Mohon tunggu...
Sandra Suryadana
Sandra Suryadana Mohon Tunggu... Dokter - 30 tahun lebih menjadi perempuan Indonesia

Memimpikan Indonesia yang aman bagi perempuan dan anak-anak. More of me: https://sandrasuryadana.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Indonesia Darurat Bullying (2): Mengapa Orang Gemuk Rentan Dibully

10 Desember 2017   11:48 Diperbarui: 10 Desember 2017   12:58 1981
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Dalam artikel sebelumnya saya telah berusaha meningkatkan kesadaran seluruh lapisan masyarakat mengenai betapa besar dan parahnya kasus bullying yang ada di Indonesia, bahkan mungkin dapat dikatakan sudah hampir membudaya. Melalui artikel kedua mengenai bullying ini saya ingin menjelaskan mengapa ada beberapa orang yang lebih rentan menjadi korban bully, ada orang-orang tertentu yang tampaknya selalu menjadi bulan-bulanan temannya, mengapa pelaku memilih mereka sebagai korbannya dan bukan orang lainnya.

Belum pernah ada penelitian di Indonesia yang menjabarkan secara deskriptif peta korban bullying, orang-orang seperti apa yang paling rentan menjadi korban bullying, apakah dipengaruhi oleh usia, agama, status sosial, prestasi, kekayaan atau sesuatu hal yang lebih nyata seperti ukuran tubuh, warna kulit, penampilan fisik secara keseluruhan.

Tanpa mengurangi rasa hormat saya, meskipun belum ada penelitiannya tetapi kita bisa kurang lebih sepakat bahwa orang dengan penampilan fisik yang berbeda dari lingkungannya rentan menjadi korban bullying, yang cukup sering adalah orang gemuk atau anak yang bertubuh lebih kecil. Mengapa bisa demikian?

Ternyata resiko seseorang untuk 'dipilih' menjadi korban bullying bukan sekedar tentang apa yang dilihat mata, misalnya: orang gemuk cenderung berjalan dengan aneh, perut mereka bergoyang-goyang, mereka tidak punya leher, seringkali dilihat sebagai badut. Tetapi di balik itu semua, hormon ternyata memegang peranan yang cukup penting.

Hormon yang saya maksud adalah testosterone. Testosteron adalah sex hormon yang dominan ada pada laki-laki, perempuan juga memiliki hormon ini tetapi dalam jumlah yang lebih sedikit. Kadar testosterone dalam darah seseorang makin meningkat seiring dengan pertambahan usianya dan mencapai puncaknya saat masa pubertas, lalu menjadi stabil selama masa dewasa dan akan makin menurun jumlahnya saat usia lanjut. Testosterone merupakan hormon yang bertanggung jawab dalam maskulinitas laki-laki, hormon inilah yang membuat anak laki-laki berubah penampilan fisiknya dan bertumbuh organ-organ reproduksinya pada masa pubertas. 

Selain itu hormon ini juga bertugas untuk mempertahankan massa otot dan kekuatan tulang, menjamin kelancaran siklus reproduksi, memunculkan libido, fungsi ini juga berlaku untuk perempuan. Testosterone harus ada dalam jumlah yang pas di dalam tubuh, kelebihan atau kekurangan hormone ini akan berakibat pada gangguan kesehatan., salah satu contohnya: penurunan testosterone pada laki-laki lanjut usia memicu terjadinya kanker prostat,

Ternyata testosterone tidak hanya mempengaruhi seseorang secara biologis saja tetapi juga secara mental dan emosional. Testosterone telah dibuktikan berpengaruh dalam sikap agresif dan kompetitif seseorang. Penelitian ini memunculkan perspektif baru dalam hubungannya dengan bullying. Korban bullying cenderung memiliki kadar testosterone yang lebih rendah. Sikap mereka lebih cenderung pasif dan patuh ketimbang agresif, mereka pun cenderung tidak kompetitif sehingga mereka lebih memilih tidak melawan bila dibully. Semakin mereka tidak melawan, membiarkan aksi bullying terjadi pada mereka, sekali dua kali dan seterusnya, mereka akan semakin menjadi korban.

Orang obesitas memiliki kadar testosterone yang lebih rendah karena 2 alasan: sel lemak memetabolisme testosterone menjadi estrogen yang mengakibatkan berkurangnya testosterone dan bertambahnya estrogen (menyebabkan payudara mereka lebih besar yang menyebabkan mereka makin dibully), kedua karena obesitas mengurangi Sex Hormone Binding Globulin  alias protein yang membawa testosterone beredar dalam darah, dengan berkurangnya protein ini otomatis testosterone yang dibawa di dalam darah menjadi lebih sedikit.

