Mohon tunggu...
Sandra Suryadana
Sandra Suryadana Mohon Tunggu... Dokter - 30 tahun lebih menjadi perempuan Indonesia

Memimpikan Indonesia yang aman bagi perempuan dan anak-anak. More of me: https://sandrasuryadana.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Indonesia Darurat Bullying (1)

10 Desember 2017   09:47 Diperbarui: 10 Desember 2017   09:52 1354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bullying sudah menjadi pemandangan yang sehari-hari kita lihat di negara kita, bahkan mungkin menjadi kegiatan di mana kita terlibat di dalamnya. Setiap hari di televisi kita disodorkan dengan acara lawakan tidak bermutu yang mengedepankan bullying sebagai daya angkat rating suatu acara, pembawa acara akan saling menghina, menyerang bahwa melukai secara fisik lalu disusul dengan tawa dari seluruh penonton, mungkin kita yang menonton di rumah juga ikut tertawa. Seakan-akan bullying adalah sesuatu yang lucu dan menarik, tidak ada lagi garis batas moral yang memisahkan antara candaan yang cerdas dengan tindakan bullying yang merusak.

Sebagai bukti tentang sangat minimnya atensi bangsa kita mengenai bullying adalah kita bahkan tidak mempunyai padanan kata yang tepat untuk bullying. Akhir-akhir ini di media kata 'bullying' yang berasal dari bahasa Inggris diganti dengan 'perundungan'. Setelah saya cek di Kamus Besar Bahasa Indonesia saya menemukan 'perundungan' memiliki kata dasar 'rundung' yang artinya: mengganggu, mengusik terus-menerus, menyusahkan. Bagi saya pribadi, definisi ini terlalu menyederhanakan bullying dan sangat salah arah. 

Dicontohkan dalam KBBI sebagai kata kerja 'merundung' : anak itu merundung ayahnya meminta dibelikan sepeda baru. Sangat tidak sesuai dengan makna bullying di dunia nyata. Bullying berkaitan dengan tindakan intimidatif demi suatu status sosial atau keinginan untuk diterima, dilakukan oleh pihak yang memiliki kekuatan lebih besar terhadap pihak yang lebih lemah. Bullying bukan hanya tentang meminta sepeda baru, tetapi merebut sepeda orang lain secara paksa bukan karena dia tidak punya sepeda, tetapi karena dia ingin dipandang lebih berkuasa oleh lingkungannya, selanjutnya setiap hari minta si korban membersihkan sepeda yang sudah diambil itu.

Sudah banyak peneliti di luar negeri berusaha memberikan definisi yang akurat mengenai bullying, menurut saya definisi yang paling mendekati kebenaran adalah definisi yang ditawarkan oleh Sugden et al, 2010 : Bullying is the act of intentionally and repeatedly causing harm to someone who has difficulty defending him or herself.  Bila diterjemahkan, bullying adalah tindakan secara sengaja dan berulang yang melukai seseorang yang kesulitan membela dirinya sendiri. Kesulitan membela dirinya sendiri karena dia berada pada posisi yang inferior dibanding pelaku bully, contohnya: anak dengan orang tua, istri dengan suami, menantu dengan mertua, karyawan dengan bos, asisten rumah tangga dengan majikan, murid dengan guru, murid yang lebih lemah dengan murid yang lebih kuat, warga minoritas dengan warga mayoritas, dll. 

Dari sini kita menjadi tercerahkan bahkan bullying bukan hanya perilaku yang bisa terjadi di sekolah saja, bukan merupakan tindakan yang dilakukan anak-anak karena mereka belum dewasa, belum bisa berpikir jernih, tetapi juga bisa dilakukan oleh orang dewasa, orang dengan tingkat pendidikan tinggi, orang dari ras apapun dan agama apapun, orang dengan jabatan apapun.

Coba bayangkan rantai bullying sebagai berikut: seorang bos membully salah seorang pegawainya, pegawai tersebut merasa frustasi tidak bisa melampiaskan kekecewaannya kepada si bos, kemudian melampiaskannya pada pegawai yang jabatannya lebih rendah lagi dari dia, pegawai ini tidak punya orang yang jabatannya lebih rendah lagi daripada dia untuk melampiaskan kejengkelannya, akibatnya dia pulang ke rumah melakukan kekerasan pada istrinya, istrinya tidak berani melawan kemudian melanjutkan kekerasan tersebut kepada anaknya, anaknya merasa frustasi karena tidak disayangi di rumah kemudian membully adik kelasnya yang badannya lebih kecil dan tidak berani melawan. 

Anak ini kemudian menjadi rantai paling bawah dari bullying, tidak bisa melampiaskan rasa frustasinya kemana-mana akhirnya melukai dirinya sendiri atau menyakiti binatang yang lewat depan rumahnya, bergulat dalam rasa takut dan depresi, selanjutnya terjerumus dalam alcohol dan obat-obatan terlarang, menjadi laki-laki dewasa yang senang menyakiti perempuan, ayah yang sering melukai anak, dan atasan yang membully bawahan. Begitu seterusnya.

Mungkin saya terdengar melebih-lebihkan alias lebay, tetapi ada penjelasan ilmiah bagaimana semua siklus ini bisa terjadi. Banyak penelitian sudah dilakukan dan banyak pembuktian nyata mengenai perubahan-perubahan psikologis bahkan biologis yang terjadi dalam tubuh pelaku, korban dan juga penonton bullying. Penjelasan mengenai hal ini akan saya bahas di artikel-artikel saya selanjutnya, mengapa beberapa orang lebih rentan menjadi korban bullying, apa yang akan terjadi dengan masa depan korban bullying sekalipun dia berhasil lepas dari bullying, bagaimana seseorang bisa menjadi pelaku bullying, mengapa ada anak yang bisa melawan pelaku bully ada yang tidak.

Melalui artikel pengantar ini saya pertama-tama ingin meningkatkan kesadaran setiap golongan masyarakat akan kondisi darurat bullying yang terjadi di negara kita khususnya terjadi di lingkungan sekolah. Lingkungan di mana setiap anak seharusnya dididik dan dibimbing tidak hanya menjadi pintar secara akademis tetapi juga memiliki moral dan akhlak dan mulia, mudah berempati pada sesamanya. Ironisnya terkadang pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan kondisi ini justru seringkali menjadi sumber masalah, guru membully murid atau membiarkan tindakan bullying terjadi di sekolah, tidak membela korban, tidak menghukum pelaku, bila pelaku dihukum orang tua menjadi marah kemudian balik membully guru. Anak-anak dibiarkan rusak luar dalam, demi apa?

Mari kita menaikkan status bullying menjadi siaga satu, menganggap hal ini sama pentingnya dengan permasalahan narkoba atau kriminalitas lainnya. Kita semua terlibat dan bertanggung jawab atas makin meningkatnya kasus kematian akibat bullying yang terjadi pada anak-anak kita. Saat sekolah, saya tidak pernah menjadi korban bully dan juga bukan pelaku bully tetapi saya banyak melihat tindakan bullying dan saya diam saja, maka saya pun termasuk orang yang bertanggung jawab melanggengkan maraknya aksi bullying. 

Pendidikan yang menutup mata dan berkompromi dengan bullying merupakan akar dari penyalahgunaan narkoba pada remaja, perilaku kekerasan dalam rumah tangga, meningkatnya kasus pemerkosaan dan pelecehan pada perempuan dan meningkatnya kasus depresi pada dewasa muda yang berujung pada bunuh diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun