan masyarakat. Banyak orang yang masih menganggap bahwa semua yang tampil "seperti berita" berarti memang berita sungguhan. Padahal, perbedaan antara konten jurnalistik dan konten biasa bisa dilihat dari beberapa hal:
Sumber informasi -- Apakah berita tersebut mencantumkan sumber yang jelas dan kredibel?
Verifikasi -- Apakah ada upaya untuk mengonfirmasi informasi kepada pihak yang berkaitan?
Netralitas bahasa -- Apakah bahasa yang digunakan netral dan tidak provokatif?