Atau contoh lain, anak yang kadar testosteronnya rendah cenderung berbadan kecil karena massa ototnya lebih kecil (ingat, testosterone berperan dalam peningkatan massa otot), dia juga terlambat puber dibanding teman-temannya sehingga saat teman-temannya mulai bertambah tinggi, bersuara berat, dia masih bertumbuh pendek dan bersuara cempreng, membuat anak-anak berpostur kecil rentan juga menjadi korban bullying, di samping ketidakmampuan mereka untuk melawan seperti yang saya jelaskan di atas.

Sebaliknya anak-anak dengan kadar testosterone yang cukup tinggi cenderung lebih percaya diri, memiliki massa otot lebih besar, lebih kompetitif sehingga tidak segan-segan melawan apabila mereka mendapatkan perlakuan yang tidak adil.

Tetapi tentu saja permasalahannya tidak sesederhana ini. Testosterone bukan satu-satunya problem karena bila demikian berarti terapi hormon bisa dengan mudah mengatasi permasalahan bullying, juga tidak menjawab bullying yang terjadi pada anak perempuan karena kadar testosterone memang rendah di anak perempuan, lagipula soal testosterone ini seakan menyalahkan si korban dengan mengatakan mereka lemah dan tidak bisa melawan, tanpa melihat bahwa kesalahan sebenarnya ada pada pelaku.

Ada begitu banyak hal yang lebih penting yang menyebabkan bullying bisa terjadi, dari sisi pelaku,sisi penonton, sisi orang dewasa yang ada di TKP. Tetapi ada satu hal yang sangat signifikan yang mendorong pelaku melakukan bullying yaitu rasa iri.  Bila seorang anak dengan kecenderungan perilaku agresif merasa iri dengan temannya karena melihat anak tersebut memiliki apa yang tidak dia miliki (terutama popularitas), perilaku agresif ini akan dengan cepat bertumbuh menjadi bullying. 

Apalagi bila sekali dua kali perilaku agresif mereka tidak mendapat konsekuensi negative bahkan mendapat apresiasi maka saat itu lahirlah bullying. Pelaku bullying TIDAK PERNAH langsung membully sasarannya. Mereka selalu mengetes air terlebih dahulu, mencoba-coba target mana yang bisa dibully, yang tidak akan melawan, melihat reaksi guru atau orang tua ketika mereka mulai meledek calon korban, melihat tempat-tempat yang leluasa untuk menindas korban, bila semua aman tanpa masalah baru mereka melanjutkan agresi mereka menjadi aksi bullying. (Penjelasan mengenai bagaimana seorang anak bisa menjadi pelaku bullying dapat Anda baca di artikel saya berikutnya).

Tidak sulit memahami bagaimana anak gemuk dan anak bertubuh kecil mudah menjadi sasaran bullying terkait alasan ini karena mereka cenderung disukai oleh teman-temannya. Anak yang gemuk  biasanya lucu, humoris, tidak suka membuat masalah, sementara anak yang bertubuh kecil cenderung dilindungi oleh guru, diprioritaskan karena postur mereka, misalnya selalu ditempatkan duduk paling depan atau berdiri paling depan dalam barisan. Pelaku bullying menginginkan perhatian itu, rasa diterima dan dilibatkan dalam lingkungannya, karena satu dan lain hal mereka memilih untuk mengintimidasi korban demi merampas apa yang tidak mereka dapatkan, ketimbang berusaha memperbaiki kualitas diri.

Yang ingin saya tekankan di sini, terutama bagi orang tua dan guru yang biasanya melihat langsung aksi bullying, bahwa bullying tidak boleh terjadi! Bullying bukanlah kenakalan anak yang wajar! Jangan menyuruh korban untuk melawan atau menghindar seakan-akan itu adalah kesalahan mereka dibully oleh teman-temannya! Jeli melihat aksi-aksi minor yang mengarah pada tindak kekerasan, langsung bertindak tegas saat hal-hal kecil tersebut sudah terdeteksi, berikan didikan dan arahan saat perilaku intimidatif mulai tampak, jangan cuek! Sikap apati Anda akan mendorong makin berkembangnya bullying di generasi muda.

Referensi:

Adams, R. (2009). The Social Brain: Neural Basis of Social Knowledge. Annual Review of Psychology 60:693-716.

Archer J (2006). "Testosterone and human aggression: an evaluation of the challenge hypothesis" (PDF). Neuroscience and Biobehavioral Reviews. 30 (3): 319--45. doi:10.1016/j.neubiorev.2004.12.007. PMID16483890.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun